Senin, 16 Februari 2009

Ponari dan Potret Layanan Kesehatan di Indonesia

Fenomena Ponari, anak kecil berusia 10 tahun, yang dipercaya sebagai dukun cilik setelah mendapat batu ajaib bersamaan dengan petir yang menyambarnya pertengahan Januari lalu benar-benar menjadi buah bibir media lokal maupun nasional. Meskipun secara medis khasiat batu ajaib tersebut belum pernah terbukti namun berita keampuhan batu tersebut telah menyebar ke seantero nusantara. Keberadaan Ponari menarik minat puluhan ribu massa untuk datang ke kediaman Ponari dalam upaya memperoleh kesembuhan penyakit yang mereka derita.

Tidak kurang dari 50.000 pasien mendatangi rumah Ponari setiap hari dalam kurun waktu 20 hari terakhir. Hanya karena keterbatasan waktu, dalam sehari Ponari melalui batu bertuahnya “cuma” mampu menangani 10.000 hingga 15.000 pasien. Hal ini dimungkinkan oleh proses pengobatan yang hanya berlangsung sekitar satu detik untuk setiap pasien. Teknisnya, pasien atau yang mewakili cukup datang dengan membawa gelas atau botol berisi air lalu antri menunggu giliran untuk mendapat sekali pencelupan batu bertuah milik oleh Ponari.

Terlepas dari terenggutnya 4 nyawa akibat berdesakan dalam antrian panjang di halaman rumah Ponari, satu hal yang harus dicermati bersama adalah kondisi pelayanan kesehatan di negeri ini. Telah menjadi rahasia umum bahwa pelayanan kesehatan di negeri ini jauh dari yang diharapkan banyak pihak. Keluhan terhadap buruknya pelayanan kesehatan pemerintah seringkali menghiasi media massa kita. Terutama pelayanan kesehatan untuk keluarga miskin (gakin).

Meskipun pemerintah telah meluncurkan program jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) namun pada kenyataanya program tersebut masih saja menyisakan beragam masalah baru. Mulai dari problem kualifikasi gakin yang berhak mendapatkan kartu jamkesmas hingga tengara nepotisme dalam proses identifikasi dan verifikasinya. Namun problem utamanya adalah diskriminasi pelayanan yang diberikan oleh petugas Rumah Sakit pemerintah atau Puskesmas kepada gakin pemegang kartu jamkesmas meskipun secara legal mereka berhak mendapatkan pelayanan setara dengan yang lain. Seakan melanggengkan budaya feodal, pelayanan kesehatan kepada gakin tersebut selalu masuk dalam antrian paling belakang. Ini ironis jika melihat fakta bahwa mayoritas pasien Rumah Sakit pemerintah adalah gakin

Membeludaknya pasien di tempat praktek dukun cilik Ponari adalah refleksi buruknya pelayanan serta mahalnya biaya kesehatan yang disediakan oleh pemerintah. Lihat saja, Ponari hanya memasang tarif 5.000 rupiah, itupun bagi yang mampu. Jika tidak mampu boleh langsung pulang sambil membawa obat tanpa harus mengisi kotak amal dan bebas dari perasaan kuatir harus meninggalkan jaminan seperti yang sering dilakukan oleh Rumah Sakit jika si pasien gakin mengalami gagal bayar.

Mahalnya tarif konsultasi dokter dan juga harga obat memaksa gakin untuk mencari pengobatan alternatif semacam Ponari. Mereka pasti tidak akan mau mengantri hingga berjam-jam bahkan berhari-hari untuk sekedar mendapat celupan batu bertuah itu andai pelayanan kesehatan yang menjadi tanggung jawab pemerintah mampu memuaskan mereka.

Keberpihakan kepada gakin dalam pelayanan kesehatan memang seringkali mendapat sorotan. Di saat Rumah Sakit berlomba-lomba membangun pavilyun bertaraf hotel bintang lima dan bertarif ratusan ribu bahkan jutaan rupiah per malam, kita masih menyaksikan antrian panjang mengular di loket yang disediakan untuk gakin pemegang kartu jamkesmas. Pasien gakin terkesan dilayani ala kadarnya sebagai formalitas telah dilaksanakannya program jamkesmas. Coba bandingkan jika yang sakit adalah orang berduit, pelayanan prima yang menjadi motto tiap Rumah Sakit tentu akan langsung diperlihatkan. Padahal, pelayanan kesehatan tanpa diskriminasi adalah hak setiap warga negeri ini.

Dalih mahalnya biaya menjadi dokter serta fakta tertutupnya sistem distribusi farmasi harus segera didobrak. Obat generik yang jamak kita jumpai diresepkan untuk gakin seyogianya tidak beda secara kualitas dengan obat umum yang biasanya berharga lebih mahal. Jangan sampai pasien gakin justru bertambah penderitaannya akibat pola pelayanan kesehatan yang tidak berpihak kepada mereka. Khusus untuk masalah tertutupnya sistem distribusi farmasi, pemerintah harus berani mengambil langkah tegas guna menghapus citra negatif peran dokter sebagai salesman terselubung dalam mekanisme distribusi obat.

Satu catatan yang tidak kalah penting adalah potensi bisnis bidang pelayanan kesehatan. Menurut pengakuan Senen, kakek Ponari, per tanggal 6 Februari lalu dia telah menyetorkan uang ke bank hasil kotak amal yang ditaruh di halaman rumahnya sebesar 326 juta rupiah. Sebuah angka yang fantastis mengingat Ponari baru membuka praktek sekitar pertengahan Januari lalu. Itu pun tanpa patokan tarif alias sukarela. Belum lagi nilai pendapatan dari karcis antrian yang dijual 1.000 rupiah. Dengan jumlah pasien 10.000 hingga 15.000 orang per hari kita bisa hitung dengan gampang uang yang masuk ke kantong Ponari dan kerabatnya. Lalu pendapatan dari jasa parkir kendaraan para pasien. Singkatnya, jutaan rupiah dapat terkumpul dalam waktu singkat.

Lalu bagaimana dengan lembaga penyedia layanan kesehatan pemerintah ? Setali tiga uang dengan fenomena Ponari, Rumah Sakit seringkali dijadikan sebagai mesin uang oleh kepala daerah yang kurang kreatif dalam mendulang PAD. Pada beberapa kabupaten / kotamadaya di Jawa Timur, berdasarkan temuan LSM yang concern di bidang APBD terungkap fakta bahwa lebih dari 50 persen PAD mereka berasal dari Rumah Sakit yang (lagi-lagi) mayoritas pasiennya adalah gakin. Ironis memang, sebab dana tersebut kemudian diputar kembali untuk program jamkesmas yang diperuntukkan bagi gakin.

Lingkaran setan pelayanan kesehatan khususnya bagi gakin ini menjadi PR buat pemerintah untuk bekerja lebih keras menuntaskan problematika pelayanan kesehatan. Jika pelayanan kesehatan tetap seperti saat ini jangan salahkan jika gakin lebih antusias berobat kepada Ponari dan rekan sejawat ketimbang ke Rumah Sakit atau Puskesmas.

Nyaleg

“Halo, jangan pura-pura tidak dengar, saya sudah keluar dana jutaan. Anda harus bertanggung jawab. Kerja gak beres, maunya minta uang melulu” Teriak Mansur penuh amarah dari ponselnya.
“Maaf pak, kami bertanggung jawab kok, akan kami perbaiki semua kesalahan cetaknya, free pak, bapak gak perlu keluar uang lagi” jawab suara di seberang sana agak takut-takut.
“Bukan masalah uangnya, kamu ini gimana, ini sudah Februari, coblosan tinggal 2 bulan lagi” damprat Mansur sengit.
“Kami janji 1 minggu lagi selesai pak” lanjut lawan bicara Mansur
“Awas kalau tidak selesai, saya polisikan kamu” Hardik Mansur
“Wah jangan gitu dong pak, saya janji minggu depan sudah ada di kantor bapak”
“Sudah-sudah, pusing saya, kalau 1 minggu gak selesai lihat aja” Ancam Mansur sambil menutup pembicaraan lewat ponselnya.

Sebulan lalu Mansur memesan 200 baliho, 50 spanduk, 500 pamflet dan 1000 bendera parpol tempatnya bernaung ukuran kecil. Mansur memilih percetakan atas rekomendasi seorang temannya yang telah dilayani terlebih dahulu oleh percetakan tersebut. Mansur sudah melihat sendiri hasilnya bagus dan harganya lebih miring daripada percetakan lainnya.

Masalah besar muncul ketika pesanan tersebut telah rampung. Mansur naik pitam karena hasil akhir tidak sesuai dengan pesanan. Dan, yang paling fatal, misi keislaman yang akan diusung Mansur untuk kampanye pileg mendatang berantakan.

Ada satu kalimat bernada ajakan yang berbunyi “Tinggalkan maksiat, songsong syariat”. Ini adalah ide Mansur untuk bisa menarik pemilih di kantong-kantong fundamentalis. Nah, yang membikin Mansur naik pitam setelah pesanan jadi, kalimatnya terbalik menjadi “Tinggalkan syariat, songsong maksiat”.

Mata Mansur menerawang jauh. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika baliho, spanduk serta bendera parpol pesanannya tidak selesai dalam waktu seminggu ini. Bisa kacau semua rencana yang telah dia susun rapi untuk keperluan kampanye.

Padahal sesuai dengan kesepakatan raker partai, paling lambat akhir Januari semua baliho, spanduk dan atribut lain harus sudah terpasang di beberapa titik yang sudah disepakati. Ini menjadi persoalan tersendiri bagi Mansur, sebab saat ini bisa dibilang dia adalah leader dalam partainya. Apalagi partai telah menetapkan Mansur sebagai caleg no urut 1.

Mansur sengaja menonjolkan unsur penegakan syariat islam dalam materi kampanyenya kali ini. Sebab dia ditempatkan pada dapil yang mayoritas penduduknya adalah daerah kantong kaum fundamentalis. Sehingga mau tidak mau Mansur harus mengedepankan misi tersebut.

Melalui beberapa orang yang dia tunjuk sebagai tim sukses, Mansur memoles setiap materi kampanyenya sehingga bernafaskan syariat islam. Pakaian yang dia kenakan untuk gambar foto diri yang dipajang di baliho dan spanduk adalah stelan sarung samarinda motif gelap dengan gamis putih lengkap dengan jubah di bahu serta sorban sebagai tutup kepalanya. Tangan kanannya memegang kitab suci dan di tangan kirinya tergantung sebuah tasbih mini berbahan kayu.

Latar belakangnya adalah gambar sebuah masjid megah di kotanya. Lalu di sampingnya terpampang tulisan besar berbunyi “tinggalkan maksiat, songsong syariat”. Kalimat itu dia dapatkan setelah berkonsultasi dengan beberapa ahli bahasa dan tim suksesnya. Tapi apa daya, ternyata pihak percetakan salah dalam melakukan proses finishing, sehingga materi tulisan tersebut terbalik.

Selain atribut partai yang bernafaskan keislaman, Mansur juga rajin mengunjungi jamah-jamah pengajian di dapilnya. Sehingga praktis acaranya semakin padat belakangan ini. Mansur juga mengagendakan untuk mengadakan sosialisasi program kerjanya di beberapa stasiun televisi lokal serta radio. Ini penting untuk menancapkan pesan dan juga kesan di mata masyarakat bahwa Mansur adalah seorang muslim yang taat sekaligus berada pada barisan terdepan dalam membela islam.

Dalam beberapa kesempatan wawancara dengan media cetak dan elektronik Mansur selalu menyentil UUAP yang harus ditaati oleh semua elemen masyarakat di tanah air. Mansur menjadi begitu bersemangat bila dalam setiap kesempatan ditanyai masalah UUAP dan penerapannya. Dengan bersikap pro UUAP Mansur berharap media akan memblow-up dirinya sehingga opini publik bisa terbentuk dengan lebih mudah.

Selain isu kembali kepada syariat islam dan UUAP Mansur juga rajin mengumandangkan penolakannya kepada seks bebas. Bahkan dia sengaja membuat posko pengaduan dan konsultasi khusus untuk hal ini. Mansur menggaet dokter, psikiater dan juga tokoh masyarakat yang menurutnya akan mudah diajak kerjasama jika tajuknya adalah memperbaiki moral anak bangsa.
*-*
Saat yang ditunggu-tunggu itu akhirnya datang juga. Pesanan atribut partai untuk kampanye sudah selesai dan sesuai dengan pesanan. Mansur tersenyum puas dengan hasil akhir pesanannya. Dia merasa semua begitu sempurna dan angan-angannya untuk tetap duduk manis di gedung dewan semakin nampak nyata di depannya.

Setelah menginstruksikan untuk memasang semua atribut partai tersebut secara blizkrieg Mansur segera tancap gas merangkul semua komponen yang dia angggap mampu menyokong dirinya. Hampir semua acara sosial warga dia datangi. Tidak peduli mereka kenal atau tidak yang penting Mansur datang. Media cetak dan elektronik yang memang memiliki agenda khusus dalam menampilkan profil caleg dia datangi. Seminar-seminar yang berkaitan dengan penegakan syariat islam serta membahas seks bebas menjadi rajin dia datangi.

Simpati pun mulai berdatangan dari masyarakat. Dukungan riil maupun berupa dukungan doa sering dia terima baik secara langsung maupun melalui telepon, sms dan juga email. Ini cukup melegakan Mansur dan tim suksesnya. Mansur semakin di awang-awang mendapati dukungan riil dari masyarakat dapil-nya sudah ada di genggaman. “Ini hanya tinggal menunggu waktu saja” demikian gumam Mansur.
*-*
Masyarakat menyambut baik program-program yang ditawarkan oleh Mansur. Kembali kepada syariat dan meninggalkan maksiat seakan menjadi daya tarik tersendiri di kalangan masyarakat disaat masyarakat semakin ragu dengan kualitas moral anggota dewan seperti yang sering ditayangkan di media.

Dukungan kepada Mansur mulai mengalir deras. Masyarakat merasa mendapat wakil yang tepat untuk mengatasi berbagai persoalan krisis bangsa yang melanda hebat belakangan ini. Di manapun Mansur berada tidak peduli tua muda, laki-laki perempuan semua mengelu-elukan Mansur sebagai calon wakil mereka yang tepat untuk pemillu mendatang.

Mansur tersenyum penuh kemenangan. Tidak sia-sia dia membayar mahal perusahaan riset untuk keperluan kampanyenya. Ini sungguh di luar dugaannya. Ini seperti menang sebelum berperang.
*-*
Minggu, 29 Maret 2009
Pukul 11:00 WIB
“Assalamualaikum pak Mansur, sudah siap untuk teleconference ?” sapa sebuah suara milik perempuan dengan halus di ujung telepon.
“Wa alaikum, salam…sebentar-sebentar ya, memangnya sudah siap semua ?” Mansur balik bertanya sambil membenahi posisi badannya dari rebahan menjadi duduk di atas tempat tidur.
Ya, ya, sekarang kan jadwal seminar tentang fenomena seks bebas yang diadakan salah satu ormas islam, hampir saja Mansur lupa. Dia semalaman terlalu capek sehingga bangun sangat terlambat.
“Semua pembicara sudah presentasi pak, tinggal Bapak saja yang belum” suara wanita itu melanjutkan.
“OK deh, siap sekarang” jawab Mansur tegas masih di atas tempat tidur.

Beberapa saat berselang dari ponselnya Mansur mendengar suara moderator yang menjelaskan bahwa dalam beberapa saat lagi akan ada dialog interaktif dengan seorang caleg yang begitu peduli dengan persoalan moral dan juga seks bebas. Dan, sederet perghargaan yang pernah Mansur terima tak lupa dibacakan juga. Lalu Mansur pun dimintai pendapatnya tentang seks bebas.
“Assalamualaikum pak Mansur, apa kabar ? Sehat-sehat saja kan Bapak siang ini?” sapa molderator ramah.
“Alhamdulillah, atas ijin dan ridho Allah semua masih dalam track yang dipayungi berkah Allah mas” jawab Mansur lugas.
“Bisa dimulai ya pak, di sini ada Kyai Sofa, Ustad Komarudin, dan juga Habib Jamal. Tentu Bapak sudah kenal baik dengan beliau-beliau ini ya Pak ? Semua telah memaparkan pandangan-pandangannya seputar seks bebas secara panjang lebar tadi. Dan saya yakin Bapak memiliki pandangan tersendiri mengenai fenomena sek bebas ini pak. Silahkan pak Mansur” lanjut moderator.
“Baik, bismillahirrohmanirrohim, Assalamualaikum Kyai Sofa, Ustad Komar, Habib Jamal dan juga seluruh undangan yang berbahagia. Mohon maaf saya tidak bisa hadir hari ini di acara yang sungguh penting demi menjaga moral bangsa sehingga terpaksa harus per telepon saja. Alhamdulillah kita bersama masih diberikan nikmat berupa kesehatan dan iman sehingga tetap memiliki energi untuk amar ma’ruf nahi munkar. Solawat serta salam senantiasa kita haturkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW yang telah menularkan segala bentuk uswatun hasanah. Langsung saja, jika tadi 3 pemateri sudah menyampaikan pandangannya, dan pasti secara gamblang, saya ingin menegaskan sekali lagi bahwa seks bebas yang saat ini menggejala adalah penyakit global. Ini harus bersama-sama kita berantas. Diperlukan kerjasama seluruh elemen masyarakat untuk dapat memberangus fenomena ini. Mulai dari didikan keluarga di rumah, guru-guru di sekolah, jamaah-jamaah di pengajian, pemerintah dengan dinas sosial dan kesehatan serta bagian-bagian masyarakat yang lain. Singkat kata, semua elemen harus terlibat” Mansur menghela napas lalu melanjutkan ”Dampak yang muncul akibat seks bebas kita bisa tahu sendiri lah, mulai dari kehamilan di luar nikah, maraknya aborsi hingga hancurnya tatanan sebuah keluarga yang pasti berdampak lebih luas secara sosial. Padahal hukumnya jelas. Agama apapun pasti melarang, hukum positif menyatakan tidak, dan Quran sebagai rujukan utama kita menyatakan “laa takroba..” Jauhi, jangan dekat-dekat. Kalau mendekati saja tidak boleh apalagi melakukan. Pada intinya, dimanapun kita berada dan bersama siapapun kita, penolakan terhadap seks bebas ini harus senantiasa kita kampanyekan secara masif” Begitu papar Mansur berapi-api.

Beberapa saat berselang peserta diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada Mansur secara interaktif. Ada tiga penanya dan semuanya mendapat jaminan dari Mansur bahwa persoalan Undang-undang anti seks bebas akan dijadikan sebagai agenda utamanya saat dia telah duduk secara resmi di gedung dewan. Mendengar Mansur menjanjikan hal positif tersebut semua hadirin bertepuk tangan meriah sambil meneriakkan nama Mansur berulang-ulang bak pahlawan. Teriakan “Hidup Pak Mansur” “Pak Mansur Pembela Syariat” dan lain sebagainya terdengar dengan jelas di ponsel Mansur. Mansur lega, “Merdeka” pekik Mansur dalam hati.

Dialog interaktif tersebut diakhiri dengan ucapan terima kasih dari moderator, “Bapak, kami ucapkan terima kasih atas kesediaan Bapak bergabung dalam seminar ini, semoga semua yang Bapak perjuangkan mendapat ridho Allah, amin…kita berikan applaus meriah kepada Bapak Mansur sekali lagi !” ucap moderator penuh semangat.

“Terima kasih, saya berharap dukungan dari saudara-saudara semua dalam pemilu April nanti, sehingga program yang telah kita susun bersama dapat berjalan sesuai rencana, sekali lagi mari kita tinggalkan maksiat dan songsong syariat, wassalamualaikum wr wb” kata Mansur mengakhiri pembicaraan sambil tangan kirinya tetap menggamit pinggang Dina, sekretaris barunya, yang duduk manja di pangkuannya nyaris tanpa busana.

Pratama, 15 Februari 2009
01:12 WIB

Senin, 09 Februari 2009

Bapak Anggota Dewan Yth,

Malang, 7 Februari 2009

Perkenalkan nama saya Dul Kamid. Saya tinggal di salah satu sudut pelosok desa di kabupaten Malang, Jawa Timur. Saya wiraswasta dengan penghasilan tidak menentu tetapi masih mau menyisakan waktu untuk peduli dengan kondisi bangsa. Agar lebih akrab saya akan memanggil Bapak dengan pak wan sebagai akronim dari Bapak Dewan. Suka tidak suka, setuju tidak setuju surat ini sudah terlanjur sampai di tangan pak wan.

Sebagai salah satu warga desa yang telah lama menetap di negeri tercinta ini, serta telah mengikuti pergantian pimpinan negara sebanyak empat kali, maka mohon perkenan pak wan saya akan menyampaikan keluh kesah saya. Saya tidak mewakili siapa-siapa, pun juga saya tidak tahu harus ngomong kepada siapa. Yang penting, mohon didengar bukan dengan telinga bapak tapi dengan hati bapak, agar tumbuh empati dan mau berpihak minimal kepada saya sebagai rakyat negeri ini. Syukur-syukur pak wan dapat mempengaruhi teman bapak yang lain untuk tidak saja mau mendengar tapi juga mau mengambil inisiatif atas dasar kerakyatan, atas dasar masukan dari rakyat, saya salah satunya.

Pak wan,
Menurut saya ada satu permasalahan yang mendasari seluruh persoalan negeri ini. Persoalan tersebut adalah persoalan proporsi kesejahteraan yang saya rasa harus segera dibenahi dan disetarakan sehingga persoalan lain menjadi lebih mudah untuk ditangani dan diselesaikan. Kesenjangan strata sosial yang selama ini terjadi menjadi akar permasalahan bangsa. Di satu sisi ada rakyat bangsa ini yang memiliki penghasilan milyaran rupiah per bulan, namun pada sisi lain yang lebih besar kita akan jumpai rakyat negeri ini mengalami kelaparan. Artinya, dia tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk meng-cover kebutuhan hidupnya. Hal ini akan memicu persoalan sosial lain, sebab standart kebutuhan hidup riil sulit untuk diukur.

Saya ambil contoh permasalahan pendidikan. Saat ini telah menjadi rahasia umum bahwa biaya pendidikan demikian mahal sehingga sekolah didominasi oleh anak orang berduit. Memang telah ada beberapa program yang dimaksudkan untuk meringankan beban rakyat dengan membebaskan biaya sekolah sampai di tingkat SMP. Tetapi pada kenyataannya masih tetap saja ada pungutan ilegal yang dilakukan oleh sekolah. Dan lagi kalau hanya sampai SMP, bagaimana dengan SLTA-nya, bagaimana pula dengan Perguruan Tingginya?

Sekolah di perguruan tinggi negeri bisa jadi hanyalah sebuah angan bagi seorang anak yang orang tuanya berpenghasilan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar saja. Kursi di perguruan tinggi dimonopoli oleh anak-anak pejabat, anak orang kaya, anak para dosen dan seolah menjadi tempat yang diharamkan bagi mereka yang berkantong tipis. Ini ironis, sebab pendidikan merupakan hak setiap warga negeri ini.

Menjadi sarjana memang mudah, tetapi bukan sarjana yang sebenarnya. Artinya, praktek jual beli ijazah yang menawarkan kemudahan mendapatkan gelar sarjana menjadi tren di kalangan tertentu untuk berbagai macam maksud. Semua ini tidak akan terjadi bila rakyat negeri ini berada dalam taraf yang cukup untuk dapat membiayai semua keperluan hidupnya. Bukan hanya kebutuhan pokok tetapi juga kebutuhan untuk memperoleh pendidikan, kebutuhan untuk bisa hidup sehat serta mendapatkan perawatan sesuai porsi bila sakit dan lain sebagainya.

Lalu apa yang sebaiknya dilakukan pak wan ?
Saya memiliki beberapa uraian yang bisa pak wan pertimbangkan untuk bisa direnungkan sekaligus dipertimbangkan saat pak wan telah resmi duduk di gedung dewan. Minimal pak wan dapat menggunakannya untuk menekan para eksekutif kita agar dapat bekerja lebih baik lagi.

Berikut akan saya bahas 4 permasalahan utama tersebut satu demi satu :

1.Pangan
Beberapa waktu lalu saya melakukan perjalanan dengan naik kereta api dari Malang menuju Jakarta. Pada saat kereta melintas di daerah Jawa Barat, tidak tahu tepatnya dimana saya tercengang mendapati di sebelah kanan dan kiri rel kereta api terhampar tanaman padi sedemikian luasnya. Keadaan ini berlangsung selama lebih dari sejam. Jika kecepatan kereta api tersebut berkisar antara 60-70 km/jam dapat saya pastikan hamparan padi tersebut adalah ribuan hektar ! Ini luar biasa.

Hanya saja, satu pertanyaan yang kemudian menggelitik angan saya adalah : kemana larinya beras hasil panen dari hamparan sawah seluas itu ? Mengapa pada setiap tahun kita masih jumpai berita kelaparan yang melanda, berita gizi buruk, bahkan berita kriminal yang dipicu oleh desakan ekonomi, desakan kebutuhan perut. Jelas-jelas bertolak belakang dengan realita luasnya hamparan sawah yang menghasilkan jutaan ton padi tersebut.

Menjadi penting untuk melakukan tata niaga beras agar berita kelaparan yang selama ini sering mempermalukan bangsa ini dapat terhapus. Saya menengarai ini adalah ulah para pedagang yang sengaja mempermainkan arus distribusi beras dari hulu ke hilir. Bahkan dalam beberapa media sempat saya dapati bahwa pengijon yang selama ini menghantui para petani dibekingi oleh para pemodal super besar yang tahu bahwa beras memiliki potensi besar untuk dapat dipermainkan. Sebab mayoritas rakyat negeri ini mengonsumsi beras sebagai makanan utama.

Saya mengusulkan agar pak wan mendorong pemerintah untuk melakukan pengawasan distribusi dari hulu ke hilir kepada setiap bahan kebutuhan primer yang menjadi kebutuhan utama rakyat negeri ini (sembako). Dengan demikian berita-berita bahwa rakyat kelaparan akibat sembako mahal, minyak langka dan sejenisnya menjadi cerita masa lalu. Intinya, bikin rakyat kenyang agar tidak merecoki urusan yang bukan menjadi urusannya.

2.Lapangan Kerja
Dari tahun ke tahun piramida penduduk kita menunjukkan semakin tebalnya bagian usia produktif, sayangnya kondisi ini tidak dibarengi dengan ketersediaan lapangan kerja riil yang dapat menyerap tenaga mereka sehingga dapat mandiri secara finansial. Tentu ini semakin menambah beratnya beban keluarga sebagai entitas sosial terkecil dalam struktur masyarakat kita.

Kenyataan semakin meningkatnya angka pengangguran baik yang skilled maupun unskilled serta banyaknya tenaga kerja Indonesia (TKI) yang hanya berprofesi sebagai pembantu rumah tangga (PRT) jelas merefleksikan bahwa negeri ini salah urus, terjadi mismanajemen dalam pengelolaan negara. Dengan segala potensi kekayaan yang dimiliki sekaligus dibanggakan oleh negeri ini tidak semestinya rakyat bukan menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Sejauh ini rakyat seolah tamu yang tidak merdeka dan menunggu tuan rumah untuk dipersilahkan meskipun hanya untuk sekedar bisa duduk di kursi tamu tuan rumah. Ini benar-benar mengenaskan !

Pak wan harus memaksa pemerintah untuk membuka lapangan kerja serta memberikan kesempatan kepada anak negeri untuk bekerja, bekerja, dan bekerja. Apapun caranya ! Negara ini memiliki areal persawahan yang sangat luas dan tentu memerlukan jutaan tenaga untuk menggarapnya. Negara ini memiliki lautan yang sangat-sangat luas yang menunggu untuk dipanen ikannya. Negara ini memiliki wilayah udara yang demikian luas dan berpotensi mendatangkan trilyunan rupiah atas pengelolaannnya. Negara ini memiliki hutan yang sangat luas bahkan diyakini sebagai paru-paru dunia. Negara ini memiliki kekayaan tambang yang hampir tiada tertandingi mulai dari minyak mentah, timah, bijih besi, tembaga bahkan emas !

Pak wan harus mendesak agar pemerintah mengeluarkan regulasi yang memungkinkan rakyat negeri ini dapat menduduki setiap level jabatan di beberapa perusahaan asing yang melakukan eksplorasi atas kekayaan alam Indonesia, sehingga dapat terjadi transfer knowledge. Pada gilirannya, entah itu 10 atau 50 tahun ke depan semua level dapat ditempati oleh tenaga kerja full dari bangsa kita sendiri. Bukan seperti kenyataan selama ini yang hampir selalu menempatkan rakyat negeri ini sebagai tenaga kita pada level rendah bahkan terendah.

Ini harus direvolusi. Pak wan harus berani mengambil langkah strategis, yang berpihak kepada rakyat. Dorong, yakinkan dan paksa penyelenggara negara ini bahwa cepat atau lambat negeri ini harus mandiri dan tidak bergantung kepada orang asing seperti yang saat ini terjadi. Kita harus berani dan bisa mengambil langkah tegas dalam memutus mata rantai ketergantungan itu. Meski awalnya berat namun jika dilalui bersama maka akan terasa lebih ringan. Daripada secara politik kita merdeka namun secara ekonomi kita terjajah. Penderitaannya akan terasa lebih lama.

3.Hukum
Saya buta masalah hukum, hanya tahu kulit luarnya saja. Namun dari media serta dari beberapa teman yang menggeluti bidang hukum saya jadi terpaksa mengerti. Minimal saya tahu bahwa hukum di negeri ini tidak memiliki kewibawaan seperti yang diharapkan banyak pihak.

Saya tidak tahu siapa yang lemah, hukum atau pelaku hukum. Yang saya tahu sebuah negara bisa berdiri tegak bila hukum dijunjung tinggi, ditaati serta dipatuhi oleh semua komponen bangsa. Hukum tidak pandang bulu apakah itu pejabat, polisi, petani, buruh dan lain sebagainya. Di mata hukum strata mereka adalah sama. Itu adalah idealnya, namun kenyataannya?

Kita sering jumpai ulah diskriminatif yang ditunjukkan oleh oknum saat menangani berbagai kasus hukum yang biasanya melibatkan rakyat yang berasal dari berbagai macam kelas sosial. Yang berduit mendapat pelayanan nomer satu sementara rakyat jelata disia-sia. Koruptor dapat tidur nyenyak makan enak sementara maling ayam harus mendekam dengan tubuh lebam. Ini tidak adil, semestinya koruptor mendapat hukuman lebih berat dari maling ayam, baik secara fisik maupun moril, bukan sebaliknya.

Kepastian hukum menjadi pertanyaan yang paling sering mengemuka dalam setiap sesi diskusi maupun praktek sehari-hari. Secara teori materi hukumnya baik, telah disusun dengan mempertimbangkan berbagai macam aspek kehidupan, namun sayang tidak didukung oleh personil yang mumpuni dalam mempertahankan jejak langkahnya pada koridor hukum tersebut. Keinginan-keinginan untuk sedikit serong bahkan sengaja zig-zag dalam mempraktekkan hukum menjadikan negeri ini menjadi salah satu negara yang tidak terpercaya saat melakukan kontak dengan negara lain, utamanya untuk urusan perdagangan serta kerjasama yang lain.

Kebiasaan menolerir kesalahan kecil dalam pelanggaran hukum telah menjadikan kesalahan tersebut sebagai yurisprudensi yang semakin lama semakin membesar. Sehingga seakan-akan kita menjadi masyarakat yang permisif dengan berbagai macam tindakan yang dalam ukuran internasional adalah melawan hukum. Sebut saja perilaku pembajakan software yang mencederai hak cipta dan hak atas kekayaan intelektual, kemudian pembajakan film dan lagu, berikutnya pembajakan buku serta perilaku melanggar hukum lainnya yang telah demikian jamak terjadi di negeri ini.

Berbagai persoalan hukum tersebut harus segera dituntaskan. Bahkan harus masuk dalam agenda prioritas kerja pak wan dan kawan-kaan yang memiliki kewenangan serta kemampuan penuh untuk mendorong persoalan tersebut ke arah yang lebih baik. Sebab jika tidak segera dibenahi kita akan semakin terpuruk ke dalam lembah kehancuran akibat tidak adanya standart kepastian hukum.

4.Kebudayaan
Budaya memiliki cakupan yang sangat luas serta merasuk dalam setiap sisi kehidupan masyarakat. Beberapa buku yang pernah saya pinjam dari teman mengungkapkan bahwa culture adalah construct, artinya budaya terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan yang jamak dilakukan oleh masyarakat. Kebiasaan tersebut mendorong terciptanya perilaku yang khas dalam sebuah tatanan masyarakat.

Pak wan bisa cermati bagaimana budaya kita saat ini telah tergerus oleh budaya asing yang menuju pada dekonstruksi moral. Bahwa arus informasi akibat proses interaksi internasional yang belakangan demikian deras mengalir masuk ke negeri ini adalah kenyataan yang tidak bisa dihindarkan. Artinya sebagai negara yang terbuka kita memiliki potensi untuk terpengaruh oleh budaya asing yang boleh jadi tidak sesuai dengan yang kita anut selama ini.

Sebut saja tayangan televisi, media cetak, internet, produk ponsel dengan segala bentuk fiturnya, makanan serta produk konsumsi lainnya bahkan sampai pada sistem pendidikan. Hampir tidak ada celah yang lolos dari pengaruh asing dengan segala konsekuensinya. Bahwa semua itu adalah bagian dari perkembangan jaman saya setuju, namun mari kita secara cermat dan cerdas berhitung, antara benefit yang kita dapatkan dengan kerusakan jangka panjang yang berpotensi terjadi mana yang lebih dominan.

Sejujurnya tanpa harus kita bahas secara detail kita akan sadar bahwa perilaku masyarakat kita telah bergeser ke arah pola hidup barat yang seringkali menimbulkan problem sosial baru di lingkungan kita sendiri. Secara tidak sadar kita telah terbentuk menjadi bangsa yang demikian tergantung dengan produk asing. Sebut saja tayangan televisi, suatu ketika kita akan sedemikian kehilangan saat program yang biasanya tayang kemudian tidak tayang. Sebut saja tayangan sepak bola internasional. Beberapa waktu lalu masyarakat penikmat tontonan sepak bola internasional melakukan demo akibat hilangnya tayangan favorit mereka dari layar kaca karena hak tayangnya dibeli oleh televisi berbayar.

Sepenting apa sih tayangan sepak bola bagi kemajuan bangsa ini, kok sampai melakukan unjuk rasa ? kalau boleh berhitung secara sederhana durasi pertandingan adalah 2 X 45 menit ditambah dengan istirahat dan ulasan dari para komentator maka seorang pemirsa harus duduk manis berkonsentrasi menyaksikan sebuah pertandingan tersebut selama lebih dari 2 jam.

Lalu benefit apa yang bisa didapat dari pertandingan tersebut ? Paling banter hanyalah kepuasan mata dan refresh-nya otak. Coba kita lebih wise dalam memanfaatkan waktu, 2 jam bisa demikian produktif untuk melakukan hal-hal lain yang bermanfaat, misalnya saja membaca buku atau bahkan untuk mengerjakan sebuah pekerjaan yang efektif secara finansial. Tentu ini lebih bermanfaat.

Tetapi masyarakat kita telah terbuai dengan segala macam tayangan tersebut. Kita secara perlahan namun pasti telah menjadi obyek penderita atas berkuasanya kapitalisme yang terbungkus rapi dalam tayangan yang meninabobokan tersebut. Pelan tapi pasti kita didorong untuk menjadi bangsa yang pemalas, yang hanya bisa duduk manis menyaksikan tayangan televisi, menyaksikan gol-gol indah kreasi pemain sepak bola dunia, dibuai mimpi-mimpi kekayaan milyaran rupiah dan rumah mewah yang ditawarkan oleh alur cerita sinetron, diarahkan untuk mengekor cara berpakaian para selebritis yang secara moral sungguh tidak sesuai dengan budaya asli kita.

Pak wan, saya cuma mau bilang, paksa eksekutif negeri ini untuk menertibkan semua perkara tersebut. Jangan justru larut dalam arus yang menyeret kita tersesat jauh. Saya sering memperhatikan eksekutif kita justru berpihak kepada rupiah yang akan mengalir ke kantong mereka dan bukan untuk kepentingan rakyat secara nasional dan jangka panjang. Sadarkan mereka bahwa mereka adalah ujung tombak pengarah “anak panah masa depan bangsa” yang melesat liar dan dan melaju kencang di tengah jutaan badai serta kelamnya awan percaturan dunia internasional. Pastikan jati diri budaya bangsa tidak rusak terkoyak oleh kencangnya budaya asing yang tidak sesuai dengan yang diamanahkan oleh para pendiri bangsa ini.

4 persoalan tersebut di atas akan bisa teratasi jika secara ekonomi rakyat kita sejahtera. Artinya, ketika rakyat cukup makan serta dapat memenuhi kebutuhan yang lainnya maka hal ini akan mendorong rakyat untuk bertindak secara bijak, baik saat berhadapan dengan persoalan pendidikan, layanan kesehatan serta persoalan lain yang selama ini terasa demikian berat.

Rakyat akan dapat hidup tenang jika perut mereka telah terisi dan ada cukup cadangan pangan untuk hari esok. Persoalan inilah yang saya rasa harus diatasi terlebih dahulu, baru persoalan lain akan terurai satu demi satu. Sebab persoalan mahalnya pendidikan, diskriminasi layanan kesehatan untuk keluarga miskin, menggelembungnya pengangguran serta perilaku korupsi sejatinya bermuara pada satu hal, yaitu harus terpenuhinya kebutuhan hidup.

Pak wan,
Secara panjang lebar saya telah menyampaikan keluh kesah saya, pandangan-pandangan saya, semoga uraian saya tersebut dapat menginspirasi pak wan untuk munculnya ide-ide konstruktif lain demi keberpihakan penyelenggaraan negara kepada rakyat. Semoga dalam masa kerja pak wan nanti keberuntungan selalu berpihak sehingga dipercaya rakyat untuk masa kerja berikutnya. Terakhir, tidak lupa saya ucapkan terima kasih telah bersedia mendengarkan kalimat demi kalimat yang mengalir dari jari saya.

Salam damai dari saya,
Dul Kamid

Mereduksi Kesenjangan

Beras dan gula mahal, minyak langka, biaya pendidikan tidak terjangkau hingga tengara diskriminasi dalam pelayanan kesehatan kepada keluarga miskin (gakin) menjadi konsumsi kita sehari-hari dalam tayangan media cetak maupun elektronik. Belum lagi permasalahan korupsi, pungli hingga gratifikasi yang mengakrabi ranah birokrasi negeri ini. Isu-isu tersebut juga kencang dihembuskan oleh bebepara LSM yang concern terhadap berbagai masalah sosial bangsa.

Permasalahan yang datang dan melanda secara bertubi-tubi ini menantang kita untuk menyelesaikannya secara komprehensif. Kita dapati berbagai macam upaya telah dilakukan, baik oleh lembaga pengambil kebijakan maupun masyarakat secara mandiri dalam kelompok-kelompok sosial yang kecil. Namun dari hari ke hari nampaknya sinar cerah belum juga nampak, matahari yang mencerahkan sekaligus menghangatkan seakan malas menampakkan dirinya secara utuh.

Berbagai kajian serta diskusi publik dilakukan dan ditindaklanjuti. Ahli-ahli dunia dimintai pendapat, bahkan sarannya dijadikan pijakan dalam proses pengambilan kebijakan publik. Namun hasil positifnya belum juga nampak berpihak kepada bangsa ini. Kondisi ini mendorong munculnya pemikir-pemikir baru yang secara simultan tidak pernah lelah memberikan perhatian penuh kepada berbagai persoalan negeri ini.

Dari sekian kajian yang pernah dilakukan serta telah mejadi semacam rekomendasi tindak lanjut, nampaknya terdapat satu persoalan yang menjadi akar dari (hampir) segala permasalahan yang melanda bangsa ini. Persoalan tersebut adalah kesenjangan sosial yang menganga lebar bahkan telah menjadi jurang pemisah yang sedemikian dalam antara si kaya dan si miskin.

Mari kita ulas secara sederhana bagaimana persoalan kesenjangan ini berbuntut panjang. Poin penting yang harus selalu kita pegang sebagai amanah dari founding fathers bangsa ini adalah sila kelima dari Pancasila yang berbunyi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.

6 kata dalam kalimat tersebut memuat arti yang sangat dalam sekaligus mulia. Pendiri bangsa ini mengidealkan satu keadaan dimana seluruh rakyat negeri yang terhampar luas di garis katulistiwa ini dapat menikmati keadilan dari seluruh potensi kekayaan yang terkandung di dalamnya. Baik di darat dengan kesuburan tanahnya, di laut dengan potensi hasil ikan dan tambang minyak lepas pantainya serta di udara dengan segala kekayaan oksigen yang bisa dinikmati gratis hingga potensi triliunan rupiah sebagai konsekuensi ekonomi hasil dari aktifitas teknologi informasi.

Setelah merdeka lebih dari 60 tahun cita-cita mulia tersebut belum juga nampak. Yang terjadi justru sebaliknya. Sektor ekonomi dikuasai oleh beberapa gelintir orang yang memiliki penghasilan bersih mencapai 13 digit per tahun. Di sisi lain berita kelaparan, gizi buruk serta perkara kriminal yang didasari oleh persoalan isi perut selalu menghiasi media massa kita. Ini menyadarkan kita bahwa distribusi pendapatan tidak merata dan telah membentuk grafik dengan range yang sangat lebar antara grup berpendapatan tertinggi dengan grup berpendapatan terendah.

Lebarnya range tersebut pelan tapi pasti terus melebar seiring dengan perkembangan waktu. Artinya, dari tahun ke tahun amanat pendiri bangsa untuk berkeadilan sosial menjadi terabaikan. Kita yang mati-matian mengecam paham kapitalisme ternyata juga menerapkannya, baik terang-terangan maupun semu. Bila mau jujur, siapa yang tidak tergiur dengan paham yang mengedepankan gelimang uang, uang dan uang tersebut ? Padahal dalam setiap even kita selalu menempatkan diri berseberangan dengan paham tersebut, baik secara perorangan maupun kelembagaan. Ironis memang, tetapi itulah kenyataan yang terjadi.

Kondisi ini tidak boleh dibiarkan berlarur-larut. Lebarnya range telah menciptakan kelas sosial yang sangat beragam. Meskipun secara statistik kita hanya mengenal golongan atas, menengah dan bawah namun pada kenyataannya kelas sosial dalam struktur masyarakat kita sangat beragam. Ini menyulitkan upaya memetakan profil pada setiap kelas demi identifikasi standart kelayakan hidup. Misalnya saja saat penetapan kriteria gakin yang berhak mendapatkan jatah raskin (beras untuk rakyat miskin). Keberagaman kondisi riil di tiap daerah memaksa munculnya kriteria yang didasarkan atas profil masyarakat ibu kota (Jakarta). Ini tentu menimbulkan masalah jika diterapkan di daerah lain. Dengan parameter yang sama kriteria gakin tersebut sulit untuk bisa lagi ditemukan, atau bahkan tidak mungkin lagi ditemukan.

Mempersempit range kesenjangan kelas sosial harus menjadi prioritas kerja para pengambil kebijakan negeri ini. Dan, cara yang paling sederhana adalah dengan mendorong naik grup berpendapatan terbawah, dan dalam waktu bersamaan menurunkan level pendapatan grup berpendapatan tertinggi. Upaya ini tentu dengan beragam konsekuensi, yang didorong naik tentu senang, namun grup berpendapatan teratas tentu akan melakukan perlawanan. Demi kepentingan yang lebih besar ini harus dilakukan, bukan hanya berlandaskan amanah pendiri bangsa tetapi juga atas nama kesetaraan martabat manusia Indonesia.

Mendongkrak grup berpendapatan terendah bukan perkara mudah. Selama ini sering kita jumpai keengganan untuk meninggalkan level tersebut secara masif. Artinya mereka sudah merasa bahwa di situlah comfort zone mereka. Secara psikologis mereka yang menempati level tersebut telah menjatuhkan vonis kepada diri mereka sendiri bahwa di situlah tempat mereka.

