Senin, 09 Februari 2009

Bapak Anggota Dewan Yth,

Malang, 7 Februari 2009

Perkenalkan nama saya Dul Kamid. Saya tinggal di salah satu sudut pelosok desa di kabupaten Malang, Jawa Timur. Saya wiraswasta dengan penghasilan tidak menentu tetapi masih mau menyisakan waktu untuk peduli dengan kondisi bangsa. Agar lebih akrab saya akan memanggil Bapak dengan pak wan sebagai akronim dari Bapak Dewan. Suka tidak suka, setuju tidak setuju surat ini sudah terlanjur sampai di tangan pak wan.

Sebagai salah satu warga desa yang telah lama menetap di negeri tercinta ini, serta telah mengikuti pergantian pimpinan negara sebanyak empat kali, maka mohon perkenan pak wan saya akan menyampaikan keluh kesah saya. Saya tidak mewakili siapa-siapa, pun juga saya tidak tahu harus ngomong kepada siapa. Yang penting, mohon didengar bukan dengan telinga bapak tapi dengan hati bapak, agar tumbuh empati dan mau berpihak minimal kepada saya sebagai rakyat negeri ini. Syukur-syukur pak wan dapat mempengaruhi teman bapak yang lain untuk tidak saja mau mendengar tapi juga mau mengambil inisiatif atas dasar kerakyatan, atas dasar masukan dari rakyat, saya salah satunya.

Pak wan,
Menurut saya ada satu permasalahan yang mendasari seluruh persoalan negeri ini. Persoalan tersebut adalah persoalan proporsi kesejahteraan yang saya rasa harus segera dibenahi dan disetarakan sehingga persoalan lain menjadi lebih mudah untuk ditangani dan diselesaikan. Kesenjangan strata sosial yang selama ini terjadi menjadi akar permasalahan bangsa. Di satu sisi ada rakyat bangsa ini yang memiliki penghasilan milyaran rupiah per bulan, namun pada sisi lain yang lebih besar kita akan jumpai rakyat negeri ini mengalami kelaparan. Artinya, dia tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk meng-cover kebutuhan hidupnya. Hal ini akan memicu persoalan sosial lain, sebab standart kebutuhan hidup riil sulit untuk diukur.

Saya ambil contoh permasalahan pendidikan. Saat ini telah menjadi rahasia umum bahwa biaya pendidikan demikian mahal sehingga sekolah didominasi oleh anak orang berduit. Memang telah ada beberapa program yang dimaksudkan untuk meringankan beban rakyat dengan membebaskan biaya sekolah sampai di tingkat SMP. Tetapi pada kenyataannya masih tetap saja ada pungutan ilegal yang dilakukan oleh sekolah. Dan lagi kalau hanya sampai SMP, bagaimana dengan SLTA-nya, bagaimana pula dengan Perguruan Tingginya?

Sekolah di perguruan tinggi negeri bisa jadi hanyalah sebuah angan bagi seorang anak yang orang tuanya berpenghasilan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar saja. Kursi di perguruan tinggi dimonopoli oleh anak-anak pejabat, anak orang kaya, anak para dosen dan seolah menjadi tempat yang diharamkan bagi mereka yang berkantong tipis. Ini ironis, sebab pendidikan merupakan hak setiap warga negeri ini.

Menjadi sarjana memang mudah, tetapi bukan sarjana yang sebenarnya. Artinya, praktek jual beli ijazah yang menawarkan kemudahan mendapatkan gelar sarjana menjadi tren di kalangan tertentu untuk berbagai macam maksud. Semua ini tidak akan terjadi bila rakyat negeri ini berada dalam taraf yang cukup untuk dapat membiayai semua keperluan hidupnya. Bukan hanya kebutuhan pokok tetapi juga kebutuhan untuk memperoleh pendidikan, kebutuhan untuk bisa hidup sehat serta mendapatkan perawatan sesuai porsi bila sakit dan lain sebagainya.

Lalu apa yang sebaiknya dilakukan pak wan ?
Saya memiliki beberapa uraian yang bisa pak wan pertimbangkan untuk bisa direnungkan sekaligus dipertimbangkan saat pak wan telah resmi duduk di gedung dewan. Minimal pak wan dapat menggunakannya untuk menekan para eksekutif kita agar dapat bekerja lebih baik lagi.

Berikut akan saya bahas 4 permasalahan utama tersebut satu demi satu :

1.Pangan
Beberapa waktu lalu saya melakukan perjalanan dengan naik kereta api dari Malang menuju Jakarta. Pada saat kereta melintas di daerah Jawa Barat, tidak tahu tepatnya dimana saya tercengang mendapati di sebelah kanan dan kiri rel kereta api terhampar tanaman padi sedemikian luasnya. Keadaan ini berlangsung selama lebih dari sejam. Jika kecepatan kereta api tersebut berkisar antara 60-70 km/jam dapat saya pastikan hamparan padi tersebut adalah ribuan hektar ! Ini luar biasa.

Hanya saja, satu pertanyaan yang kemudian menggelitik angan saya adalah : kemana larinya beras hasil panen dari hamparan sawah seluas itu ? Mengapa pada setiap tahun kita masih jumpai berita kelaparan yang melanda, berita gizi buruk, bahkan berita kriminal yang dipicu oleh desakan ekonomi, desakan kebutuhan perut. Jelas-jelas bertolak belakang dengan realita luasnya hamparan sawah yang menghasilkan jutaan ton padi tersebut.

Menjadi penting untuk melakukan tata niaga beras agar berita kelaparan yang selama ini sering mempermalukan bangsa ini dapat terhapus. Saya menengarai ini adalah ulah para pedagang yang sengaja mempermainkan arus distribusi beras dari hulu ke hilir. Bahkan dalam beberapa media sempat saya dapati bahwa pengijon yang selama ini menghantui para petani dibekingi oleh para pemodal super besar yang tahu bahwa beras memiliki potensi besar untuk dapat dipermainkan. Sebab mayoritas rakyat negeri ini mengonsumsi beras sebagai makanan utama.

Saya mengusulkan agar pak wan mendorong pemerintah untuk melakukan pengawasan distribusi dari hulu ke hilir kepada setiap bahan kebutuhan primer yang menjadi kebutuhan utama rakyat negeri ini (sembako). Dengan demikian berita-berita bahwa rakyat kelaparan akibat sembako mahal, minyak langka dan sejenisnya menjadi cerita masa lalu. Intinya, bikin rakyat kenyang agar tidak merecoki urusan yang bukan menjadi urusannya.

2.Lapangan Kerja
Dari tahun ke tahun piramida penduduk kita menunjukkan semakin tebalnya bagian usia produktif, sayangnya kondisi ini tidak dibarengi dengan ketersediaan lapangan kerja riil yang dapat menyerap tenaga mereka sehingga dapat mandiri secara finansial. Tentu ini semakin menambah beratnya beban keluarga sebagai entitas sosial terkecil dalam struktur masyarakat kita.

Kenyataan semakin meningkatnya angka pengangguran baik yang skilled maupun unskilled serta banyaknya tenaga kerja Indonesia (TKI) yang hanya berprofesi sebagai pembantu rumah tangga (PRT) jelas merefleksikan bahwa negeri ini salah urus, terjadi mismanajemen dalam pengelolaan negara. Dengan segala potensi kekayaan yang dimiliki sekaligus dibanggakan oleh negeri ini tidak semestinya rakyat bukan menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Sejauh ini rakyat seolah tamu yang tidak merdeka dan menunggu tuan rumah untuk dipersilahkan meskipun hanya untuk sekedar bisa duduk di kursi tamu tuan rumah. Ini benar-benar mengenaskan !

Pak wan harus memaksa pemerintah untuk membuka lapangan kerja serta memberikan kesempatan kepada anak negeri untuk bekerja, bekerja, dan bekerja. Apapun caranya ! Negara ini memiliki areal persawahan yang sangat luas dan tentu memerlukan jutaan tenaga untuk menggarapnya. Negara ini memiliki lautan yang sangat-sangat luas yang menunggu untuk dipanen ikannya. Negara ini memiliki wilayah udara yang demikian luas dan berpotensi mendatangkan trilyunan rupiah atas pengelolaannnya. Negara ini memiliki hutan yang sangat luas bahkan diyakini sebagai paru-paru dunia. Negara ini memiliki kekayaan tambang yang hampir tiada tertandingi mulai dari minyak mentah, timah, bijih besi, tembaga bahkan emas !

Pak wan harus mendesak agar pemerintah mengeluarkan regulasi yang memungkinkan rakyat negeri ini dapat menduduki setiap level jabatan di beberapa perusahaan asing yang melakukan eksplorasi atas kekayaan alam Indonesia, sehingga dapat terjadi transfer knowledge. Pada gilirannya, entah itu 10 atau 50 tahun ke depan semua level dapat ditempati oleh tenaga kerja full dari bangsa kita sendiri. Bukan seperti kenyataan selama ini yang hampir selalu menempatkan rakyat negeri ini sebagai tenaga kita pada level rendah bahkan terendah.

Ini harus direvolusi. Pak wan harus berani mengambil langkah strategis, yang berpihak kepada rakyat. Dorong, yakinkan dan paksa penyelenggara negara ini bahwa cepat atau lambat negeri ini harus mandiri dan tidak bergantung kepada orang asing seperti yang saat ini terjadi. Kita harus berani dan bisa mengambil langkah tegas dalam memutus mata rantai ketergantungan itu. Meski awalnya berat namun jika dilalui bersama maka akan terasa lebih ringan. Daripada secara politik kita merdeka namun secara ekonomi kita terjajah. Penderitaannya akan terasa lebih lama.

