Senin, 09 Februari 2009

Kamid Jadi Imam

Banyak orang ketakutan menjadi islam, kuatir dengan segala kesulitan yang menghadang di depannya. Dari segala potensi hambatan yang mungkin menghadang adalah keharusan melafalkan bahasa Arab dalam berbagai kesempatan. Terutama untuk ibadah wajib berupa sholat yang semua bacaanya berbahasa Arab.

Kendala ini juga dirasakan Kamid yang baru mulai belajar solat saat usianya mendekati 40 tahun. Dengan susah payah Kamid berusaha melafalkan semua bacaan dalam solat yang dibacakan oleh ustad Japar, guru ngajinya.

Sehari, seminggu hingga sebulan Kamid belajar melafalkan bacaan wajib dalam solat dengan kalimat yang terbata-bata. Untungnya ustad Japar termasuk orang yang sabar sehingga Kamid merasa mendapatkan dukungan yang penuh dari guru ngajinya yang bijak tersebut.

Maghrib, Isya’ dan Subuh menjadi waktu solat yang tidak pernah dilewatkan oleh Kamid tanpa solat berjamaah. Sehingga di kampung kami Kamid menjadi terkenal sebagai orang yang ngalim, sebuah ukuran naif yang seringkali dialamtkan oleh warga kampung kami kepada setiap orang yang rajin pergi ke masjid. Tidak peduli meskipun mereka hanya tidur di teras masjid.

Setelah sekian lama belajar solat kepada ustad Japar Kamid gundah. Satu sisi hatinya ada yang tidak terima dengan aktifitas solat berjamaah. Persoalannya adalah dia selalu menjadi makmum, tidak pernah menjadi imam yang memimpin solat berjamaah. Sehingga praktis dia tidak bisa mempraktekan semua ajaran ustad Japar dengan total. Padahal dia ingin menunjukkan kepada semua orang di dalam masjid bahwa dia telah katam belajar solat komplit dengan semua bacaan solat berbahasa Arab yang sering membuatnya keseleo lidah itu.

Namun apa daya. Ustad Japar tidak pernah absen memimpin solat berjamaah. Bahkan tidak pernah sakit selama Kamid bermakmum di masjid tersebut. Sehingga harapan Kamid untuk menjadi imam solat berjamaah agar orang tahu dia sudah mahir solat harus dia pendam dalam-dalam.

Pada perkembangan selanjutnya, warga kampung mulai mengenal Kamid sebagai cantrik ustad Japar yang paling setia. Kemanapun ustad Japar bepergian selalu ada Kamid di sisinya. Sampai-sampai orang sekampung menyebut keberadaan mereka berdua seperti sepatu dengan kakinya. Tentu saja ustad Japar sebagai kaki dan Kamid sepatunya.

Warga kampung tidak ada yang tahu tujuan Kamid sebenarnya yang diam-diam menginginkan posisi ustad Japar sebagai imam solat berjamaah. Bagi Kamid posisi itu dapat meningkatkan derajatnya sekaligus keluarganya yang selama ini meringkuk lesu pada level terbawah strata sosial bentukan orang BPS, keluarga pra sejahtera, gampangnya miskin gitu lah.

Kamid dengan sabar mengikuti kemanapun ustad Japar pergi, tak peduli kemanapun dia harus ikut. Kamid memiliki keyakinan bahwa mengikuti kemanapun ustad Japar pergi adalaah sebuah keharusan baginya untuk mengenal sekaligus menciptakan jejaring dengan baik di lingkungan para ustad di berbagai wilayah. Ini penting untuk men-introduce jejaring tersebut bahwa Kamid-lah yang nantinya akan menggantikan posisi ustad Japar sebagai imam solat berjamaah di masjid jika ustad Japar berhalangan tetap.

Setelah menunggu sekian waktu, hari bahagia itu akhirnya datang juga. Ustad Japar sakit radang tenggorokan komplikasi dengan bisul yang menimpa tepat di lulut kanan beliau. Sehingga untuk bisa solat secara normal seperti lazimnya mustahil dilakukan, apalagi untuk menjadi imam solat berjamaah di masjid. Di sinilah kesabaran Kamid menuai hasil. Pendek kata Kamid diminta ustad Japar untuk menggantikan posisinya sebagai imam solat berjamaah di masjid.

Awalnya untuk sekedar berbasa-basi Kamid menolak dengan alasan masih banyak jamaah lain yang lebih fasih. Padahal itulah yang dia tunggu-tunggu sejak lama. Namun ustad Japar meyakinkan Kamid bahwa dirinya telah layak menjadi imam solat berjamaah. Dengan harti girang dan perasaan yang meluap-luap Kamid menerima perintah tersebut.

Menjelang kesempatan pertama menjadi imam Kamid tidak bisa tidur semalaman. Dia sibuk menyusun rencana baju apa yang akan dia kenakan untuk meng-imami solat subuh besok pagi. Sarung warna hijau kombinasi garis-garis putih pemberian pak camat dia setrika sampai licin, padahal masih tersimpan rapi di dalam lemari pakaiannya. Terompah kesayangannya dicuci hingga bersih, tasbih baru dari kayu setigi sengaja dia beli di toko makmur di sudut perempatan yang menjual barang kebutuhan ibadah. Tidak lupa Kamid juga membeli minyak wangi untuk menciptakan suasana sakral di sekitar mimbar peng-imaman. Aroma melati Iraq sengaja dia pilih.

Selama ini ustad Japar mengenakan peci putih, Kamid merasa harus melakukan revolusi penampilan tutup kepala, akhirnya dia memutuskan untuk mengenakan sorban, pasti nampak lebih berwibawa. Seperti gambar kusam para wali songo yang terpampang miring di dinding rumahnya. Kamid sibuk mencari sorban putih-hijau pemberian Kaji Somad sepulang dari tanah suci 3 tahun lalu. Lama dia cari-cari di seluruh sudut rumah, dan baru ketemu di dapur. Ternyata istri Kamid telah memanfaatkan sorban tersebut untuk lap piring dan barang dapur lain yang baru dicuci. Agak bau memang, tapi tidak jadi soal bagi Kamid, yang penting penampilannya yahud besok pagi.

The show is on !
Jam dinding menunjukkan pukul 3 dinihari. Kamid segera beranjak dari tempat tidurnya dan bergegas menuju kamar mandi. Tidak lebih dari 5 menit dia menyelesaikan mandi besarnya. Lalu menuju kamar lagi mengenakan satu demi satu pakaian yang telah dia persiapkan tadi malam termasuk sorban apek yang dia temukan di dapur reyot yang menempel di samping rumahnya.

Dengan rasa bangga yang memenuhi ruang hati dia mematut diri di depan cermin...duh ganteng sekali aku...bagitu pikir Kamid. Tetapi Kamid merasa ada yang kurang, apa ya. O ya hampir saja lupa, dia lalu membuka lemari pakaiannya, mengambil minyak wangi yang dia beli tadi malam lalu srat sret srot dia basahi baju kokonya tepat di 2 ketiak, depan belakang, sarung dan juga telapak tangannya. Telapak tangan sengaja dia beri lebih banyak sebab sehabis solat biasanya para jamaah solat selalu mencium tangan ustad Japar sebagai imam solat. Duh senangnya, begitu pikir Kamid berbunga-bunga membayangkan tangannya bakalan diciumi jamaah solat subuh.

Waktu solat subuh masih kurang 15 menit, Kamid memutuskan untuk berangkat ke masjid. Di sepanjang perjalanan sesekali dia menjawab salam orang-orang yang pergi menuju pasar yang berjarak 500 meter dari masjid. Tidak berapa lama kemudian Kamid sampai di halaman masjid. Kamid mulai menata sikap dengan sangat hati-hati. Ini harus menjadi hari pertama yang sukses agar di kemudian hari tidak mengalami kendala, demikian pikir Kamid.

Sampai di depan pintu masjid Kamid berhenti sejenak, mengucapkan salam dengan suara bas yang telah dia latih semalaman “Hassalamualaikuuuuummm” katanya. Tidak ada jawaban dari dalam masjid, tidak aneh karena memang dialah yang pertama datang ke masjid. Kamid lalu menggelar sajadah tepat di peng-imaman, melakukan solat tahiyatal masjid. Selepas itu lalu merogoh saku kanannya untuk mengambil tasbih barunya. Dengan suara pelan dan nada dikhusyukan Kamid mulai memutar tasbihnya melafalkan kalimah toyibah.

Dari belakang terdengar ada yang masuk ke dalam masjid. Sekitar 2 ato 3 orang, batin Kamid dalam hati tanpa menoleh ke belakang. Di saat masjid di tempat lain mengumandangkan adzan subuh Kamid berucap setengah berteriak “Ayo adzan !” Salah seorang jamaah mengambil mikrofon dan mulai mengumandangkan adzan subuh. Selepas itu beberapa orang melantunkan puji-pujian “Allahummasholli ala Muhammad ya Robbi sholli alaihi wassalim”, begitu seterusnya berulang-ulang. 5 menit kemudian Kamid menepuk punggung tangan kirinya dengan telapak tangan kannnya 2 kali sehingga terdengar bunyi “plak-plak”. Itu yang biasa dilakukan ustad Japar saat memberi kode untuk mengumandangkan Iqomah sebagai tanda bahwa solat berjamaah akan dimulai.

Kamid berdiri dengan gagah di peng-imaman, tanpa menoleh lagi dia berseru “sawwu sufufakum.....dst” sambil membetulkan baju, sarung serta sorban yang dia kenakan. Solat subuh pun dimulai, Kamid mengangkat kedua tangannya setelah sebelumnya melafalkan niat solat subuh dengan suara dikeraskan, lalu “Allaaaaaahu akzbarr..!” Dada Kamid mau meledak rasanya, akhirnya kesampaian juga aku menjadi imam solat, seru hati kamid. Doa iftitah dia baca was wes wos lalu dia pun mulai unjuk kemampuan melafalkan fatihah yang selama ini diajarkan oleh ustad Japar “Bizmillaaahirrrohmaaaanirrooohiiiiimmmm...” jeda beberapa saat lalu disambung “Alkamndulillaaahirobbil ngalamiiiin...Arrokmaaaaanirrrrokiiiiimmm...Maaaalikiayumidiiiinn...Iya kanak budu waiya kanastangiiiiin....Ihdinassirotol mustakiiiiiiimmm...Sirotolladina am amta ngalaihim...nggoiril magekdubi ngalaihim walap dooooolllllliiiiinnnnn....” Teriak Kamid lantang sambil harap-harap cemas menunggu balasan Amin dari jamaahnya. Sejurus kemudian terdengar jawaban “Aaamiiin” dari para jamaah. Ada yang aneh, batin Kamid, dia merasa jamaahnya menjawab amin pelan sekali, seperinya mereka tidak lebih dari 3 orang. Ah, masa bodoh, yang penting sekarang aku jadi imam, pikir Kamid.

Semua proses gerakan solat serta bacaanya telah selesai dilakukan, sampai pada tahiyat akhir lalu salam. Kamid menoleh kecil ke kanan lalu ke kiri. Selepas itu Kamid membaca istighfar lalu tahlil persis seperti yang dilakukan ustad Japar sehari-hari. Tibalah saat menengadahkan tangan melantunkan doa penutup. Dengan posisi badan tegak, dada sedikit membusung ke depan Kamid mengengadahkan tangan dengan ujung jari sejajar dengan alis matanya. Mulailah Kamid melafalkan doa sapujagat. Dari belakang terdengar bunyi “amin...amin“ yang sangat pelan dan jarang-jarang. Dan, sekali lagi Kamid tidak ambil pusing dengan makmum, sebab pengalaman pertama ini begitu berharga dan pasti tidak akan pernah dia lupakan seumur hidupnya. Menjadi imam man!

Selepas melafalkan doa sapujagat Kamid mengusapkan kedua tangannya ke wajah lalu berujar lantang “Bibarokatil fatihah...”. Semenit kemudian Kamid mengumandangkan puji-pujian penutup solat berjamaah yang selalu dinyanyikan ustad Japar bersama dengan semua makmum “Illahilas tulil firdausiahla....dst”. Sedetik berselang Kamid membalikkan badan mempersiapkan diri untuk bersalaman dengan para jamaahnya sambil siap-siap dicium tangannya. Pasti menyenangkan dihormati orang, pikir Kamid.

Betapa terkejutnya Kamid mendapati makmumnya memang hanya 3 orang. Lebih kaget lagi mereka yang berjajar itu paling kanan adalah Gus Ilham, pengasuh pondok pesantren Miftahul Janah. Lalu di tengah adalah ustad Qodar yang tahun lalu memenangkan lomba MTQ tingkat dunia yang diselenggarakan di Baucau, Timor leste. Dan, yang duduk paling kiri membuat wajah Kamid yang sudah pias menjadi semakin pucat seperti mayat, ustad Japar dengan senyum khasnya !


Pratama, 9 februari 2009
Jelang isya’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar