Senin, 16 Februari 2009

Ponari dan Potret Layanan Kesehatan di Indonesia

Fenomena Ponari, anak kecil berusia 10 tahun, yang dipercaya sebagai dukun cilik setelah mendapat batu ajaib bersamaan dengan petir yang menyambarnya pertengahan Januari lalu benar-benar menjadi buah bibir media lokal maupun nasional. Meskipun secara medis khasiat batu ajaib tersebut belum pernah terbukti namun berita keampuhan batu tersebut telah menyebar ke seantero nusantara. Keberadaan Ponari menarik minat puluhan ribu massa untuk datang ke kediaman Ponari dalam upaya memperoleh kesembuhan penyakit yang mereka derita.

Tidak kurang dari 50.000 pasien mendatangi rumah Ponari setiap hari dalam kurun waktu 20 hari terakhir. Hanya karena keterbatasan waktu, dalam sehari Ponari melalui batu bertuahnya “cuma” mampu menangani 10.000 hingga 15.000 pasien. Hal ini dimungkinkan oleh proses pengobatan yang hanya berlangsung sekitar satu detik untuk setiap pasien. Teknisnya, pasien atau yang mewakili cukup datang dengan membawa gelas atau botol berisi air lalu antri menunggu giliran untuk mendapat sekali pencelupan batu bertuah milik oleh Ponari.

Terlepas dari terenggutnya 4 nyawa akibat berdesakan dalam antrian panjang di halaman rumah Ponari, satu hal yang harus dicermati bersama adalah kondisi pelayanan kesehatan di negeri ini. Telah menjadi rahasia umum bahwa pelayanan kesehatan di negeri ini jauh dari yang diharapkan banyak pihak. Keluhan terhadap buruknya pelayanan kesehatan pemerintah seringkali menghiasi media massa kita. Terutama pelayanan kesehatan untuk keluarga miskin (gakin).

Meskipun pemerintah telah meluncurkan program jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) namun pada kenyataanya program tersebut masih saja menyisakan beragam masalah baru. Mulai dari problem kualifikasi gakin yang berhak mendapatkan kartu jamkesmas hingga tengara nepotisme dalam proses identifikasi dan verifikasinya. Namun problem utamanya adalah diskriminasi pelayanan yang diberikan oleh petugas Rumah Sakit pemerintah atau Puskesmas kepada gakin pemegang kartu jamkesmas meskipun secara legal mereka berhak mendapatkan pelayanan setara dengan yang lain. Seakan melanggengkan budaya feodal, pelayanan kesehatan kepada gakin tersebut selalu masuk dalam antrian paling belakang. Ini ironis jika melihat fakta bahwa mayoritas pasien Rumah Sakit pemerintah adalah gakin

Membeludaknya pasien di tempat praktek dukun cilik Ponari adalah refleksi buruknya pelayanan serta mahalnya biaya kesehatan yang disediakan oleh pemerintah. Lihat saja, Ponari hanya memasang tarif 5.000 rupiah, itupun bagi yang mampu. Jika tidak mampu boleh langsung pulang sambil membawa obat tanpa harus mengisi kotak amal dan bebas dari perasaan kuatir harus meninggalkan jaminan seperti yang sering dilakukan oleh Rumah Sakit jika si pasien gakin mengalami gagal bayar.

Mahalnya tarif konsultasi dokter dan juga harga obat memaksa gakin untuk mencari pengobatan alternatif semacam Ponari. Mereka pasti tidak akan mau mengantri hingga berjam-jam bahkan berhari-hari untuk sekedar mendapat celupan batu bertuah itu andai pelayanan kesehatan yang menjadi tanggung jawab pemerintah mampu memuaskan mereka.

Keberpihakan kepada gakin dalam pelayanan kesehatan memang seringkali mendapat sorotan. Di saat Rumah Sakit berlomba-lomba membangun pavilyun bertaraf hotel bintang lima dan bertarif ratusan ribu bahkan jutaan rupiah per malam, kita masih menyaksikan antrian panjang mengular di loket yang disediakan untuk gakin pemegang kartu jamkesmas. Pasien gakin terkesan dilayani ala kadarnya sebagai formalitas telah dilaksanakannya program jamkesmas. Coba bandingkan jika yang sakit adalah orang berduit, pelayanan prima yang menjadi motto tiap Rumah Sakit tentu akan langsung diperlihatkan. Padahal, pelayanan kesehatan tanpa diskriminasi adalah hak setiap warga negeri ini.

Dalih mahalnya biaya menjadi dokter serta fakta tertutupnya sistem distribusi farmasi harus segera didobrak. Obat generik yang jamak kita jumpai diresepkan untuk gakin seyogianya tidak beda secara kualitas dengan obat umum yang biasanya berharga lebih mahal. Jangan sampai pasien gakin justru bertambah penderitaannya akibat pola pelayanan kesehatan yang tidak berpihak kepada mereka. Khusus untuk masalah tertutupnya sistem distribusi farmasi, pemerintah harus berani mengambil langkah tegas guna menghapus citra negatif peran dokter sebagai salesman terselubung dalam mekanisme distribusi obat.

Satu catatan yang tidak kalah penting adalah potensi bisnis bidang pelayanan kesehatan. Menurut pengakuan Senen, kakek Ponari, per tanggal 6 Februari lalu dia telah menyetorkan uang ke bank hasil kotak amal yang ditaruh di halaman rumahnya sebesar 326 juta rupiah. Sebuah angka yang fantastis mengingat Ponari baru membuka praktek sekitar pertengahan Januari lalu. Itu pun tanpa patokan tarif alias sukarela. Belum lagi nilai pendapatan dari karcis antrian yang dijual 1.000 rupiah. Dengan jumlah pasien 10.000 hingga 15.000 orang per hari kita bisa hitung dengan gampang uang yang masuk ke kantong Ponari dan kerabatnya. Lalu pendapatan dari jasa parkir kendaraan para pasien. Singkatnya, jutaan rupiah dapat terkumpul dalam waktu singkat.

Lalu bagaimana dengan lembaga penyedia layanan kesehatan pemerintah ? Setali tiga uang dengan fenomena Ponari, Rumah Sakit seringkali dijadikan sebagai mesin uang oleh kepala daerah yang kurang kreatif dalam mendulang PAD. Pada beberapa kabupaten / kotamadaya di Jawa Timur, berdasarkan temuan LSM yang concern di bidang APBD terungkap fakta bahwa lebih dari 50 persen PAD mereka berasal dari Rumah Sakit yang (lagi-lagi) mayoritas pasiennya adalah gakin. Ironis memang, sebab dana tersebut kemudian diputar kembali untuk program jamkesmas yang diperuntukkan bagi gakin.

Lingkaran setan pelayanan kesehatan khususnya bagi gakin ini menjadi PR buat pemerintah untuk bekerja lebih keras menuntaskan problematika pelayanan kesehatan. Jika pelayanan kesehatan tetap seperti saat ini jangan salahkan jika gakin lebih antusias berobat kepada Ponari dan rekan sejawat ketimbang ke Rumah Sakit atau Puskesmas.

Nyaleg

“Halo, jangan pura-pura tidak dengar, saya sudah keluar dana jutaan. Anda harus bertanggung jawab. Kerja gak beres, maunya minta uang melulu” Teriak Mansur penuh amarah dari ponselnya.
“Maaf pak, kami bertanggung jawab kok, akan kami perbaiki semua kesalahan cetaknya, free pak, bapak gak perlu keluar uang lagi” jawab suara di seberang sana agak takut-takut.
“Bukan masalah uangnya, kamu ini gimana, ini sudah Februari, coblosan tinggal 2 bulan lagi” damprat Mansur sengit.
“Kami janji 1 minggu lagi selesai pak” lanjut lawan bicara Mansur
“Awas kalau tidak selesai, saya polisikan kamu” Hardik Mansur
“Wah jangan gitu dong pak, saya janji minggu depan sudah ada di kantor bapak”
“Sudah-sudah, pusing saya, kalau 1 minggu gak selesai lihat aja” Ancam Mansur sambil menutup pembicaraan lewat ponselnya.

Sebulan lalu Mansur memesan 200 baliho, 50 spanduk, 500 pamflet dan 1000 bendera parpol tempatnya bernaung ukuran kecil. Mansur memilih percetakan atas rekomendasi seorang temannya yang telah dilayani terlebih dahulu oleh percetakan tersebut. Mansur sudah melihat sendiri hasilnya bagus dan harganya lebih miring daripada percetakan lainnya.

Masalah besar muncul ketika pesanan tersebut telah rampung. Mansur naik pitam karena hasil akhir tidak sesuai dengan pesanan. Dan, yang paling fatal, misi keislaman yang akan diusung Mansur untuk kampanye pileg mendatang berantakan.

Ada satu kalimat bernada ajakan yang berbunyi “Tinggalkan maksiat, songsong syariat”. Ini adalah ide Mansur untuk bisa menarik pemilih di kantong-kantong fundamentalis. Nah, yang membikin Mansur naik pitam setelah pesanan jadi, kalimatnya terbalik menjadi “Tinggalkan syariat, songsong maksiat”.

Mata Mansur menerawang jauh. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika baliho, spanduk serta bendera parpol pesanannya tidak selesai dalam waktu seminggu ini. Bisa kacau semua rencana yang telah dia susun rapi untuk keperluan kampanye.

Padahal sesuai dengan kesepakatan raker partai, paling lambat akhir Januari semua baliho, spanduk dan atribut lain harus sudah terpasang di beberapa titik yang sudah disepakati. Ini menjadi persoalan tersendiri bagi Mansur, sebab saat ini bisa dibilang dia adalah leader dalam partainya. Apalagi partai telah menetapkan Mansur sebagai caleg no urut 1.

Mansur sengaja menonjolkan unsur penegakan syariat islam dalam materi kampanyenya kali ini. Sebab dia ditempatkan pada dapil yang mayoritas penduduknya adalah daerah kantong kaum fundamentalis. Sehingga mau tidak mau Mansur harus mengedepankan misi tersebut.

Melalui beberapa orang yang dia tunjuk sebagai tim sukses, Mansur memoles setiap materi kampanyenya sehingga bernafaskan syariat islam. Pakaian yang dia kenakan untuk gambar foto diri yang dipajang di baliho dan spanduk adalah stelan sarung samarinda motif gelap dengan gamis putih lengkap dengan jubah di bahu serta sorban sebagai tutup kepalanya. Tangan kanannya memegang kitab suci dan di tangan kirinya tergantung sebuah tasbih mini berbahan kayu.

Latar belakangnya adalah gambar sebuah masjid megah di kotanya. Lalu di sampingnya terpampang tulisan besar berbunyi “tinggalkan maksiat, songsong syariat”. Kalimat itu dia dapatkan setelah berkonsultasi dengan beberapa ahli bahasa dan tim suksesnya. Tapi apa daya, ternyata pihak percetakan salah dalam melakukan proses finishing, sehingga materi tulisan tersebut terbalik.

Selain atribut partai yang bernafaskan keislaman, Mansur juga rajin mengunjungi jamah-jamah pengajian di dapilnya. Sehingga praktis acaranya semakin padat belakangan ini. Mansur juga mengagendakan untuk mengadakan sosialisasi program kerjanya di beberapa stasiun televisi lokal serta radio. Ini penting untuk menancapkan pesan dan juga kesan di mata masyarakat bahwa Mansur adalah seorang muslim yang taat sekaligus berada pada barisan terdepan dalam membela islam.

Dalam beberapa kesempatan wawancara dengan media cetak dan elektronik Mansur selalu menyentil UUAP yang harus ditaati oleh semua elemen masyarakat di tanah air. Mansur menjadi begitu bersemangat bila dalam setiap kesempatan ditanyai masalah UUAP dan penerapannya. Dengan bersikap pro UUAP Mansur berharap media akan memblow-up dirinya sehingga opini publik bisa terbentuk dengan lebih mudah.

Selain isu kembali kepada syariat islam dan UUAP Mansur juga rajin mengumandangkan penolakannya kepada seks bebas. Bahkan dia sengaja membuat posko pengaduan dan konsultasi khusus untuk hal ini. Mansur menggaet dokter, psikiater dan juga tokoh masyarakat yang menurutnya akan mudah diajak kerjasama jika tajuknya adalah memperbaiki moral anak bangsa.
*-*
Saat yang ditunggu-tunggu itu akhirnya datang juga. Pesanan atribut partai untuk kampanye sudah selesai dan sesuai dengan pesanan. Mansur tersenyum puas dengan hasil akhir pesanannya. Dia merasa semua begitu sempurna dan angan-angannya untuk tetap duduk manis di gedung dewan semakin nampak nyata di depannya.

Setelah menginstruksikan untuk memasang semua atribut partai tersebut secara blizkrieg Mansur segera tancap gas merangkul semua komponen yang dia angggap mampu menyokong dirinya. Hampir semua acara sosial warga dia datangi. Tidak peduli mereka kenal atau tidak yang penting Mansur datang. Media cetak dan elektronik yang memang memiliki agenda khusus dalam menampilkan profil caleg dia datangi. Seminar-seminar yang berkaitan dengan penegakan syariat islam serta membahas seks bebas menjadi rajin dia datangi.

Simpati pun mulai berdatangan dari masyarakat. Dukungan riil maupun berupa dukungan doa sering dia terima baik secara langsung maupun melalui telepon, sms dan juga email. Ini cukup melegakan Mansur dan tim suksesnya. Mansur semakin di awang-awang mendapati dukungan riil dari masyarakat dapil-nya sudah ada di genggaman. “Ini hanya tinggal menunggu waktu saja” demikian gumam Mansur.
*-*
Masyarakat menyambut baik program-program yang ditawarkan oleh Mansur. Kembali kepada syariat dan meninggalkan maksiat seakan menjadi daya tarik tersendiri di kalangan masyarakat disaat masyarakat semakin ragu dengan kualitas moral anggota dewan seperti yang sering ditayangkan di media.

Dukungan kepada Mansur mulai mengalir deras. Masyarakat merasa mendapat wakil yang tepat untuk mengatasi berbagai persoalan krisis bangsa yang melanda hebat belakangan ini. Di manapun Mansur berada tidak peduli tua muda, laki-laki perempuan semua mengelu-elukan Mansur sebagai calon wakil mereka yang tepat untuk pemillu mendatang.

Mansur tersenyum penuh kemenangan. Tidak sia-sia dia membayar mahal perusahaan riset untuk keperluan kampanyenya. Ini sungguh di luar dugaannya. Ini seperti menang sebelum berperang.
*-*
Minggu, 29 Maret 2009
Pukul 11:00 WIB
“Assalamualaikum pak Mansur, sudah siap untuk teleconference ?” sapa sebuah suara milik perempuan dengan halus di ujung telepon.
“Wa alaikum, salam…sebentar-sebentar ya, memangnya sudah siap semua ?” Mansur balik bertanya sambil membenahi posisi badannya dari rebahan menjadi duduk di atas tempat tidur.
Ya, ya, sekarang kan jadwal seminar tentang fenomena seks bebas yang diadakan salah satu ormas islam, hampir saja Mansur lupa. Dia semalaman terlalu capek sehingga bangun sangat terlambat.
“Semua pembicara sudah presentasi pak, tinggal Bapak saja yang belum” suara wanita itu melanjutkan.
“OK deh, siap sekarang” jawab Mansur tegas masih di atas tempat tidur.

Beberapa saat berselang dari ponselnya Mansur mendengar suara moderator yang menjelaskan bahwa dalam beberapa saat lagi akan ada dialog interaktif dengan seorang caleg yang begitu peduli dengan persoalan moral dan juga seks bebas. Dan, sederet perghargaan yang pernah Mansur terima tak lupa dibacakan juga. Lalu Mansur pun dimintai pendapatnya tentang seks bebas.
“Assalamualaikum pak Mansur, apa kabar ? Sehat-sehat saja kan Bapak siang ini?” sapa molderator ramah.
“Alhamdulillah, atas ijin dan ridho Allah semua masih dalam track yang dipayungi berkah Allah mas” jawab Mansur lugas.
“Bisa dimulai ya pak, di sini ada Kyai Sofa, Ustad Komarudin, dan juga Habib Jamal. Tentu Bapak sudah kenal baik dengan beliau-beliau ini ya Pak ? Semua telah memaparkan pandangan-pandangannya seputar seks bebas secara panjang lebar tadi. Dan saya yakin Bapak memiliki pandangan tersendiri mengenai fenomena sek bebas ini pak. Silahkan pak Mansur” lanjut moderator.
“Baik, bismillahirrohmanirrohim, Assalamualaikum Kyai Sofa, Ustad Komar, Habib Jamal dan juga seluruh undangan yang berbahagia. Mohon maaf saya tidak bisa hadir hari ini di acara yang sungguh penting demi menjaga moral bangsa sehingga terpaksa harus per telepon saja. Alhamdulillah kita bersama masih diberikan nikmat berupa kesehatan dan iman sehingga tetap memiliki energi untuk amar ma’ruf nahi munkar. Solawat serta salam senantiasa kita haturkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW yang telah menularkan segala bentuk uswatun hasanah. Langsung saja, jika tadi 3 pemateri sudah menyampaikan pandangannya, dan pasti secara gamblang, saya ingin menegaskan sekali lagi bahwa seks bebas yang saat ini menggejala adalah penyakit global. Ini harus bersama-sama kita berantas. Diperlukan kerjasama seluruh elemen masyarakat untuk dapat memberangus fenomena ini. Mulai dari didikan keluarga di rumah, guru-guru di sekolah, jamaah-jamaah di pengajian, pemerintah dengan dinas sosial dan kesehatan serta bagian-bagian masyarakat yang lain. Singkat kata, semua elemen harus terlibat” Mansur menghela napas lalu melanjutkan ”Dampak yang muncul akibat seks bebas kita bisa tahu sendiri lah, mulai dari kehamilan di luar nikah, maraknya aborsi hingga hancurnya tatanan sebuah keluarga yang pasti berdampak lebih luas secara sosial. Padahal hukumnya jelas. Agama apapun pasti melarang, hukum positif menyatakan tidak, dan Quran sebagai rujukan utama kita menyatakan “laa takroba..” Jauhi, jangan dekat-dekat. Kalau mendekati saja tidak boleh apalagi melakukan. Pada intinya, dimanapun kita berada dan bersama siapapun kita, penolakan terhadap seks bebas ini harus senantiasa kita kampanyekan secara masif” Begitu papar Mansur berapi-api.

Beberapa saat berselang peserta diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada Mansur secara interaktif. Ada tiga penanya dan semuanya mendapat jaminan dari Mansur bahwa persoalan Undang-undang anti seks bebas akan dijadikan sebagai agenda utamanya saat dia telah duduk secara resmi di gedung dewan. Mendengar Mansur menjanjikan hal positif tersebut semua hadirin bertepuk tangan meriah sambil meneriakkan nama Mansur berulang-ulang bak pahlawan. Teriakan “Hidup Pak Mansur” “Pak Mansur Pembela Syariat” dan lain sebagainya terdengar dengan jelas di ponsel Mansur. Mansur lega, “Merdeka” pekik Mansur dalam hati.

Dialog interaktif tersebut diakhiri dengan ucapan terima kasih dari moderator, “Bapak, kami ucapkan terima kasih atas kesediaan Bapak bergabung dalam seminar ini, semoga semua yang Bapak perjuangkan mendapat ridho Allah, amin…kita berikan applaus meriah kepada Bapak Mansur sekali lagi !” ucap moderator penuh semangat.

“Terima kasih, saya berharap dukungan dari saudara-saudara semua dalam pemilu April nanti, sehingga program yang telah kita susun bersama dapat berjalan sesuai rencana, sekali lagi mari kita tinggalkan maksiat dan songsong syariat, wassalamualaikum wr wb” kata Mansur mengakhiri pembicaraan sambil tangan kirinya tetap menggamit pinggang Dina, sekretaris barunya, yang duduk manja di pangkuannya nyaris tanpa busana.

Pratama, 15 Februari 2009
01:12 WIB

Senin, 09 Februari 2009

Bapak Anggota Dewan Yth,

Malang, 7 Februari 2009

Perkenalkan nama saya Dul Kamid. Saya tinggal di salah satu sudut pelosok desa di kabupaten Malang, Jawa Timur. Saya wiraswasta dengan penghasilan tidak menentu tetapi masih mau menyisakan waktu untuk peduli dengan kondisi bangsa. Agar lebih akrab saya akan memanggil Bapak dengan pak wan sebagai akronim dari Bapak Dewan. Suka tidak suka, setuju tidak setuju surat ini sudah terlanjur sampai di tangan pak wan.

Sebagai salah satu warga desa yang telah lama menetap di negeri tercinta ini, serta telah mengikuti pergantian pimpinan negara sebanyak empat kali, maka mohon perkenan pak wan saya akan menyampaikan keluh kesah saya. Saya tidak mewakili siapa-siapa, pun juga saya tidak tahu harus ngomong kepada siapa. Yang penting, mohon didengar bukan dengan telinga bapak tapi dengan hati bapak, agar tumbuh empati dan mau berpihak minimal kepada saya sebagai rakyat negeri ini. Syukur-syukur pak wan dapat mempengaruhi teman bapak yang lain untuk tidak saja mau mendengar tapi juga mau mengambil inisiatif atas dasar kerakyatan, atas dasar masukan dari rakyat, saya salah satunya.

Pak wan,
Menurut saya ada satu permasalahan yang mendasari seluruh persoalan negeri ini. Persoalan tersebut adalah persoalan proporsi kesejahteraan yang saya rasa harus segera dibenahi dan disetarakan sehingga persoalan lain menjadi lebih mudah untuk ditangani dan diselesaikan. Kesenjangan strata sosial yang selama ini terjadi menjadi akar permasalahan bangsa. Di satu sisi ada rakyat bangsa ini yang memiliki penghasilan milyaran rupiah per bulan, namun pada sisi lain yang lebih besar kita akan jumpai rakyat negeri ini mengalami kelaparan. Artinya, dia tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk meng-cover kebutuhan hidupnya. Hal ini akan memicu persoalan sosial lain, sebab standart kebutuhan hidup riil sulit untuk diukur.

Saya ambil contoh permasalahan pendidikan. Saat ini telah menjadi rahasia umum bahwa biaya pendidikan demikian mahal sehingga sekolah didominasi oleh anak orang berduit. Memang telah ada beberapa program yang dimaksudkan untuk meringankan beban rakyat dengan membebaskan biaya sekolah sampai di tingkat SMP. Tetapi pada kenyataannya masih tetap saja ada pungutan ilegal yang dilakukan oleh sekolah. Dan lagi kalau hanya sampai SMP, bagaimana dengan SLTA-nya, bagaimana pula dengan Perguruan Tingginya?

Sekolah di perguruan tinggi negeri bisa jadi hanyalah sebuah angan bagi seorang anak yang orang tuanya berpenghasilan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar saja. Kursi di perguruan tinggi dimonopoli oleh anak-anak pejabat, anak orang kaya, anak para dosen dan seolah menjadi tempat yang diharamkan bagi mereka yang berkantong tipis. Ini ironis, sebab pendidikan merupakan hak setiap warga negeri ini.

Menjadi sarjana memang mudah, tetapi bukan sarjana yang sebenarnya. Artinya, praktek jual beli ijazah yang menawarkan kemudahan mendapatkan gelar sarjana menjadi tren di kalangan tertentu untuk berbagai macam maksud. Semua ini tidak akan terjadi bila rakyat negeri ini berada dalam taraf yang cukup untuk dapat membiayai semua keperluan hidupnya. Bukan hanya kebutuhan pokok tetapi juga kebutuhan untuk memperoleh pendidikan, kebutuhan untuk bisa hidup sehat serta mendapatkan perawatan sesuai porsi bila sakit dan lain sebagainya.

Lalu apa yang sebaiknya dilakukan pak wan ?
Saya memiliki beberapa uraian yang bisa pak wan pertimbangkan untuk bisa direnungkan sekaligus dipertimbangkan saat pak wan telah resmi duduk di gedung dewan. Minimal pak wan dapat menggunakannya untuk menekan para eksekutif kita agar dapat bekerja lebih baik lagi.

Berikut akan saya bahas 4 permasalahan utama tersebut satu demi satu :

1.Pangan
Beberapa waktu lalu saya melakukan perjalanan dengan naik kereta api dari Malang menuju Jakarta. Pada saat kereta melintas di daerah Jawa Barat, tidak tahu tepatnya dimana saya tercengang mendapati di sebelah kanan dan kiri rel kereta api terhampar tanaman padi sedemikian luasnya. Keadaan ini berlangsung selama lebih dari sejam. Jika kecepatan kereta api tersebut berkisar antara 60-70 km/jam dapat saya pastikan hamparan padi tersebut adalah ribuan hektar ! Ini luar biasa.

Hanya saja, satu pertanyaan yang kemudian menggelitik angan saya adalah : kemana larinya beras hasil panen dari hamparan sawah seluas itu ? Mengapa pada setiap tahun kita masih jumpai berita kelaparan yang melanda, berita gizi buruk, bahkan berita kriminal yang dipicu oleh desakan ekonomi, desakan kebutuhan perut. Jelas-jelas bertolak belakang dengan realita luasnya hamparan sawah yang menghasilkan jutaan ton padi tersebut.

Menjadi penting untuk melakukan tata niaga beras agar berita kelaparan yang selama ini sering mempermalukan bangsa ini dapat terhapus. Saya menengarai ini adalah ulah para pedagang yang sengaja mempermainkan arus distribusi beras dari hulu ke hilir. Bahkan dalam beberapa media sempat saya dapati bahwa pengijon yang selama ini menghantui para petani dibekingi oleh para pemodal super besar yang tahu bahwa beras memiliki potensi besar untuk dapat dipermainkan. Sebab mayoritas rakyat negeri ini mengonsumsi beras sebagai makanan utama.

Saya mengusulkan agar pak wan mendorong pemerintah untuk melakukan pengawasan distribusi dari hulu ke hilir kepada setiap bahan kebutuhan primer yang menjadi kebutuhan utama rakyat negeri ini (sembako). Dengan demikian berita-berita bahwa rakyat kelaparan akibat sembako mahal, minyak langka dan sejenisnya menjadi cerita masa lalu. Intinya, bikin rakyat kenyang agar tidak merecoki urusan yang bukan menjadi urusannya.

2.Lapangan Kerja
Dari tahun ke tahun piramida penduduk kita menunjukkan semakin tebalnya bagian usia produktif, sayangnya kondisi ini tidak dibarengi dengan ketersediaan lapangan kerja riil yang dapat menyerap tenaga mereka sehingga dapat mandiri secara finansial. Tentu ini semakin menambah beratnya beban keluarga sebagai entitas sosial terkecil dalam struktur masyarakat kita.

Kenyataan semakin meningkatnya angka pengangguran baik yang skilled maupun unskilled serta banyaknya tenaga kerja Indonesia (TKI) yang hanya berprofesi sebagai pembantu rumah tangga (PRT) jelas merefleksikan bahwa negeri ini salah urus, terjadi mismanajemen dalam pengelolaan negara. Dengan segala potensi kekayaan yang dimiliki sekaligus dibanggakan oleh negeri ini tidak semestinya rakyat bukan menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Sejauh ini rakyat seolah tamu yang tidak merdeka dan menunggu tuan rumah untuk dipersilahkan meskipun hanya untuk sekedar bisa duduk di kursi tamu tuan rumah. Ini benar-benar mengenaskan !

Pak wan harus memaksa pemerintah untuk membuka lapangan kerja serta memberikan kesempatan kepada anak negeri untuk bekerja, bekerja, dan bekerja. Apapun caranya ! Negara ini memiliki areal persawahan yang sangat luas dan tentu memerlukan jutaan tenaga untuk menggarapnya. Negara ini memiliki lautan yang sangat-sangat luas yang menunggu untuk dipanen ikannya. Negara ini memiliki wilayah udara yang demikian luas dan berpotensi mendatangkan trilyunan rupiah atas pengelolaannnya. Negara ini memiliki hutan yang sangat luas bahkan diyakini sebagai paru-paru dunia. Negara ini memiliki kekayaan tambang yang hampir tiada tertandingi mulai dari minyak mentah, timah, bijih besi, tembaga bahkan emas !

Pak wan harus mendesak agar pemerintah mengeluarkan regulasi yang memungkinkan rakyat negeri ini dapat menduduki setiap level jabatan di beberapa perusahaan asing yang melakukan eksplorasi atas kekayaan alam Indonesia, sehingga dapat terjadi transfer knowledge. Pada gilirannya, entah itu 10 atau 50 tahun ke depan semua level dapat ditempati oleh tenaga kerja full dari bangsa kita sendiri. Bukan seperti kenyataan selama ini yang hampir selalu menempatkan rakyat negeri ini sebagai tenaga kita pada level rendah bahkan terendah.

Ini harus direvolusi. Pak wan harus berani mengambil langkah strategis, yang berpihak kepada rakyat. Dorong, yakinkan dan paksa penyelenggara negara ini bahwa cepat atau lambat negeri ini harus mandiri dan tidak bergantung kepada orang asing seperti yang saat ini terjadi. Kita harus berani dan bisa mengambil langkah tegas dalam memutus mata rantai ketergantungan itu. Meski awalnya berat namun jika dilalui bersama maka akan terasa lebih ringan. Daripada secara politik kita merdeka namun secara ekonomi kita terjajah. Penderitaannya akan terasa lebih lama.

3.Hukum
Saya buta masalah hukum, hanya tahu kulit luarnya saja. Namun dari media serta dari beberapa teman yang menggeluti bidang hukum saya jadi terpaksa mengerti. Minimal saya tahu bahwa hukum di negeri ini tidak memiliki kewibawaan seperti yang diharapkan banyak pihak.

Saya tidak tahu siapa yang lemah, hukum atau pelaku hukum. Yang saya tahu sebuah negara bisa berdiri tegak bila hukum dijunjung tinggi, ditaati serta dipatuhi oleh semua komponen bangsa. Hukum tidak pandang bulu apakah itu pejabat, polisi, petani, buruh dan lain sebagainya. Di mata hukum strata mereka adalah sama. Itu adalah idealnya, namun kenyataannya?

Kita sering jumpai ulah diskriminatif yang ditunjukkan oleh oknum saat menangani berbagai kasus hukum yang biasanya melibatkan rakyat yang berasal dari berbagai macam kelas sosial. Yang berduit mendapat pelayanan nomer satu sementara rakyat jelata disia-sia. Koruptor dapat tidur nyenyak makan enak sementara maling ayam harus mendekam dengan tubuh lebam. Ini tidak adil, semestinya koruptor mendapat hukuman lebih berat dari maling ayam, baik secara fisik maupun moril, bukan sebaliknya.

Kepastian hukum menjadi pertanyaan yang paling sering mengemuka dalam setiap sesi diskusi maupun praktek sehari-hari. Secara teori materi hukumnya baik, telah disusun dengan mempertimbangkan berbagai macam aspek kehidupan, namun sayang tidak didukung oleh personil yang mumpuni dalam mempertahankan jejak langkahnya pada koridor hukum tersebut. Keinginan-keinginan untuk sedikit serong bahkan sengaja zig-zag dalam mempraktekkan hukum menjadikan negeri ini menjadi salah satu negara yang tidak terpercaya saat melakukan kontak dengan negara lain, utamanya untuk urusan perdagangan serta kerjasama yang lain.

Kebiasaan menolerir kesalahan kecil dalam pelanggaran hukum telah menjadikan kesalahan tersebut sebagai yurisprudensi yang semakin lama semakin membesar. Sehingga seakan-akan kita menjadi masyarakat yang permisif dengan berbagai macam tindakan yang dalam ukuran internasional adalah melawan hukum. Sebut saja perilaku pembajakan software yang mencederai hak cipta dan hak atas kekayaan intelektual, kemudian pembajakan film dan lagu, berikutnya pembajakan buku serta perilaku melanggar hukum lainnya yang telah demikian jamak terjadi di negeri ini.

Berbagai persoalan hukum tersebut harus segera dituntaskan. Bahkan harus masuk dalam agenda prioritas kerja pak wan dan kawan-kaan yang memiliki kewenangan serta kemampuan penuh untuk mendorong persoalan tersebut ke arah yang lebih baik. Sebab jika tidak segera dibenahi kita akan semakin terpuruk ke dalam lembah kehancuran akibat tidak adanya standart kepastian hukum.

4.Kebudayaan
Budaya memiliki cakupan yang sangat luas serta merasuk dalam setiap sisi kehidupan masyarakat. Beberapa buku yang pernah saya pinjam dari teman mengungkapkan bahwa culture adalah construct, artinya budaya terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan yang jamak dilakukan oleh masyarakat. Kebiasaan tersebut mendorong terciptanya perilaku yang khas dalam sebuah tatanan masyarakat.

Pak wan bisa cermati bagaimana budaya kita saat ini telah tergerus oleh budaya asing yang menuju pada dekonstruksi moral. Bahwa arus informasi akibat proses interaksi internasional yang belakangan demikian deras mengalir masuk ke negeri ini adalah kenyataan yang tidak bisa dihindarkan. Artinya sebagai negara yang terbuka kita memiliki potensi untuk terpengaruh oleh budaya asing yang boleh jadi tidak sesuai dengan yang kita anut selama ini.

Sebut saja tayangan televisi, media cetak, internet, produk ponsel dengan segala bentuk fiturnya, makanan serta produk konsumsi lainnya bahkan sampai pada sistem pendidikan. Hampir tidak ada celah yang lolos dari pengaruh asing dengan segala konsekuensinya. Bahwa semua itu adalah bagian dari perkembangan jaman saya setuju, namun mari kita secara cermat dan cerdas berhitung, antara benefit yang kita dapatkan dengan kerusakan jangka panjang yang berpotensi terjadi mana yang lebih dominan.

Sejujurnya tanpa harus kita bahas secara detail kita akan sadar bahwa perilaku masyarakat kita telah bergeser ke arah pola hidup barat yang seringkali menimbulkan problem sosial baru di lingkungan kita sendiri. Secara tidak sadar kita telah terbentuk menjadi bangsa yang demikian tergantung dengan produk asing. Sebut saja tayangan televisi, suatu ketika kita akan sedemikian kehilangan saat program yang biasanya tayang kemudian tidak tayang. Sebut saja tayangan sepak bola internasional. Beberapa waktu lalu masyarakat penikmat tontonan sepak bola internasional melakukan demo akibat hilangnya tayangan favorit mereka dari layar kaca karena hak tayangnya dibeli oleh televisi berbayar.

Sepenting apa sih tayangan sepak bola bagi kemajuan bangsa ini, kok sampai melakukan unjuk rasa ? kalau boleh berhitung secara sederhana durasi pertandingan adalah 2 X 45 menit ditambah dengan istirahat dan ulasan dari para komentator maka seorang pemirsa harus duduk manis berkonsentrasi menyaksikan sebuah pertandingan tersebut selama lebih dari 2 jam.

Lalu benefit apa yang bisa didapat dari pertandingan tersebut ? Paling banter hanyalah kepuasan mata dan refresh-nya otak. Coba kita lebih wise dalam memanfaatkan waktu, 2 jam bisa demikian produktif untuk melakukan hal-hal lain yang bermanfaat, misalnya saja membaca buku atau bahkan untuk mengerjakan sebuah pekerjaan yang efektif secara finansial. Tentu ini lebih bermanfaat.

Tetapi masyarakat kita telah terbuai dengan segala macam tayangan tersebut. Kita secara perlahan namun pasti telah menjadi obyek penderita atas berkuasanya kapitalisme yang terbungkus rapi dalam tayangan yang meninabobokan tersebut. Pelan tapi pasti kita didorong untuk menjadi bangsa yang pemalas, yang hanya bisa duduk manis menyaksikan tayangan televisi, menyaksikan gol-gol indah kreasi pemain sepak bola dunia, dibuai mimpi-mimpi kekayaan milyaran rupiah dan rumah mewah yang ditawarkan oleh alur cerita sinetron, diarahkan untuk mengekor cara berpakaian para selebritis yang secara moral sungguh tidak sesuai dengan budaya asli kita.

Pak wan, saya cuma mau bilang, paksa eksekutif negeri ini untuk menertibkan semua perkara tersebut. Jangan justru larut dalam arus yang menyeret kita tersesat jauh. Saya sering memperhatikan eksekutif kita justru berpihak kepada rupiah yang akan mengalir ke kantong mereka dan bukan untuk kepentingan rakyat secara nasional dan jangka panjang. Sadarkan mereka bahwa mereka adalah ujung tombak pengarah “anak panah masa depan bangsa” yang melesat liar dan dan melaju kencang di tengah jutaan badai serta kelamnya awan percaturan dunia internasional. Pastikan jati diri budaya bangsa tidak rusak terkoyak oleh kencangnya budaya asing yang tidak sesuai dengan yang diamanahkan oleh para pendiri bangsa ini.

4 persoalan tersebut di atas akan bisa teratasi jika secara ekonomi rakyat kita sejahtera. Artinya, ketika rakyat cukup makan serta dapat memenuhi kebutuhan yang lainnya maka hal ini akan mendorong rakyat untuk bertindak secara bijak, baik saat berhadapan dengan persoalan pendidikan, layanan kesehatan serta persoalan lain yang selama ini terasa demikian berat.

Rakyat akan dapat hidup tenang jika perut mereka telah terisi dan ada cukup cadangan pangan untuk hari esok. Persoalan inilah yang saya rasa harus diatasi terlebih dahulu, baru persoalan lain akan terurai satu demi satu. Sebab persoalan mahalnya pendidikan, diskriminasi layanan kesehatan untuk keluarga miskin, menggelembungnya pengangguran serta perilaku korupsi sejatinya bermuara pada satu hal, yaitu harus terpenuhinya kebutuhan hidup.

Pak wan,
Secara panjang lebar saya telah menyampaikan keluh kesah saya, pandangan-pandangan saya, semoga uraian saya tersebut dapat menginspirasi pak wan untuk munculnya ide-ide konstruktif lain demi keberpihakan penyelenggaraan negara kepada rakyat. Semoga dalam masa kerja pak wan nanti keberuntungan selalu berpihak sehingga dipercaya rakyat untuk masa kerja berikutnya. Terakhir, tidak lupa saya ucapkan terima kasih telah bersedia mendengarkan kalimat demi kalimat yang mengalir dari jari saya.

Salam damai dari saya,
Dul Kamid

Mereduksi Kesenjangan

Beras dan gula mahal, minyak langka, biaya pendidikan tidak terjangkau hingga tengara diskriminasi dalam pelayanan kesehatan kepada keluarga miskin (gakin) menjadi konsumsi kita sehari-hari dalam tayangan media cetak maupun elektronik. Belum lagi permasalahan korupsi, pungli hingga gratifikasi yang mengakrabi ranah birokrasi negeri ini. Isu-isu tersebut juga kencang dihembuskan oleh bebepara LSM yang concern terhadap berbagai masalah sosial bangsa.

Permasalahan yang datang dan melanda secara bertubi-tubi ini menantang kita untuk menyelesaikannya secara komprehensif. Kita dapati berbagai macam upaya telah dilakukan, baik oleh lembaga pengambil kebijakan maupun masyarakat secara mandiri dalam kelompok-kelompok sosial yang kecil. Namun dari hari ke hari nampaknya sinar cerah belum juga nampak, matahari yang mencerahkan sekaligus menghangatkan seakan malas menampakkan dirinya secara utuh.

Berbagai kajian serta diskusi publik dilakukan dan ditindaklanjuti. Ahli-ahli dunia dimintai pendapat, bahkan sarannya dijadikan pijakan dalam proses pengambilan kebijakan publik. Namun hasil positifnya belum juga nampak berpihak kepada bangsa ini. Kondisi ini mendorong munculnya pemikir-pemikir baru yang secara simultan tidak pernah lelah memberikan perhatian penuh kepada berbagai persoalan negeri ini.

Dari sekian kajian yang pernah dilakukan serta telah mejadi semacam rekomendasi tindak lanjut, nampaknya terdapat satu persoalan yang menjadi akar dari (hampir) segala permasalahan yang melanda bangsa ini. Persoalan tersebut adalah kesenjangan sosial yang menganga lebar bahkan telah menjadi jurang pemisah yang sedemikian dalam antara si kaya dan si miskin.

Mari kita ulas secara sederhana bagaimana persoalan kesenjangan ini berbuntut panjang. Poin penting yang harus selalu kita pegang sebagai amanah dari founding fathers bangsa ini adalah sila kelima dari Pancasila yang berbunyi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.

6 kata dalam kalimat tersebut memuat arti yang sangat dalam sekaligus mulia. Pendiri bangsa ini mengidealkan satu keadaan dimana seluruh rakyat negeri yang terhampar luas di garis katulistiwa ini dapat menikmati keadilan dari seluruh potensi kekayaan yang terkandung di dalamnya. Baik di darat dengan kesuburan tanahnya, di laut dengan potensi hasil ikan dan tambang minyak lepas pantainya serta di udara dengan segala kekayaan oksigen yang bisa dinikmati gratis hingga potensi triliunan rupiah sebagai konsekuensi ekonomi hasil dari aktifitas teknologi informasi.

Setelah merdeka lebih dari 60 tahun cita-cita mulia tersebut belum juga nampak. Yang terjadi justru sebaliknya. Sektor ekonomi dikuasai oleh beberapa gelintir orang yang memiliki penghasilan bersih mencapai 13 digit per tahun. Di sisi lain berita kelaparan, gizi buruk serta perkara kriminal yang didasari oleh persoalan isi perut selalu menghiasi media massa kita. Ini menyadarkan kita bahwa distribusi pendapatan tidak merata dan telah membentuk grafik dengan range yang sangat lebar antara grup berpendapatan tertinggi dengan grup berpendapatan terendah.

Lebarnya range tersebut pelan tapi pasti terus melebar seiring dengan perkembangan waktu. Artinya, dari tahun ke tahun amanat pendiri bangsa untuk berkeadilan sosial menjadi terabaikan. Kita yang mati-matian mengecam paham kapitalisme ternyata juga menerapkannya, baik terang-terangan maupun semu. Bila mau jujur, siapa yang tidak tergiur dengan paham yang mengedepankan gelimang uang, uang dan uang tersebut ? Padahal dalam setiap even kita selalu menempatkan diri berseberangan dengan paham tersebut, baik secara perorangan maupun kelembagaan. Ironis memang, tetapi itulah kenyataan yang terjadi.

Kondisi ini tidak boleh dibiarkan berlarur-larut. Lebarnya range telah menciptakan kelas sosial yang sangat beragam. Meskipun secara statistik kita hanya mengenal golongan atas, menengah dan bawah namun pada kenyataannya kelas sosial dalam struktur masyarakat kita sangat beragam. Ini menyulitkan upaya memetakan profil pada setiap kelas demi identifikasi standart kelayakan hidup. Misalnya saja saat penetapan kriteria gakin yang berhak mendapatkan jatah raskin (beras untuk rakyat miskin). Keberagaman kondisi riil di tiap daerah memaksa munculnya kriteria yang didasarkan atas profil masyarakat ibu kota (Jakarta). Ini tentu menimbulkan masalah jika diterapkan di daerah lain. Dengan parameter yang sama kriteria gakin tersebut sulit untuk bisa lagi ditemukan, atau bahkan tidak mungkin lagi ditemukan.

Mempersempit range kesenjangan kelas sosial harus menjadi prioritas kerja para pengambil kebijakan negeri ini. Dan, cara yang paling sederhana adalah dengan mendorong naik grup berpendapatan terbawah, dan dalam waktu bersamaan menurunkan level pendapatan grup berpendapatan tertinggi. Upaya ini tentu dengan beragam konsekuensi, yang didorong naik tentu senang, namun grup berpendapatan teratas tentu akan melakukan perlawanan. Demi kepentingan yang lebih besar ini harus dilakukan, bukan hanya berlandaskan amanah pendiri bangsa tetapi juga atas nama kesetaraan martabat manusia Indonesia.

Mendongkrak grup berpendapatan terendah bukan perkara mudah. Selama ini sering kita jumpai keengganan untuk meninggalkan level tersebut secara masif. Artinya mereka sudah merasa bahwa di situlah comfort zone mereka. Secara psikologis mereka yang menempati level tersebut telah menjatuhkan vonis kepada diri mereka sendiri bahwa di situlah tempat mereka.

Mandiri secara finansial adalah mimpi setiap orang. Namun hanya sedikit yang mau menebus harga kemandirian tersebut. Ini yang harus secara kontinyu didesakkan kepada mereka. Adalah percuma segala macam program kemandirian secara ekonomi diluncurkan namun tidak dibarengi dengan upaya penyadaran diri bahwa sukses secara finansial itu berharga mahal. Harus ada yang dikorbankan, baik itu waktu, tenaga serta berbagai bentuk kesenangan semu yang seringkali menjerat langkah kaki mereka.

Kesadaran itu pada gilirannya akan menjadi pondasi yang kokoh untuk berbagai macam program kemandirian ekonomi yang akan melibatkan mereka di dalamnya. Tidak usah terlalu pusing memikirkan bentuk program, kita telah memiliki sebentuk badan usaha yaitu koperasi yang sedari dulu telah kita yakini mampu menjadi penopang utama sistem ekonomi bangsa ini. Jika teori berkoperasi baik berarti kita tinggal mempersiapkan pelakunya sebaik mungkin sehingga potensi penyimpangan dapat diminimalisir.

Mengapa koperasi ?
Sebab secara kelembagaan kita sudah memiliki badan publik tersebut sampai pada level pemerintahan terendah yaitu desa dengan KUD-nya. Jadi, KUD itu saja yang sebaiknya kita kelola dengan sentuhan manajemen gaya baru yang mengedepankan profesionalisme dan profit oriented. Semua aktifitas ekonomi pedesaan dipusatkan di KUD. Misalnya bidang pertanian, mulai dari penyediaan benih tanaman, alat pertanian, distribusi pupuk dan obat hama hingga distribusi hasil panen terpusat di KUD sehingga KUD bisa menjadi sentra aktifitas ekonomi yang benar-benar menghidupkan perekonomian warga.

KUD juga dapat dipakai sebagai alat untuk terbentuknya serta terjaganya fair price setiap produk konsumsi yang masuk ke daerah tertentu, terutama dalam distribusi sembako. Artinya dengan pola kepemilikan bersama semacam KUD menjadikan KUD sebagai sebuah lembaga ekonomi yang tidak melulu memikirkan profit namun juga sebagai pengendali harga produk konsumsi yang selama ini sering berfluktuasi bahkan tidak jarang volatil.

Demikian juga dengan program-program lain yang biasanya diluncurkan oleh pemerintah, pusatkan saja semuanya di KUD. Ini menjadikan KUD berdaya secara ekonomi, memiliki nilai tawar yang cukup kuat saat berhadapan dengan partner bisnisnya sehingga mendorong terbentuknya SHU yang akan kembali lagi kepada para anggotanya.

Terdengar seperti mimpi memang, sebab selama ini kita telah dapati berbagai macam bentuk penyelewengan yang dilakukan oleh oknum pengelola KUD. Namun tidak ada salahnya jika upaya perbaikan ini dilakukan secara nasional dengan melibatkan seluruh komponen warga. Jika dilakukan bersama-sama, tentu upaya mengentas grup berpendapatan terendah ini akan menjadi lebih ringan.

Lalu bagaimana cara mengerem pendapatan masyarakat pada level tertinggi ? Kunci utamanya adalah penanaman jiwa nasionalisme dalam diri setiap warga negara. Sadarkan mereka bahwa kita hidup secara kolektif di sebuah negara yang berseberangan dengan paham kapitalisme. Kaya tidak dilarang, namun harus memiliki sense of humanity yang kuat kepada kelas sosial yang berada pada level di bawahnya.

Para konglomerat yang menempati kelas sosial level tertinggi berjumlah paling kecil, namun memiliki pengaruh paling besar dalam penentuan arah kebijakan negara baik secara ekonomi maupun politik. Bahkan ada potensi untuk menguasai aset-aset strategis bangsa yang semestinya digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Ujung-ujungnya bermuara pada syahwat berkuasa yang dibalut dengan berbgai macam aktifitas ekonomi. Ini membahayakan, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Langkah paling mujarab untuk mengerem laju kuasa kapital tersebut adalah dengan diterbitkannya regulasi (undang-undang) yang membatasi kepemilikan aset baik secara perorangn maupun kelembagaan. Terasa aneh memang, apalagi di tengah arus globalisasi yang mendorong siapapun untuk berkuasa secara kapital. Namun ini penting untuk kepentingan nasional. Coba kita lihat keadaan para konglomerat kita saat ini. Siapa saja mereka, siapa di belakang mereka, apa saja bisnisnya serta bagaimana kepedulian sosial mereka ?

Satu dua orang memang telah memiliki kesadaran untuk menyisihkan sebagian keuntungan usahanya untuk kepentingan sosial, baik melalui program CSR maupun program lain yang secara langsung menyentuh masyarakat kelas bawah. Namun dari istilahnya saja (menyisihkan) kita bisa tahu bahwa persentasenya masih jauh dari cukup untuk mengatasi persoalan-persoalan sosial sebagai akibat dari aktifitas bisnis yang mereka lakukan. Ini harus direvolusi, wakil rakyat harus mampu mendorong pemerintah sebagai pengambil kebijakan untuk melakukan penataan ulang terhadap level teratas ini.

Harus diambil langkah berani berupa pembatasan kekayaan para pemilik perusahaan berupa penyertaan buruh dalam kepemilikan saham tempat mereka bekerja. Secara teknis, selain upah yang diterima, buruh juga berhak menerima share (saham) dari perusahaan tempatnya bekerja. Pertimbangan yang dilakukan bisa berupa masa kerja buruh atau prestasi kerja buruh. Atau dari sisi perusahaan bisa ditentukan batas atas kepemilikan aset, baik yang likuid maupun yang fixed. Sehingga saat perusahaan telah mencapai titik yang telah ditentukan tersebut mereka wajib membagikan kepemilikian sahamnya kepada para buruh. Dengan demikian semakin besar sebuah perusahaan maka pemilik beserta buruh dapat maju secara bersamaan secara finansial.

Hubungan mutual tersebut akan berlangsung harmonis selagi perusahaan menjalankan menejemennya secara terbuka dan sehat. Artinya ada kerjasama yang saling menguntungkan, satu sisi pemilik perusahaan dibantu buruh dalam menghasilkan keuntungan melalui proses produksi beserta segala aktifitas yang dijalankannya. Di sisi pemilik perusahaan (konglomerat) berperan aktif dalam mendongkrak posisi kelas sosial para buruh yang tergabung dalam perusahaannya. Sehingga secara sinergi keadaan ini akan mempersempit range kelas sosial antara level atas dan level bawah.

Bukan seperti kondisi saat ini dimana posisi buruh hampir selalu dikalahkan oleh para pemilik perusahaan. Buruh memiliki nilai tawar yang lemah di hadapan perusahaan. Sehingga hubungan yang terbangun selalu menegangkan dan berprinsip “law and punishment”. Tentu saja hubungan yang tidak harmonis ini menyulitkan terwujudnya tatanan masyarakat madani seperti yang diimpikan oleh pendiri bangsa ini serta dicita-citakan oleh semua komponen bangsa.

Harus diakui bukan pekerjaan mudah menuntaskan 2 poin di atas. Namun, niat baik yang terus didengungkan sekaligus dibarengi dengan usaha keras yang pantang menyerah layak untuk dilakukan. Kita harus memelihara mimpi indah sejajarnya bangsa ini dengan bangsa lain yang telah lebih dulu meraih kemakmuran demi terjaganya semangat kerja keras kita.

Resep sederhana yang berbunyi : dimulai dari yang kecil, dari diri kita sendiri dan dari saat ini nampaknya harus dilakukan untuk mendorong terwujudnya mimpi manis berupa kemakmuran bangsa ini.

Langkah pertama dengan mempersempit kesenjangan sosial yang saat ini menganga sangat-sangat lebar antara level atas dan bawah. Jika range tersebut telah sukses kita persempit maka langkah selanjutnya akan mengalir dengan lebih mudah. Sebut saja masalah mahalnya pendidikan, atau diskriminasi layanan kesehatan kepada gakin. Dua persoalan tersebut bahkan akan dapat dihindarkan bila level terbawah dalam kelas sosial kita berhasil naik dan level teratas “mau” turun atau minimal tetap diam di tempat. Artinya ada perbaikan pendapatan pada level terbawah, sementara pada level teratas rela berbagi demi terciptanya tatanan ideal masyarakat yang mandiri secara finansial..

Wakil rakyat harus menjalankan fungsinya berdasarkan amanah daulat rakyat. Pemerintah sebagai lembaga eksekutif harus berani melakukan setiap program yang diamanahkan undang-undang secara strict dan disiplin. Penegak hukum sebagai ujung tombak ketertiban berbangsa dan bernegara harus berjalan lurus melaksanakan amanah hukum tanpa kompromi. Rakyat sebagai komponen paling bawah harus berperan sebagai rakyat, aktif melakukan pengawasan pelaksanaan setiap kebijakan yang dirilis pemerintah. Bukan berlaku apatis dan masa bodoh terhadap permasalahan bangsa.

Inilah tatanan yang selalu diidealkan, rakyat berdaulat atas negeri ini secara utuh.

Santri Kul Hu

Namanya Kasemo Arjowinangun, biasa dipanggil kang Semo, usia 45 tahun. Pekerjaan sehari-harinya adalah mencari rumput untuk kambing kepunyaan Pak RT yang dititipkan kepadanya dengan sistem bagi hasil. Istilah di desa kami disebut “maro”, artinya Pak RT nitip kambing kepada kang Semo. Kang Semo bertanggung jawab terhadap terjaminnya asupan makanan kepada kambing tersebut. Nah, begitu si kambing melahirkan anak kambing, jika 2 maka Pak RT dan Kang Semo berbagi anak kambing tersebut masing-masing 1, dan jika hanya melahirkan 1 anak kambing maka akan dinilai dengan uang lalu dibagi 2 sama besar. Biasanya Pak RT yang akan melakukan penaksiran lalu memberikan separo dari nilai anak kambing tersebut kepada Kang Semo.

Sudah 3 tahun terakhir ini Kang Semo menjadi santri di surau tua milik Ustad Jamal, putra tunggal almarhum Kyai Hafid, seorang sesepuh desa kami . Kang Semo yang tidak lulus SD sekarang harus belajar mengeja huruf Arab yang menurutnya jauh lebih sulit dari mengeja huruf latin. Selepas maghrib hingga menjelang sholat isya’ Kang Semo rajin mengantri giliran mengeja huruf demi huruf Arab dalam juz ‘amma kepunyaan anak semata wayangnya, Darminto, yang masih duduk di kelas 2 SD.

Tanpa kenal lelah Kang Semo mengeja huruf demi huruf hingga tanpa terasa telah 3 tahun Kang Semo menjadi santri ustad Jamal. Ada 1 surat pendek yang menjadi idola Kang Semo, setiap hari selalu saja dia baca, dia eja bahkan dengan susah payah selalu dia hafalkan. Meskipun telah demikian susah payah berusaha menghafalkan namun karena keterbatasan kemampuan serta jenis lidah yang telah di Kun oleh pembuatnya untuk sulit mengucapkan kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, jadinya hanya dua kata yang selalu meluncur dari mulut Kang Semo, yaitu Kul Hu, tidak lebih.

Meski telah 3 tahun mencoba dengan keras namun hanya itu yang mampu dia lafalkan, selebihnya hanya menjadi bahan tertawaan teman-teman sejawat lain yang rata-rata seusia anaknya. Tapi Kang Semo tidak putus asa, meski menjadi bahan tertawaan dia selalu datang tepat waktu. Diawali dengan sholat maghrib lalu sholat sunah ba’diyatal maghrib, mengaji Kul Hu lalu diakhiri dengan sholat isya’ berjamaah selalu kang Semo jalani dengan istikomah, setiap hari tanpa pernah berhenti.

Sampai pada suatu ketika, setelah merasa ada yang salah dengan lidahnya hingga tidak mampu melafalkan kalimat Arab lain selain Kul Hu, Kang Semo mengungkapkan kegalauan hatinya kepada ustad Jamal selepas sholat isya’ berjamaah yang dipimpin ustad muda tersebut.
“Pak Ustad, saya merasa putus asa belajar ngaji“ kata Kang Semo lemah
“Kenapa Kang ?” Tanya ustad Jamal sabar
“Sudah 3 tahun saya mengaji ke ustad Jamal dan saya hanya bisa mengucapkan 2 kata saja, yaitu Kul Hu, padahal saya ingin bisa seperti ustad yang nyerocos berbahasa Arab. Setiap saat saya selalu berusaha untuk mengucapkan kalimat Arab, namun selalu saja gagal, saya jadi marah pada diri saya sendiri. Apa ustad tidak malu memiliki murid seperti saya, saya sudah nyerah pak ustad” keluh Kang Semo lesu.
Sebelum menjawab keluh kesah Kang Semo, ustad Jamal membetulkan letak duduknya agar lebih nyaman,
“Kang, Allah itu tidak seperti yang Kang Semo duga, Allah itu jauh di luar dari perkiraan dan sangkaan kita. Orang boleh tertawa mendengar Kang Semo cuma bisa bilang Kul Hu selama 3 tahun ini. Kang Semo boleh merasa putus asa tapi hikmahnya Kang, hikmahnya demikian besar. Kita tidak pernah tahu apa yang Allah mau, kenapa kita begini dan kenapa kita begitu. Kang Semo harus bersyukur, sebab tidak semua orang diberikan kesempatan untuk belajar sekeras Kang Semo. Meskipun nampaknya secara hasil mengecewakan, namun ada perubahan besar dalam cara hidup Kang Semo dan keluarga selama 3 tahun ini. Coba bandingkan dengan dulu saat Kang Semo belum mau datang ke surau ini, apa yang kang Semo lakukan saat maghrib ? Apa yang Kang Semo lakukan saat malam hari datang ? Bukankah dulu Kang Semo biasa nongkrong di warung Yu Jiyat dari maghrib sampai tengah malam ? Bukankah dulu Kang Semo biasa mmbelanjakan uang Kang Semo untuk beli segelas kopi, kue bahkan sepiring nasi di warung Yu Jiyat ? Padahal di rumah sudah dimasakkan oleh Yu Gimah. Sekarang, Kang Semo bisa rasakan bedanya kan ? Tidak pernah lagi nongkrong di warung, tidak pernah absen sholat berjamaah tiap maghrib dan isya’. Kehidupan rumah tangga yang semakin tertata, bisa membelikan sepeda onthel untuk Darminto meskipun bekas. Bahkan kabarnya Kang Semo sudah memiliki 6 ekor kambing dari bagi hasil dengan Pak RT. Bukankah itu sebuah pencapaian yang sulit diraih jika Kang Semo tidak datang ke surau ini meski hanya 1-2 jam ? Allah bekerja dengan caranya sendiri Kang, Kang Semo dipaksa secara tidak terasa oleh Allah untuk merubah pola hidup Kang Semo. Dan kalau Kang Semo sadar, maka jutaan kalimah syukur akan selalu Kang Semo kumandangkan atas segala nikmat yang telah Allah limpahkan kepada Kang Semo selama ini. Bersyukur Kang, Bersyukur itu kunci utama terjaganya rizki yang barokah dari Allah” jawab ustad Jamal panjang lebar.
Tanpa sadar Kang Semo menitikkan air mata, terharu atas uraian ustad Jamal yang demikian menyentuh kalbunya. Tidak ada yang bisa Kang Semo lakukan kecuali mengangguk sambil mengusap air matanya, meraih tangan ustad Jamal lalu diciumnya berkali-kali dengan takzim, lalu mohon diri dengan berjalan mundur tanda hormat.

Sepanjang perjalanan pulang Kang Semo merasa bersyukur, meski hanya bisa bilang Kul Hu namun Allah telah menata kehidupannya dengan cara khas Allah, penuh misteri.

Pratama, 7 Pebruari 2009
19:25 WIB

Kamid Jadi Imam

Banyak orang ketakutan menjadi islam, kuatir dengan segala kesulitan yang menghadang di depannya. Dari segala potensi hambatan yang mungkin menghadang adalah keharusan melafalkan bahasa Arab dalam berbagai kesempatan. Terutama untuk ibadah wajib berupa sholat yang semua bacaanya berbahasa Arab.

Kendala ini juga dirasakan Kamid yang baru mulai belajar solat saat usianya mendekati 40 tahun. Dengan susah payah Kamid berusaha melafalkan semua bacaan dalam solat yang dibacakan oleh ustad Japar, guru ngajinya.

Sehari, seminggu hingga sebulan Kamid belajar melafalkan bacaan wajib dalam solat dengan kalimat yang terbata-bata. Untungnya ustad Japar termasuk orang yang sabar sehingga Kamid merasa mendapatkan dukungan yang penuh dari guru ngajinya yang bijak tersebut.

Maghrib, Isya’ dan Subuh menjadi waktu solat yang tidak pernah dilewatkan oleh Kamid tanpa solat berjamaah. Sehingga di kampung kami Kamid menjadi terkenal sebagai orang yang ngalim, sebuah ukuran naif yang seringkali dialamtkan oleh warga kampung kami kepada setiap orang yang rajin pergi ke masjid. Tidak peduli meskipun mereka hanya tidur di teras masjid.

Setelah sekian lama belajar solat kepada ustad Japar Kamid gundah. Satu sisi hatinya ada yang tidak terima dengan aktifitas solat berjamaah. Persoalannya adalah dia selalu menjadi makmum, tidak pernah menjadi imam yang memimpin solat berjamaah. Sehingga praktis dia tidak bisa mempraktekan semua ajaran ustad Japar dengan total. Padahal dia ingin menunjukkan kepada semua orang di dalam masjid bahwa dia telah katam belajar solat komplit dengan semua bacaan solat berbahasa Arab yang sering membuatnya keseleo lidah itu.

Namun apa daya. Ustad Japar tidak pernah absen memimpin solat berjamaah. Bahkan tidak pernah sakit selama Kamid bermakmum di masjid tersebut. Sehingga harapan Kamid untuk menjadi imam solat berjamaah agar orang tahu dia sudah mahir solat harus dia pendam dalam-dalam.

Pada perkembangan selanjutnya, warga kampung mulai mengenal Kamid sebagai cantrik ustad Japar yang paling setia. Kemanapun ustad Japar bepergian selalu ada Kamid di sisinya. Sampai-sampai orang sekampung menyebut keberadaan mereka berdua seperti sepatu dengan kakinya. Tentu saja ustad Japar sebagai kaki dan Kamid sepatunya.

Warga kampung tidak ada yang tahu tujuan Kamid sebenarnya yang diam-diam menginginkan posisi ustad Japar sebagai imam solat berjamaah. Bagi Kamid posisi itu dapat meningkatkan derajatnya sekaligus keluarganya yang selama ini meringkuk lesu pada level terbawah strata sosial bentukan orang BPS, keluarga pra sejahtera, gampangnya miskin gitu lah.

Kamid dengan sabar mengikuti kemanapun ustad Japar pergi, tak peduli kemanapun dia harus ikut. Kamid memiliki keyakinan bahwa mengikuti kemanapun ustad Japar pergi adalaah sebuah keharusan baginya untuk mengenal sekaligus menciptakan jejaring dengan baik di lingkungan para ustad di berbagai wilayah. Ini penting untuk men-introduce jejaring tersebut bahwa Kamid-lah yang nantinya akan menggantikan posisi ustad Japar sebagai imam solat berjamaah di masjid jika ustad Japar berhalangan tetap.

Setelah menunggu sekian waktu, hari bahagia itu akhirnya datang juga. Ustad Japar sakit radang tenggorokan komplikasi dengan bisul yang menimpa tepat di lulut kanan beliau. Sehingga untuk bisa solat secara normal seperti lazimnya mustahil dilakukan, apalagi untuk menjadi imam solat berjamaah di masjid. Di sinilah kesabaran Kamid menuai hasil. Pendek kata Kamid diminta ustad Japar untuk menggantikan posisinya sebagai imam solat berjamaah di masjid.

Awalnya untuk sekedar berbasa-basi Kamid menolak dengan alasan masih banyak jamaah lain yang lebih fasih. Padahal itulah yang dia tunggu-tunggu sejak lama. Namun ustad Japar meyakinkan Kamid bahwa dirinya telah layak menjadi imam solat berjamaah. Dengan harti girang dan perasaan yang meluap-luap Kamid menerima perintah tersebut.

Menjelang kesempatan pertama menjadi imam Kamid tidak bisa tidur semalaman. Dia sibuk menyusun rencana baju apa yang akan dia kenakan untuk meng-imami solat subuh besok pagi. Sarung warna hijau kombinasi garis-garis putih pemberian pak camat dia setrika sampai licin, padahal masih tersimpan rapi di dalam lemari pakaiannya. Terompah kesayangannya dicuci hingga bersih, tasbih baru dari kayu setigi sengaja dia beli di toko makmur di sudut perempatan yang menjual barang kebutuhan ibadah. Tidak lupa Kamid juga membeli minyak wangi untuk menciptakan suasana sakral di sekitar mimbar peng-imaman. Aroma melati Iraq sengaja dia pilih.

Selama ini ustad Japar mengenakan peci putih, Kamid merasa harus melakukan revolusi penampilan tutup kepala, akhirnya dia memutuskan untuk mengenakan sorban, pasti nampak lebih berwibawa. Seperti gambar kusam para wali songo yang terpampang miring di dinding rumahnya. Kamid sibuk mencari sorban putih-hijau pemberian Kaji Somad sepulang dari tanah suci 3 tahun lalu. Lama dia cari-cari di seluruh sudut rumah, dan baru ketemu di dapur. Ternyata istri Kamid telah memanfaatkan sorban tersebut untuk lap piring dan barang dapur lain yang baru dicuci. Agak bau memang, tapi tidak jadi soal bagi Kamid, yang penting penampilannya yahud besok pagi.

The show is on !
Jam dinding menunjukkan pukul 3 dinihari. Kamid segera beranjak dari tempat tidurnya dan bergegas menuju kamar mandi. Tidak lebih dari 5 menit dia menyelesaikan mandi besarnya. Lalu menuju kamar lagi mengenakan satu demi satu pakaian yang telah dia persiapkan tadi malam termasuk sorban apek yang dia temukan di dapur reyot yang menempel di samping rumahnya.

Dengan rasa bangga yang memenuhi ruang hati dia mematut diri di depan cermin...duh ganteng sekali aku...bagitu pikir Kamid. Tetapi Kamid merasa ada yang kurang, apa ya. O ya hampir saja lupa, dia lalu membuka lemari pakaiannya, mengambil minyak wangi yang dia beli tadi malam lalu srat sret srot dia basahi baju kokonya tepat di 2 ketiak, depan belakang, sarung dan juga telapak tangannya. Telapak tangan sengaja dia beri lebih banyak sebab sehabis solat biasanya para jamaah solat selalu mencium tangan ustad Japar sebagai imam solat. Duh senangnya, begitu pikir Kamid berbunga-bunga membayangkan tangannya bakalan diciumi jamaah solat subuh.

Waktu solat subuh masih kurang 15 menit, Kamid memutuskan untuk berangkat ke masjid. Di sepanjang perjalanan sesekali dia menjawab salam orang-orang yang pergi menuju pasar yang berjarak 500 meter dari masjid. Tidak berapa lama kemudian Kamid sampai di halaman masjid. Kamid mulai menata sikap dengan sangat hati-hati. Ini harus menjadi hari pertama yang sukses agar di kemudian hari tidak mengalami kendala, demikian pikir Kamid.

Sampai di depan pintu masjid Kamid berhenti sejenak, mengucapkan salam dengan suara bas yang telah dia latih semalaman “Hassalamualaikuuuuummm” katanya. Tidak ada jawaban dari dalam masjid, tidak aneh karena memang dialah yang pertama datang ke masjid. Kamid lalu menggelar sajadah tepat di peng-imaman, melakukan solat tahiyatal masjid. Selepas itu lalu merogoh saku kanannya untuk mengambil tasbih barunya. Dengan suara pelan dan nada dikhusyukan Kamid mulai memutar tasbihnya melafalkan kalimah toyibah.

Dari belakang terdengar ada yang masuk ke dalam masjid. Sekitar 2 ato 3 orang, batin Kamid dalam hati tanpa menoleh ke belakang. Di saat masjid di tempat lain mengumandangkan adzan subuh Kamid berucap setengah berteriak “Ayo adzan !” Salah seorang jamaah mengambil mikrofon dan mulai mengumandangkan adzan subuh. Selepas itu beberapa orang melantunkan puji-pujian “Allahummasholli ala Muhammad ya Robbi sholli alaihi wassalim”, begitu seterusnya berulang-ulang. 5 menit kemudian Kamid menepuk punggung tangan kirinya dengan telapak tangan kannnya 2 kali sehingga terdengar bunyi “plak-plak”. Itu yang biasa dilakukan ustad Japar saat memberi kode untuk mengumandangkan Iqomah sebagai tanda bahwa solat berjamaah akan dimulai.

Kamid berdiri dengan gagah di peng-imaman, tanpa menoleh lagi dia berseru “sawwu sufufakum.....dst” sambil membetulkan baju, sarung serta sorban yang dia kenakan. Solat subuh pun dimulai, Kamid mengangkat kedua tangannya setelah sebelumnya melafalkan niat solat subuh dengan suara dikeraskan, lalu “Allaaaaaahu akzbarr..!” Dada Kamid mau meledak rasanya, akhirnya kesampaian juga aku menjadi imam solat, seru hati kamid. Doa iftitah dia baca was wes wos lalu dia pun mulai unjuk kemampuan melafalkan fatihah yang selama ini diajarkan oleh ustad Japar “Bizmillaaahirrrohmaaaanirrooohiiiiimmmm...” jeda beberapa saat lalu disambung “Alkamndulillaaahirobbil ngalamiiiin...Arrokmaaaaanirrrrokiiiiimmm...Maaaalikiayumidiiiinn...Iya kanak budu waiya kanastangiiiiin....Ihdinassirotol mustakiiiiiiimmm...Sirotolladina am amta ngalaihim...nggoiril magekdubi ngalaihim walap dooooolllllliiiiinnnnn....” Teriak Kamid lantang sambil harap-harap cemas menunggu balasan Amin dari jamaahnya. Sejurus kemudian terdengar jawaban “Aaamiiin” dari para jamaah. Ada yang aneh, batin Kamid, dia merasa jamaahnya menjawab amin pelan sekali, seperinya mereka tidak lebih dari 3 orang. Ah, masa bodoh, yang penting sekarang aku jadi imam, pikir Kamid.

Semua proses gerakan solat serta bacaanya telah selesai dilakukan, sampai pada tahiyat akhir lalu salam. Kamid menoleh kecil ke kanan lalu ke kiri. Selepas itu Kamid membaca istighfar lalu tahlil persis seperti yang dilakukan ustad Japar sehari-hari. Tibalah saat menengadahkan tangan melantunkan doa penutup. Dengan posisi badan tegak, dada sedikit membusung ke depan Kamid mengengadahkan tangan dengan ujung jari sejajar dengan alis matanya. Mulailah Kamid melafalkan doa sapujagat. Dari belakang terdengar bunyi “amin...amin“ yang sangat pelan dan jarang-jarang. Dan, sekali lagi Kamid tidak ambil pusing dengan makmum, sebab pengalaman pertama ini begitu berharga dan pasti tidak akan pernah dia lupakan seumur hidupnya. Menjadi imam man!

Selepas melafalkan doa sapujagat Kamid mengusapkan kedua tangannya ke wajah lalu berujar lantang “Bibarokatil fatihah...”. Semenit kemudian Kamid mengumandangkan puji-pujian penutup solat berjamaah yang selalu dinyanyikan ustad Japar bersama dengan semua makmum “Illahilas tulil firdausiahla....dst”. Sedetik berselang Kamid membalikkan badan mempersiapkan diri untuk bersalaman dengan para jamaahnya sambil siap-siap dicium tangannya. Pasti menyenangkan dihormati orang, pikir Kamid.

Betapa terkejutnya Kamid mendapati makmumnya memang hanya 3 orang. Lebih kaget lagi mereka yang berjajar itu paling kanan adalah Gus Ilham, pengasuh pondok pesantren Miftahul Janah. Lalu di tengah adalah ustad Qodar yang tahun lalu memenangkan lomba MTQ tingkat dunia yang diselenggarakan di Baucau, Timor leste. Dan, yang duduk paling kiri membuat wajah Kamid yang sudah pias menjadi semakin pucat seperti mayat, ustad Japar dengan senyum khasnya !


Pratama, 9 februari 2009
Jelang isya’

Ayem Sori Ku Sudah Tak Lap Yu Lagi

Huruf e pada kata ayem dibaca seperti mengucapkan e pada kata beres ato tren bukan e pada bayem atau apem. Judul di atas terinspirasi dari lagu ST 12 yang semestinya tertulis “I am sorry ku sudah tak love you lagi”. Mendengar liriknya secara utuh kita akan tersenyum simpul dengan lagu jenaka tersebut. Dan saat mendengar lagu tersebut, tepat pada kalimat itu kendaraan yang saya tumpangi pas berhenti di sebuah traffic light di satu perempatan di kota Malang. Pada saat yang bersamaan mata saya mendapati puluhan atribut parpol serta baliho yang terpampang tidak rapi, berusaha saling menutupi serta berusaha saling menonjolkan diri.

Seakan berlomba saling menunjukkan ketidakcerdasan serta mengumbar janji berisi pepesan kosong, baliho para caleg tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa mereka hanya berusaha mengikuti tren, mengikuti mode. Ikut-ikutan memasang baliho besar untuk merebut hati calon pemilih. Tidak adakah cara lain yang lebih cerdas sehingga mampu menarik hati para pemilih ?

Kalau mau jujur dari sekian ribu orang yang melintas atau berhenti di sekitar baliho tersebut, adakah yang benar-benar memperhatikan baliho tersebut ? Saya dapat pastikan tidak ada, sebab rata-rata berisi hampir sama yaitu janji manis jika mereka terpilih atau sekedar mohon doa restu, lha memangnya mau menikah ?

Berapa juta bahkan milyar uang terbuang percuma dalam upaya merebut simpati pemilih ? Sudahkah diadakah riset bahwa pemasangan baliho efektif menarik perhatian para pengguna jalan ? Kalau wajah caleg biasa saja, standart dan bahkan di bawah rata-rata dapat diastikan mereka akan kecewa telah memasang baliho sedemikian banyak.

Kecuali wajah caleg tersebut good looking, cantik, menarik hati, unik, wajah keartisan mungkin akan dilirik atau diperhatikan oleh pengguna jalan. Tapi ada juga sisi negatifnya, akibat wajah manis terpampang di baliho memaksa pengguna jalan untuk melirik bahkan menoleh berlebihan (terlalu lama), akibatnya kecelakaan lalu lintas tentu saja. Ini patut diwaspadai memeskipun belum ada penelitian khusus untuk kasus ini.

Lepas dari semua persoalan tersebut yang perlu diperhatikan adalah pertanyaan berikut “seberapa percaya rakyat akan janji seorang wakil rakyat ?”. Ini menjadi penting karena mayoritas baliho caleg selalu berisi janji-janji manis jika mereka terpilih nantinya.

Contoh kasus. Saya pernah mengidolakan seorang tokoh masyarakat yang menurut saya demikian ideal untuk bisa mewakili suara rakyat. Begitu dia mencalonkan dirinya sebagai wakil rakyat tanpa pikir panjang dengan mengucapkan “bismillahirrohmanirrohim” sayapun mencoblos nama orang tersebut dengan mantap. Saya berharap negara ini dapat dikelola dengan lebih baik dengan masuknya orang tersebut ke senayan.

Saya pun menunggu dengan sabar sepak terjang dia, sebulan dua bulan , setahun dua tahun hingga berakhir masa kerjanya saya tidak pernah jumpai sepak terjang seperti yang saya harapkan serta yang pernah da janjikan. Semuanya nol besar, semuanya omong kosong bagi saya.

Ada jutaan orang yang mungkin memiliki pengalaman seperti saya. Mereka terlanjur menggantungkan harapan kepada seorang wakil rakyat atau sebuah partai yang diyakini akan dapat membawa perubahan ke arah lebih baik. Namun pada kenyataannya, kami semua harus kecewa bahkan menderita akibat janji yang tidak ditepati tersebut.

Sebenarnya ini yang harus menjadi perhatian para caleg tersebut. Jangan hanya berlomba memasang baliho, lakukan sesuatu yang riil yang dapat secara otomatis memikat rakyat. Bagi-bagi uang ? bolehlah, tapi harus disadari bahwa itu adalah pembelajaran yang tidak baik bagi demokrasi untuk jagka panjang.

Yang diperlukan adalah stimulus yang positif, artinya caleg memberikan program kerja nyata yang mampu menghidupkan gairah hidup masyarakat daerah yang dia wakili. Misalnya, jika daerah tersebut mengalami krisis ekonomi maka dia harus lakukan segala cara agar masyarakat daerah tersebut bebas dari krisis.

Namun perlu diperhatikan juga jangan yang instant. Beri kail, umpan dan buka kolam ikannya sekaligus ajari cara mengail jangan hanya memberikan ikan apalagi ikan masak yang sudah siap santap. Agar rakyat bisa mandiri dan bukan hanya bisa menengadahkan tangan menunggu uluran tangan belas kasihan.

Nah, belajar dari pengalaman serta keadaan riil saat ini, nampaknya para caleg kita tidak bisa melihat dengan jernih permasalahan bangsa yang sesungguhnya. Mereka tidak memiliki program yang jelas. Mereka lebih mementingkan bagaimana cara memasang gambar wajahnya agar nongol dimana-mana tanpa berpikir panjang bahwa baliho tersebut memiliki masa edar yang terbatas. Artinya begitu baliho dilepas siapa yang peduli dengan wajah dalam baliho tersebut. Digulung lalu dilempar begitu saja di tumpukan baliho sejenis. Itu masih lebih beruntung. Di banyak tempat saya jumpai baliho yang sengaja dirusak oleh orang iseng. Ada caleg perempuan yang dibubuhi kumis dan cambang pada wajahnya, ada caleg ganteng yang tersenyum kecil dihitamkan beberapa giginya sehingga nampak rompal giginya, bahkan tidak jarang baliho tersebut tinggal rangkanya saja dan lain sebagainya.

Ini menunjukkan bahwa rakyat telah jemu denga janji para caleg. Telah geram dengan perilaku caleg. Telah muak dengan ulah caleg yang sejatinya telah mereka ketahui perilaku aslinya di masyarakat.

Kalau kemudian mereka, para caleg tersebut, masih saja bilang “mohon doa restu”, “mohon dukungan” bahkan nekad menulis “pilihlah saya” serta mengumbar janji-janji manis pada baliho mereka, jangan salahkan kalau kemudian rakyat akan membalas segala kelakuan mereka saat pemilu legislatif pertengahan tahun ini dengan bilang “ayem sori ku sudah tak lap yu lagi”

Pratama, 7 pebruari 2009
10:12 WIB
(kamu kok selingkuh, kangen band versi nDangdut )