3.Hukum
Saya buta masalah hukum, hanya tahu kulit luarnya saja. Namun dari media serta dari beberapa teman yang menggeluti bidang hukum saya jadi terpaksa mengerti. Minimal saya tahu bahwa hukum di negeri ini tidak memiliki kewibawaan seperti yang diharapkan banyak pihak.

Saya tidak tahu siapa yang lemah, hukum atau pelaku hukum. Yang saya tahu sebuah negara bisa berdiri tegak bila hukum dijunjung tinggi, ditaati serta dipatuhi oleh semua komponen bangsa. Hukum tidak pandang bulu apakah itu pejabat, polisi, petani, buruh dan lain sebagainya. Di mata hukum strata mereka adalah sama. Itu adalah idealnya, namun kenyataannya?

Kita sering jumpai ulah diskriminatif yang ditunjukkan oleh oknum saat menangani berbagai kasus hukum yang biasanya melibatkan rakyat yang berasal dari berbagai macam kelas sosial. Yang berduit mendapat pelayanan nomer satu sementara rakyat jelata disia-sia. Koruptor dapat tidur nyenyak makan enak sementara maling ayam harus mendekam dengan tubuh lebam. Ini tidak adil, semestinya koruptor mendapat hukuman lebih berat dari maling ayam, baik secara fisik maupun moril, bukan sebaliknya.

Kepastian hukum menjadi pertanyaan yang paling sering mengemuka dalam setiap sesi diskusi maupun praktek sehari-hari. Secara teori materi hukumnya baik, telah disusun dengan mempertimbangkan berbagai macam aspek kehidupan, namun sayang tidak didukung oleh personil yang mumpuni dalam mempertahankan jejak langkahnya pada koridor hukum tersebut. Keinginan-keinginan untuk sedikit serong bahkan sengaja zig-zag dalam mempraktekkan hukum menjadikan negeri ini menjadi salah satu negara yang tidak terpercaya saat melakukan kontak dengan negara lain, utamanya untuk urusan perdagangan serta kerjasama yang lain.

Kebiasaan menolerir kesalahan kecil dalam pelanggaran hukum telah menjadikan kesalahan tersebut sebagai yurisprudensi yang semakin lama semakin membesar. Sehingga seakan-akan kita menjadi masyarakat yang permisif dengan berbagai macam tindakan yang dalam ukuran internasional adalah melawan hukum. Sebut saja perilaku pembajakan software yang mencederai hak cipta dan hak atas kekayaan intelektual, kemudian pembajakan film dan lagu, berikutnya pembajakan buku serta perilaku melanggar hukum lainnya yang telah demikian jamak terjadi di negeri ini.

Berbagai persoalan hukum tersebut harus segera dituntaskan. Bahkan harus masuk dalam agenda prioritas kerja pak wan dan kawan-kaan yang memiliki kewenangan serta kemampuan penuh untuk mendorong persoalan tersebut ke arah yang lebih baik. Sebab jika tidak segera dibenahi kita akan semakin terpuruk ke dalam lembah kehancuran akibat tidak adanya standart kepastian hukum.

4.Kebudayaan
Budaya memiliki cakupan yang sangat luas serta merasuk dalam setiap sisi kehidupan masyarakat. Beberapa buku yang pernah saya pinjam dari teman mengungkapkan bahwa culture adalah construct, artinya budaya terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan yang jamak dilakukan oleh masyarakat. Kebiasaan tersebut mendorong terciptanya perilaku yang khas dalam sebuah tatanan masyarakat.

Pak wan bisa cermati bagaimana budaya kita saat ini telah tergerus oleh budaya asing yang menuju pada dekonstruksi moral. Bahwa arus informasi akibat proses interaksi internasional yang belakangan demikian deras mengalir masuk ke negeri ini adalah kenyataan yang tidak bisa dihindarkan. Artinya sebagai negara yang terbuka kita memiliki potensi untuk terpengaruh oleh budaya asing yang boleh jadi tidak sesuai dengan yang kita anut selama ini.

Sebut saja tayangan televisi, media cetak, internet, produk ponsel dengan segala bentuk fiturnya, makanan serta produk konsumsi lainnya bahkan sampai pada sistem pendidikan. Hampir tidak ada celah yang lolos dari pengaruh asing dengan segala konsekuensinya. Bahwa semua itu adalah bagian dari perkembangan jaman saya setuju, namun mari kita secara cermat dan cerdas berhitung, antara benefit yang kita dapatkan dengan kerusakan jangka panjang yang berpotensi terjadi mana yang lebih dominan.

Sejujurnya tanpa harus kita bahas secara detail kita akan sadar bahwa perilaku masyarakat kita telah bergeser ke arah pola hidup barat yang seringkali menimbulkan problem sosial baru di lingkungan kita sendiri. Secara tidak sadar kita telah terbentuk menjadi bangsa yang demikian tergantung dengan produk asing. Sebut saja tayangan televisi, suatu ketika kita akan sedemikian kehilangan saat program yang biasanya tayang kemudian tidak tayang. Sebut saja tayangan sepak bola internasional. Beberapa waktu lalu masyarakat penikmat tontonan sepak bola internasional melakukan demo akibat hilangnya tayangan favorit mereka dari layar kaca karena hak tayangnya dibeli oleh televisi berbayar.

Sepenting apa sih tayangan sepak bola bagi kemajuan bangsa ini, kok sampai melakukan unjuk rasa ? kalau boleh berhitung secara sederhana durasi pertandingan adalah 2 X 45 menit ditambah dengan istirahat dan ulasan dari para komentator maka seorang pemirsa harus duduk manis berkonsentrasi menyaksikan sebuah pertandingan tersebut selama lebih dari 2 jam.

Lalu benefit apa yang bisa didapat dari pertandingan tersebut ? Paling banter hanyalah kepuasan mata dan refresh-nya otak. Coba kita lebih wise dalam memanfaatkan waktu, 2 jam bisa demikian produktif untuk melakukan hal-hal lain yang bermanfaat, misalnya saja membaca buku atau bahkan untuk mengerjakan sebuah pekerjaan yang efektif secara finansial. Tentu ini lebih bermanfaat.

Tetapi masyarakat kita telah terbuai dengan segala macam tayangan tersebut. Kita secara perlahan namun pasti telah menjadi obyek penderita atas berkuasanya kapitalisme yang terbungkus rapi dalam tayangan yang meninabobokan tersebut. Pelan tapi pasti kita didorong untuk menjadi bangsa yang pemalas, yang hanya bisa duduk manis menyaksikan tayangan televisi, menyaksikan gol-gol indah kreasi pemain sepak bola dunia, dibuai mimpi-mimpi kekayaan milyaran rupiah dan rumah mewah yang ditawarkan oleh alur cerita sinetron, diarahkan untuk mengekor cara berpakaian para selebritis yang secara moral sungguh tidak sesuai dengan budaya asli kita.

Pak wan, saya cuma mau bilang, paksa eksekutif negeri ini untuk menertibkan semua perkara tersebut. Jangan justru larut dalam arus yang menyeret kita tersesat jauh. Saya sering memperhatikan eksekutif kita justru berpihak kepada rupiah yang akan mengalir ke kantong mereka dan bukan untuk kepentingan rakyat secara nasional dan jangka panjang. Sadarkan mereka bahwa mereka adalah ujung tombak pengarah “anak panah masa depan bangsa” yang melesat liar dan dan melaju kencang di tengah jutaan badai serta kelamnya awan percaturan dunia internasional. Pastikan jati diri budaya bangsa tidak rusak terkoyak oleh kencangnya budaya asing yang tidak sesuai dengan yang diamanahkan oleh para pendiri bangsa ini.

4 persoalan tersebut di atas akan bisa teratasi jika secara ekonomi rakyat kita sejahtera. Artinya, ketika rakyat cukup makan serta dapat memenuhi kebutuhan yang lainnya maka hal ini akan mendorong rakyat untuk bertindak secara bijak, baik saat berhadapan dengan persoalan pendidikan, layanan kesehatan serta persoalan lain yang selama ini terasa demikian berat.

Rakyat akan dapat hidup tenang jika perut mereka telah terisi dan ada cukup cadangan pangan untuk hari esok. Persoalan inilah yang saya rasa harus diatasi terlebih dahulu, baru persoalan lain akan terurai satu demi satu. Sebab persoalan mahalnya pendidikan, diskriminasi layanan kesehatan untuk keluarga miskin, menggelembungnya pengangguran serta perilaku korupsi sejatinya bermuara pada satu hal, yaitu harus terpenuhinya kebutuhan hidup.

Pak wan,
Secara panjang lebar saya telah menyampaikan keluh kesah saya, pandangan-pandangan saya, semoga uraian saya tersebut dapat menginspirasi pak wan untuk munculnya ide-ide konstruktif lain demi keberpihakan penyelenggaraan negara kepada rakyat. Semoga dalam masa kerja pak wan nanti keberuntungan selalu berpihak sehingga dipercaya rakyat untuk masa kerja berikutnya. Terakhir, tidak lupa saya ucapkan terima kasih telah bersedia mendengarkan kalimat demi kalimat yang mengalir dari jari saya.

Salam damai dari saya,
Dul Kamid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar