Jumat, 06 Februari 2009

Pertamini

Adalah keinginan setiap orang tua agar anaknya bisa hidup enak, nyaman, sejahtera lahir dan batin. Dan salah satu ukuran yang biasa dipakai untuk mengindikasikan kesejahteraan adalah melimpahnya materi. Materi tidak bisa lepas dari latar belakang pekerjaan yang menjadi sumber materi tersebut, baik halal maupun haram. Sehingga hampir setiap orang tua selalu mendengungkan sebaris doa agar anak mereka mendapatkan pekerjaan yang layak, pada perusahaan besar, yang pada gilirannya akan mendatangkan rejeki berlimpah.

Perusahaan besar menjadi semacam garansi bahwa uang akan mengalir deras ke kantong mereka. Dan satu diantara sekian banyak perusahaan besar yang selalu diserbu calon pekerja adalah Pertamina, perusahaan pertambangan dan pengolahan minyak di Indonesia yang menguasai energi bahan bakar dari hulu hingga ke hilir. Dengan menjadi karyawan pertamina mereka yakin bahwa kelangsungan hidup mereka akan aman dan sejahtera secara ekonomi. Ringkasnya tidak ada kekuatiran akan mengalami kelaparan menghadapi sisa hidup yang dari waktu ke waktu semakin struggle ini.

Harapan untuk dapat mejadi karyawan atau pegawai pertamina juga pernah didengungkan oleh ibu saya almarhum. Dengan penuh harap beliau pernah menyampaikan bahwa akan menjadi sebuah kebanggan bagi beliau seandainya saya bisa diterima kerja di Pertamina. Beliau barangkali lupa bahwa saya sekolah di jurusan manajemen, jadi kalaupun bisa masuk Pertamina saya paling-paling akan duduk di jajaran distribusi, marketing atau adminstrasi. Tidak mungkin menangani kilang minyak di lepas pantai misalnya.

Saya cuma mengamini saja doa dan harapan ibu waktu itu, meski dalam hati ragu-ragu, gak yakin. Mungkin karena gak yakin itulah saya tidak bisa masuk ke pertamina dan justru memilih pekerjaan lain yang membutuhkan kerja super keras untuk bisa sekedar bertahan di dunia pemasaran yang terkadang demikian buas. Sampai-sampai muncul kalimat “Besok makan siapa?”. Tapi itu adalah jalan hidup yang memang seharusnya saya lalui. Tidak ada cerita berleha-leha dengan gaji berlimpah seperti keinginan almarhum ibu. Yang ada adalah kepasrahan total kepada Tuhan mengingat tidak pastinya keadaan isi kantong. Meskipun sudah saya siapkan banyak kantong, mulai dari celana, baju hingga tas namun pada kenyataannya tidak pernah terisi semuanya. In fact, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan saya sekeluarga.

Jadi, ketika butuh makan, cukup. Ketika butuh beli baju, cukup. Ketika butuh beli sepeda motor, cukup. Ketika perlu rumah untuk berteduh, cukup. Ketika perlu semen, bata, pasir dll untuk renovasi rumah, cukup. Ketika butuh kendaraan yang cukup untuk mengangkut kami sekeluarga berlima, cukup juga. Jadi, ajaib sekali kalimat cukup itu, lebih dari banyak atau melimpah. Sehingga lebih baik cukup daripada berlimpah.

Berangkat dari pesan ibu serta demi amanah ibu untuk bisa bekerja di pertamina maka sayapun berpikir dengan keras bagaimana caranya agar bisa bekerja di pertamina, di bagian apapun. Dari waktu ke waktu saya terus berpikir sampai pada kesimpulan bahwa saya tidak mungkin bisa masuk dan bekerja sebagai pegawai pertamina. Pertama saya tidak punya koneksi di pertamina, dan kedua usia saya sudah tidak memungkinkan untuk bisa seproduktif adik-adiik kelas saya.

Lalu muncul alternatif lain, yaitu mendirikan SPBU. Dalam pikiran saya, dengan mendirikan SPBU, saya tidak hanya bisa bekerja di pertamina tapi juga dapat mempekerjakan banyak orang, membantu beberapa orang yang belum bekerja. Jadi ada nuansa sosialnya, pasti akan menjadi manusia mulia, dan ibu di alam sana pasti akan lebih berbangga mendapati anak tersayangnya dapat melakukan perbuatan baik.

Saya pun melakukan riset, berkonsultasi kesana kemari untuk mengetahui seluk beluk per-SPBU-an. Singkatnya saya melakukan feasibility study atau studi kelayakan usaha SPBU. Beberapa bulan saya melakukan proses pembelajaran usaha SPBU. Kesimpulannya, saya mampu melaksanakan manajemen SPBU tapi saya tidak sanggup menyediakan dana sekian milyar untuk membebaskan lahan, investasi hardware-nya dan juga modal untuk kulakan premium, solar dan juga pertamaxnya.

Eh ya, investor…ya investor bisa dilibatkan, begitu pikir saya. Jadi saya tinggal meyakinkan investor dengan proposal yang saya bikin dengan perhitungan detail plus bumbu rayuan gombal bahwa dalam waktu sekian tahun invesatsi akan kembali modal alias BEP. Saya pun mulai menyusun list siapa saja yang bisa saya hubungi dan memiliki potensi untuk mau bekerjasama dengan saya. Sebulan dua bulan hingga setahun lebih saya mencoba kontak dengan beberapa orang yang saya anggap memiliki dana berlebih dengan nilai minimal 5 milyar.

Namun ternyata saya salah sangka, dari 20-an orang yang saya hubungi rata-rata merek tinggal di perumahan elit dengan rumah plus perabotan lux, PRT lebih dari 3 orang, garasi dipenuhi mobil ber-cc besar dll. Ternyata mereka pusing tujuh keliling memikirkan tanggungan kredit di bank yang nilainya ratusan juta bahkan ada beberapa yang memiliki hutang di bank lebih dari 10 milyar. Jadi, rencana mendirikan SPBU pun saya putuskan untuk diakhiri saja.

Saya masih berpikir keras bagaimana caranya dapat memenuhi keinginan ibu untuk bekerja di pertamina atau setidaknya bekerja di bidang yang ada kaitannya dengan pertamina. Dan, setelah sekian lamanya berpikir dan berusaha keras untuk bisa mewujudkan keinginan itu, akhirnya saya menyerah, putus asa dengan pertamina. Namun justrus saat saya menyerah itulah saya mendapatkan ide brilian. Pada sebuah malam yang dingin, saat hujan turun rintik-rintik kecil, tepat di saat saya menuntun sepeda motor saya karena kehabisan bensin, ide brilian itu muncul. Ya, benar…saya akan mendirikan pertamini, semacam pompa bensin tapi kecil (halah…semua juga tahu, itu lho kios bensin eceran). Cukup bermodal puluhan ribu saja bisa jalan. Yang diperlukan cuma beberapa botol bekas minuman keras ukuran 1 liter untuk wadah bensin, 1 jeriken plastik ukuran 10 – 25 liter untuk kulakan, 1 botol plastik bekas air minum mineral yang dipotong di dekat ujungnya sebagai pengganti corong serta beberapa potong kayu dan seng yang dibentuk rumah-rumahan, titik. Total 200 ribu, usaha pertamini bisa dimulai, murah meriah.

Sekarang saya bisa tenang menjalani hari-hari saya, keinginan ibu agar saya bisa bekerja di pertamina atau yang terkait dengan perusahaan minyak itu akhirnya terwujud. Bukan sebagai karyawan pertamina, bukan dengan mendirikan SPBU yang perlu dana milyaran melainkan mendirikan pertamini, siapa tahu 10 tahun ke depan bisa membeli SPBU. Amin….

Kajang, 23 Januari 2009
15:05 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar