Senin, 09 Februari 2009

Ayem Sori Ku Sudah Tak Lap Yu Lagi

Huruf e pada kata ayem dibaca seperti mengucapkan e pada kata beres ato tren bukan e pada bayem atau apem. Judul di atas terinspirasi dari lagu ST 12 yang semestinya tertulis “I am sorry ku sudah tak love you lagi”. Mendengar liriknya secara utuh kita akan tersenyum simpul dengan lagu jenaka tersebut. Dan saat mendengar lagu tersebut, tepat pada kalimat itu kendaraan yang saya tumpangi pas berhenti di sebuah traffic light di satu perempatan di kota Malang. Pada saat yang bersamaan mata saya mendapati puluhan atribut parpol serta baliho yang terpampang tidak rapi, berusaha saling menutupi serta berusaha saling menonjolkan diri.

Seakan berlomba saling menunjukkan ketidakcerdasan serta mengumbar janji berisi pepesan kosong, baliho para caleg tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa mereka hanya berusaha mengikuti tren, mengikuti mode. Ikut-ikutan memasang baliho besar untuk merebut hati calon pemilih. Tidak adakah cara lain yang lebih cerdas sehingga mampu menarik hati para pemilih ?

Kalau mau jujur dari sekian ribu orang yang melintas atau berhenti di sekitar baliho tersebut, adakah yang benar-benar memperhatikan baliho tersebut ? Saya dapat pastikan tidak ada, sebab rata-rata berisi hampir sama yaitu janji manis jika mereka terpilih atau sekedar mohon doa restu, lha memangnya mau menikah ?

Berapa juta bahkan milyar uang terbuang percuma dalam upaya merebut simpati pemilih ? Sudahkah diadakah riset bahwa pemasangan baliho efektif menarik perhatian para pengguna jalan ? Kalau wajah caleg biasa saja, standart dan bahkan di bawah rata-rata dapat diastikan mereka akan kecewa telah memasang baliho sedemikian banyak.

Kecuali wajah caleg tersebut good looking, cantik, menarik hati, unik, wajah keartisan mungkin akan dilirik atau diperhatikan oleh pengguna jalan. Tapi ada juga sisi negatifnya, akibat wajah manis terpampang di baliho memaksa pengguna jalan untuk melirik bahkan menoleh berlebihan (terlalu lama), akibatnya kecelakaan lalu lintas tentu saja. Ini patut diwaspadai memeskipun belum ada penelitian khusus untuk kasus ini.

Lepas dari semua persoalan tersebut yang perlu diperhatikan adalah pertanyaan berikut “seberapa percaya rakyat akan janji seorang wakil rakyat ?”. Ini menjadi penting karena mayoritas baliho caleg selalu berisi janji-janji manis jika mereka terpilih nantinya.

Contoh kasus. Saya pernah mengidolakan seorang tokoh masyarakat yang menurut saya demikian ideal untuk bisa mewakili suara rakyat. Begitu dia mencalonkan dirinya sebagai wakil rakyat tanpa pikir panjang dengan mengucapkan “bismillahirrohmanirrohim” sayapun mencoblos nama orang tersebut dengan mantap. Saya berharap negara ini dapat dikelola dengan lebih baik dengan masuknya orang tersebut ke senayan.

Saya pun menunggu dengan sabar sepak terjang dia, sebulan dua bulan , setahun dua tahun hingga berakhir masa kerjanya saya tidak pernah jumpai sepak terjang seperti yang saya harapkan serta yang pernah da janjikan. Semuanya nol besar, semuanya omong kosong bagi saya.

Ada jutaan orang yang mungkin memiliki pengalaman seperti saya. Mereka terlanjur menggantungkan harapan kepada seorang wakil rakyat atau sebuah partai yang diyakini akan dapat membawa perubahan ke arah lebih baik. Namun pada kenyataannya, kami semua harus kecewa bahkan menderita akibat janji yang tidak ditepati tersebut.

Sebenarnya ini yang harus menjadi perhatian para caleg tersebut. Jangan hanya berlomba memasang baliho, lakukan sesuatu yang riil yang dapat secara otomatis memikat rakyat. Bagi-bagi uang ? bolehlah, tapi harus disadari bahwa itu adalah pembelajaran yang tidak baik bagi demokrasi untuk jagka panjang.

Yang diperlukan adalah stimulus yang positif, artinya caleg memberikan program kerja nyata yang mampu menghidupkan gairah hidup masyarakat daerah yang dia wakili. Misalnya, jika daerah tersebut mengalami krisis ekonomi maka dia harus lakukan segala cara agar masyarakat daerah tersebut bebas dari krisis.

Namun perlu diperhatikan juga jangan yang instant. Beri kail, umpan dan buka kolam ikannya sekaligus ajari cara mengail jangan hanya memberikan ikan apalagi ikan masak yang sudah siap santap. Agar rakyat bisa mandiri dan bukan hanya bisa menengadahkan tangan menunggu uluran tangan belas kasihan.

Nah, belajar dari pengalaman serta keadaan riil saat ini, nampaknya para caleg kita tidak bisa melihat dengan jernih permasalahan bangsa yang sesungguhnya. Mereka tidak memiliki program yang jelas. Mereka lebih mementingkan bagaimana cara memasang gambar wajahnya agar nongol dimana-mana tanpa berpikir panjang bahwa baliho tersebut memiliki masa edar yang terbatas. Artinya begitu baliho dilepas siapa yang peduli dengan wajah dalam baliho tersebut. Digulung lalu dilempar begitu saja di tumpukan baliho sejenis. Itu masih lebih beruntung. Di banyak tempat saya jumpai baliho yang sengaja dirusak oleh orang iseng. Ada caleg perempuan yang dibubuhi kumis dan cambang pada wajahnya, ada caleg ganteng yang tersenyum kecil dihitamkan beberapa giginya sehingga nampak rompal giginya, bahkan tidak jarang baliho tersebut tinggal rangkanya saja dan lain sebagainya.

Ini menunjukkan bahwa rakyat telah jemu denga janji para caleg. Telah geram dengan perilaku caleg. Telah muak dengan ulah caleg yang sejatinya telah mereka ketahui perilaku aslinya di masyarakat.

Kalau kemudian mereka, para caleg tersebut, masih saja bilang “mohon doa restu”, “mohon dukungan” bahkan nekad menulis “pilihlah saya” serta mengumbar janji-janji manis pada baliho mereka, jangan salahkan kalau kemudian rakyat akan membalas segala kelakuan mereka saat pemilu legislatif pertengahan tahun ini dengan bilang “ayem sori ku sudah tak lap yu lagi”

Pratama, 7 pebruari 2009
10:12 WIB
(kamu kok selingkuh, kangen band versi nDangdut )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar