Jumat, 06 Februari 2009

Perjalanan si Doku

Namaku Doku, singkat dan jelas kan ? Aku tidak memiliki orangtua, dan kenapa aku disebut Doku karena memang aku adalah selembar uang ketas seratus ribuan bergambar pak bung karno dan pak bung hatta yang terkenal itu.

Aku memiliki sekelumit kisah yang tersimpan rapi dalam memori kenanganku, dan kali ini sengaja aku buka supaya dapat berbagi pengalaman dengan siapa saja dan dimana saja. Tentang manfaat, ya berharap juga sih sebenarnya supaya dapat berguna, tetapi andaipun tidak juga tidak jadi soal. Sebab kadar kemanfaatan adalah nisbi bagi tiap orang. Artinya, boleh jadi sebuah perkara sangat bermanfaat bagi satu orang, namun dapat pula berarti sampah yang harus segera dibuang bagi orang lain. Ah, kok jadi berteori sih.

Aku mulai saja kisahku.
Kejadian ini aku alami tahun lalu, ya, 2008 adalah tahun yang luar biasa bagiku. Aku berpindah tangan tidak kurang dari 10 kali dan ada beberapa orang yang memegangku sangat berkesan bagiku. Singkatnya, aku benar-benar mengalami sebuah perjalanan yang penuh warna pada tahun 2008 tersebut. Dan beberapa orang yang sempat aku singgahi dompetnya sengaja aku angkat menjadi serangkaian cerita yang unik, menarik sekaligus ironis.

Tepat tahun baru aku keluar dari mesin anjungan tunai mandiri bersama 9 orang temanku yang lain. Aku sempat melihat orang yang menarikku adalah seorang pria yang berusia sekitar 50 tahun, agak tergesa dia menarikku dari mesin ATM pada pagi yang masih dingin itu. Selanjutnya akupun berdesakan dengan 9 temanku yang lain dalam sebuah dompet coklat kusam dan bau yang terselip dalam saku belakang celana panjang pria tersebut. Tidak terhitung berapa kali dia buang gas, baunya minta ampun. Mungkin tadi malam baru saja melewatkan malam pergantian tahun dengan menyantap aneka makanan yang campur aduk dan pagi tadi belum sempat buang hajat.

Selang beberapa saat kemudian, aku keluar dari dompet bersama 2 orang temanku, ternyata pak tua yang baru saja mengambilku dari mesin ATM tadi telah menukarkan aku dengan satu karung beras plus sekardus barang belanjaan kebutuhan keluarga lainnya yang aku sendiri tidak tahu detailnya. Maka, jadilah aku berpindah tuan, dari pak tua yang tadi mengambilku dari menin ATM kepada seorang ibu berjilbab yang duduk di belakang meja sambil terus menghitung, memilah serta menata kami dalam kelompok-kelompok kecil sehingga lebih mudah untuk dihitung kembali. Aku dikibas-kibaskan ke barang dagangan yang berada di depannya sambil berkata “laris-laris-laris”, khas juragan toko kelontonglah.

Cukup lama aku berada di brankas tradisional di dalam kamar milik ibu berjilbab yang dengkuran tidurnya seperti suara pesawat tempur Israel saat menghajar Palestina itu. Sekitar sebulan aku dan sekian ratus atau bahkan ribu temanku yang lain menginap di kotak kayu dengan gembok seukuran anak gajah. Pengap dan bau tentu saja. Bayangkan saja, kami dibendel dalam satuan yang memudahkan si ibu berjilbab tadi dalam merekap total jumlah kami dengan cara diikat dengan karet gelang, seperti dicekik rasanya. Kemudian, kami ditumpuk dengan kelompok-kelompok lain yang sudah ada sebelum kami, lalu ditumpuki lagi dengan kelompok lain yang datang setelah kami.

Belum lagi kami harus berdesakan dengan kelompok murahan seperti lima ribuan dan ribuan, sebel banget rasanya. Gak level bergaul dengan mereka. Rata-rata mereka kusam, bau, lecek, robek di sana-sini, bahkan beberapa ada yang penuh dengan graffiti seperti tulisan “tono love tini”, “cintaku seumur jagung”, “lofe is blaen” atau rekapan nomor togel kadang nangkring juga di badan mereka. Mereka seperti gerombolan buruh tani yang baru saja pulang dari sawah yang nyelonong masuk rumah tanpa membersihkan badan terlebih dulu. Benar-benar menjijikkan !

Akhirnya aku bisa bernafas lega. Setelah sebulan terkurung dalam kotak bau itu aku berpindah tangan. Kali ini aku begitu gembira karena dielus-elus oleh seorang perempuan putih cantik dengan tangan yang halus lembut, rambut sebahu dengan aroma wangi bunga yang memabukkan. Setelah dihitung kami dipilah-pilah lagi, kemudian ditata ulang dengan sangat halus oleh perempuan yang memakai kalung berliontin emas dengan rangkaian 4 huruf, “Vera”. Oh, ternyata aku pulang ke bank, ibu berjilbab yang aku tidak sempat tahu namanya dulu ternyata seorang pedagang yang menjadi nasabah bank tempat mBak Vera bekerja.

Hanya 3 jam aku bersama mBak Vera, sebab seorang gadis muda yang tidak kalah ayu dibanding mBak Vera melakukan tarik tunai dan aku menjadi bagian dari yang dihitung oleh mBak Vera lalu kemudian diserahkan kepada gadis ayu tersebut. Kami, senilai 10 juta berpindah tangan dari mBak Vera ke tas tangan psi gadis ayu itu setelah sebelumnya dimasukkan ke dalam amplop coklat bertuliskan nama bank tadi. Gadis ayu itu bergegas meninggalkan ruang bank yang sejuk ber-AC menuju mobil sedan yang terparkir rapi tepat di depan bank tersebut. Kami pun melesat tanpa tahu akan kemana lagi.

Sepertinya aku dan kawan lainya terseret masuk ke dalam cerita yang lebih seru. Dina, nama gadis ayu yang tadi mengeluarkan aku dari bank ternyata adalah seorang pecandu narkoba. Jadi, kami yang berjumlah 10 juta ditukar dengan barang yang aku tidak tahu namanya, yang jelas dari percakapan yang dilakukan oleh Dina dengan beberapa laki-laki di sebuah kafe malam itu jelas menerangkan bahwa barang yang mereka jual kepada Dina adalah barang bagus dan dijamin akan langsung “on” dalam waktu super cepat serta bisa tahan “hive” lebih lama. Oh Dina, dibalik kecantikan dan kehalusan tutur kata dan perilakumu ternyata kau menyimpan misteri yang menyesakkan, andai orang tuamu tahu, Din.

Ah sudahlah, lumrah terjadi kan, seseorang yang nampaknya baik tapi aslinya gak baik dan sebaliknya. Aku teruskan saja kisahku. Kami berpindah tangan ke komplotan pengedar narkoba. Mereka berjumlah 4 orang dengan hirarki yang aku sendiri tidak paham. Yang jelas, kami dibagi-bagi sesuai dengan tingkatan kedudukan mereka dalam organisasi kecil itu. Singkatnya, aku bersama 14 teman lain menjadi bagian dari seorang pria kurus berwajah lumayan ganteng bernama John. Dan nampaknya John hanyalah seorang kurir yang mendapat bagian paling sedikit diantara seluruh rekannya. Dalam struktur mereka kurir selalu mendapat bagian terkecil meskipun resiko tertangkap aparat paling besar. Apa boleh buat, itulah resiko yang harus dibayar oleh pengangguran seperti John.

Tanpa ba bi bu lagi John melipat kami berlima belas lalu tanpa ampun lagi kamipun masujk dalam saku jin belelnya yang kira-kira sudah sebulan tidak dicuci. Minta ampun baunya. John nampak tergesa-gesa meninggalkan rekan-rekannya, sepertinya sudah punya janji dengan seseorang sehingga takut terlambat. Dan benar saja, saat itu sekitar jam 10 malam dengan sepeda motornya John menuju lokalisasi yang berjarak 5 km dari tempat tinggalnya. Ternyata John sudah ngebet menyalurkan hasrat kelelakiannya. Basa-basi sebentar, tawar menawar harga lalu deal 150 ribu short time !

John bersama PSK yang disewanya masuk kamar penginapan di salah satu rumah di kawasan lokalisasi tersebut. Singkat kata hasrat John sudah terlampiaskan, lalu dia mengeluarkan 2 lembar ratusan ribu untuk melakukan pembayaran kepada perempuan yang mewiraswastakan tubuhnya tadi. 150 untuk biaya sewa bagian tubuh penting si perempuan dan 50 lagi untuk sewa kamarnya. Dan, sialnya aku berada dalam lipatan paling luar sehingga aku dan satu temanku lagi kembali berpindah tangan dari John ke Sonya, PSK yang disewa oleh John tadi. Dan, apesnya lagi ritual pedagang kembali aku alami. Hanya saja kali ini aku dikibas-kibaskan bahkan dengan agak kasar aku diusap-usapkan ke bagian tubuh yang disewakan oleh PSK tadi sambil menggumam “laris-laris-laris”. Kurang ajar benar, apa dia tidak tahu bahwa itu adalah pelecehan terhadap pak bung karno dan pak bung hatta. Mereka adalah proklamator yang harusnya dihargai dan bukannya diusap-usapkan ke wilayah itu. Aku sungguh kesal, apalagi setelah aku dapati bahwa di beberapa bagian tubuhku terdapat ceceran cairan yang menempel, duh…jijik aku. Aku menjadi bau sekarang, perempuan tidak tahu diuntung !

Semalaman aku tidak bisa tidur, aku marah karena badanku kotor oleh cairan yang tidak semestinya menempel. Tapi aku bisa apa? Aku tidak punya tangan untuk membersihkan cairan itu. Aku tidak kerasan bersama perempuan PSK ini, semoga besok pagi aku dibelanjakan.

Dan harapanku terwujud, esoknya sekitar jam 2 siang aku dipakai untuk membayar biaya creambath di salah satu salon kecantikan langganan PSK itu. Uhh…lega rasanya bisa berpisah dari perempuan laknat itu. Kini aku beralih ke mas yang seperti mbak pemilik salon Diva. Kata orang dia banci, waria, bencong atau bahasa kerennya komunitas transeksual. Fisiknya pria tapi kejiwaannya wanita, duh bingung ya jadi mereka. Bayangkan saja, mau masuk toilet saja serba salah kan.

Nama aslinya Dewa Baskara, tapi sejak hijrah dari desa 4 tahun lalu dia memakai nama Diva yang dia abadikan sebagai nama salon kecantikannya. Di desa dia dipanggil Dewo oleh emaknya. Dewo adalah seorang anak penurut yang berbakti kepada orang tuanya, dia yatim, bapaknya meninggal saat dia SD kelas 2. Tiap bulan selalu menyempatkan diri untuk pulang kampung menjenguk emakya, dan tentu saja kalau sudah desa selalu berpakaian laki-laki. Seperti sore itu, Diva atau Dewo sampai di rumah emaknya. Melihat Dewo datang emaknya langsung sumringah, sebab Dewo selalu memberi uang belanja kepadanya. Aku sampai trenyuh melihat hubungan anak-emak diantara mereka. Rasa kesalku akibat ulah PSK beberapa hari lalu terbayar dengan kisah berbaktinya Dewo kepada orang tuanya.

Dewo tidak pernah lama di kampung, bukan karena tidak kerasan, tapi lebih karena tidak tahan berlama-lama berlagak sebagai laki-laki. Dia tidak tahan dengan semua itu, dia merasa seperti membohongi dirinya sendiri. Esok paginya Dewo pamit pulang ke kota, dan seperti biasanya setelah sungkem kepada emak, Dewo memberikan beberapa lembar uang kertas kepada emaknya, ada ratusan ribu, lima puluhan dan juga puluhan ribu. Aku menjadi salah satu yang dialihtangankan oleh Dewo kepada emaknya.

Perlu diketahuhi bahwa ini adalah bulan Juli dan keadaanku tidak seperti saat aku keluar dari mesin ATM Januari lalu. Aku sudah tidak mulus lagi, banyak bekas lipatan di sana-sini, mulai kusam di beberapa bagian tubuhku, dan yang paling menjengkelkan tentu saja cairan menjijikkan ulah PSK yang menempel angkuh tepat di tengah-tengah antara gambar wajah pak bung karno dan pak bung hatta.

Sudah lebih sebulan aku ikut emaknya si Dewo, hidup khas pedesaan membuat aku dan 3 temanku tidak pernah dibelanjakan. Sebenarnya aku kerasan ikut emak Dewo, orangnya tidak pernah macam-macam. Hanya satu yang sering membuatku sulit bernafas, yaitu, emak selalu membawaku kemanapun dia pergi. Pergi kemanapun sebenarnya tidak menjadi soal bagiku, masalahnya adalah emak tidak memiliki dompet sehingga kami bertiga diselipkan begitu saja di penutup dada emak yang…yah, bisa dibayangkan sendirilah keadaanya. Orang usil akan bilang sudah kadaluwarsa. Kalau PSK itu yang melakukannya aku pasti tidak akan terima, tapi berhubung emak, aku bisa mafhum. Aku hanya merasa bosan saja, sudah hampir 2 bulan tinggal bareng emak tanpa pernah dibelanjakan.

Hari bahagia itu tiba juga. Setelah ikut emak 2 bulan 13 hari akhirnya aku dilepas oleh emak. Aku bersama 6 temanku dipakai untuk membeli sepasang kambing yang akan dipelihara sendiri oleh emak. Buat tabungan kata emak. Uh, lega juga bisa bernafas bebas, bisa lepas dari penutup dada yang sempit itu.

Aku berpindah tangan kepada juragan kambing. Namanya Haji Somad bin Abdul Gaffar. Biasa dipanggil Wak Kaji begitu saja. Dia sudah berhaji 8 kali. Tersohor karena kehajiannya, kelicikannya, dan kepelitannya. Wak kaji yang satu ini begitu berambisi bisa berhaji 9 kali. Sebab dia memiliki keyakinan dengan berhaji 9 kali maka pintu surga yang berisi 70 ribu bidadari akan terbuka lebar untuknya.

Sambil tertawa riang setelah menjawab salam emak Dewo yang pamit pulang menuntun 2 kambingnya, Wak kaji bergegas masuk kamar sambil membawa kami bertujuh untuk digabungkan dengan kawan-kawan kami yang telah berada di bawah kasur wak kaji lebih dulu.

Aku berada di tumpukan paling bawah diantara kami bertujuh. Wak kaji mulai menghitung, dia hitung ulang bendel demi bendel uang yang sudah dia susun dengan rapi sebelumnya sambil sesekali mencatat di kertas kecil yang terletak di sampingnya. Di sana tercatat 29.300.000, berarti kurang 700 ribu lagi supaya genap 30 juta untuk biaya ONH. Lalu mulailah wak kaji menghitung pelan-pelan kelompok kami yang sedari tadi seperti diabaikan. “empat ratus…lima ratus” gumam wak kaji sambil mengambil tumpukan kami satu demi satu “enam ratus…tujuh ratus…delapan ratus…semmmbiiiillllaaan ratus…..” sampai di angka sembilan ratus wak kaji berhenti. Dia mengamati aku yang berada di tumpukan paling bawah lama sekali. 30 detik berlalu…1 menit…dan akhirnya dengan mata berkaca-kaca wak kaji meraihku sambil berucap “Alhamdulillah, ya Allah Kau murahkan rejekiku sehingga aku bisa memenuhi panggilanMu sekali lagi…maka genaplah aku 9 kali mendatangi rumahMU ya Allah, bukakan pintu surgaMu lebar-lebar untuk hambamu ini. Hamba telah berusaha dan bersusah payah mengumpulkan rupiah demi rupiah demi menggapai surgaMu ya Allah…” Begitu rintih wak kaji lirih sambil memeluk aku, membelai aku, mengusap-usapkan aku ke seluruh bagian wajahnya, lalu diakhiri dengan menciumi aku tepat di tengah-tengah antara gambar wajah pak bung karno dan pak bung hatta.

Wallahu ,alam
Lantai 2 pratama A2/8
01:22 wib

1 komentar:

  1. Apakah anda sering bermain judi togel..? Pernakah anda memenankan permainan tersebut..? Jika belum, ada solusi yang tepat dan akurat hubungi guru togel mbah suro di nomor 082354640471 beliau sudah terbukti anka ritual nya di kalangan pecinta togel.....!

    BalasHapus