Mandiri secara finansial adalah mimpi setiap orang. Namun hanya sedikit yang mau menebus harga kemandirian tersebut. Ini yang harus secara kontinyu didesakkan kepada mereka. Adalah percuma segala macam program kemandirian secara ekonomi diluncurkan namun tidak dibarengi dengan upaya penyadaran diri bahwa sukses secara finansial itu berharga mahal. Harus ada yang dikorbankan, baik itu waktu, tenaga serta berbagai bentuk kesenangan semu yang seringkali menjerat langkah kaki mereka.

Kesadaran itu pada gilirannya akan menjadi pondasi yang kokoh untuk berbagai macam program kemandirian ekonomi yang akan melibatkan mereka di dalamnya. Tidak usah terlalu pusing memikirkan bentuk program, kita telah memiliki sebentuk badan usaha yaitu koperasi yang sedari dulu telah kita yakini mampu menjadi penopang utama sistem ekonomi bangsa ini. Jika teori berkoperasi baik berarti kita tinggal mempersiapkan pelakunya sebaik mungkin sehingga potensi penyimpangan dapat diminimalisir.

Mengapa koperasi ?
Sebab secara kelembagaan kita sudah memiliki badan publik tersebut sampai pada level pemerintahan terendah yaitu desa dengan KUD-nya. Jadi, KUD itu saja yang sebaiknya kita kelola dengan sentuhan manajemen gaya baru yang mengedepankan profesionalisme dan profit oriented. Semua aktifitas ekonomi pedesaan dipusatkan di KUD. Misalnya bidang pertanian, mulai dari penyediaan benih tanaman, alat pertanian, distribusi pupuk dan obat hama hingga distribusi hasil panen terpusat di KUD sehingga KUD bisa menjadi sentra aktifitas ekonomi yang benar-benar menghidupkan perekonomian warga.

KUD juga dapat dipakai sebagai alat untuk terbentuknya serta terjaganya fair price setiap produk konsumsi yang masuk ke daerah tertentu, terutama dalam distribusi sembako. Artinya dengan pola kepemilikan bersama semacam KUD menjadikan KUD sebagai sebuah lembaga ekonomi yang tidak melulu memikirkan profit namun juga sebagai pengendali harga produk konsumsi yang selama ini sering berfluktuasi bahkan tidak jarang volatil.

Demikian juga dengan program-program lain yang biasanya diluncurkan oleh pemerintah, pusatkan saja semuanya di KUD. Ini menjadikan KUD berdaya secara ekonomi, memiliki nilai tawar yang cukup kuat saat berhadapan dengan partner bisnisnya sehingga mendorong terbentuknya SHU yang akan kembali lagi kepada para anggotanya.

Terdengar seperti mimpi memang, sebab selama ini kita telah dapati berbagai macam bentuk penyelewengan yang dilakukan oleh oknum pengelola KUD. Namun tidak ada salahnya jika upaya perbaikan ini dilakukan secara nasional dengan melibatkan seluruh komponen warga. Jika dilakukan bersama-sama, tentu upaya mengentas grup berpendapatan terendah ini akan menjadi lebih ringan.

Lalu bagaimana cara mengerem pendapatan masyarakat pada level tertinggi ? Kunci utamanya adalah penanaman jiwa nasionalisme dalam diri setiap warga negara. Sadarkan mereka bahwa kita hidup secara kolektif di sebuah negara yang berseberangan dengan paham kapitalisme. Kaya tidak dilarang, namun harus memiliki sense of humanity yang kuat kepada kelas sosial yang berada pada level di bawahnya.

Para konglomerat yang menempati kelas sosial level tertinggi berjumlah paling kecil, namun memiliki pengaruh paling besar dalam penentuan arah kebijakan negara baik secara ekonomi maupun politik. Bahkan ada potensi untuk menguasai aset-aset strategis bangsa yang semestinya digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Ujung-ujungnya bermuara pada syahwat berkuasa yang dibalut dengan berbgai macam aktifitas ekonomi. Ini membahayakan, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Langkah paling mujarab untuk mengerem laju kuasa kapital tersebut adalah dengan diterbitkannya regulasi (undang-undang) yang membatasi kepemilikan aset baik secara perorangn maupun kelembagaan. Terasa aneh memang, apalagi di tengah arus globalisasi yang mendorong siapapun untuk berkuasa secara kapital. Namun ini penting untuk kepentingan nasional. Coba kita lihat keadaan para konglomerat kita saat ini. Siapa saja mereka, siapa di belakang mereka, apa saja bisnisnya serta bagaimana kepedulian sosial mereka ?

Satu dua orang memang telah memiliki kesadaran untuk menyisihkan sebagian keuntungan usahanya untuk kepentingan sosial, baik melalui program CSR maupun program lain yang secara langsung menyentuh masyarakat kelas bawah. Namun dari istilahnya saja (menyisihkan) kita bisa tahu bahwa persentasenya masih jauh dari cukup untuk mengatasi persoalan-persoalan sosial sebagai akibat dari aktifitas bisnis yang mereka lakukan. Ini harus direvolusi, wakil rakyat harus mampu mendorong pemerintah sebagai pengambil kebijakan untuk melakukan penataan ulang terhadap level teratas ini.

Harus diambil langkah berani berupa pembatasan kekayaan para pemilik perusahaan berupa penyertaan buruh dalam kepemilikan saham tempat mereka bekerja. Secara teknis, selain upah yang diterima, buruh juga berhak menerima share (saham) dari perusahaan tempatnya bekerja. Pertimbangan yang dilakukan bisa berupa masa kerja buruh atau prestasi kerja buruh. Atau dari sisi perusahaan bisa ditentukan batas atas kepemilikan aset, baik yang likuid maupun yang fixed. Sehingga saat perusahaan telah mencapai titik yang telah ditentukan tersebut mereka wajib membagikan kepemilikian sahamnya kepada para buruh. Dengan demikian semakin besar sebuah perusahaan maka pemilik beserta buruh dapat maju secara bersamaan secara finansial.

Hubungan mutual tersebut akan berlangsung harmonis selagi perusahaan menjalankan menejemennya secara terbuka dan sehat. Artinya ada kerjasama yang saling menguntungkan, satu sisi pemilik perusahaan dibantu buruh dalam menghasilkan keuntungan melalui proses produksi beserta segala aktifitas yang dijalankannya. Di sisi pemilik perusahaan (konglomerat) berperan aktif dalam mendongkrak posisi kelas sosial para buruh yang tergabung dalam perusahaannya. Sehingga secara sinergi keadaan ini akan mempersempit range kelas sosial antara level atas dan level bawah.

Bukan seperti kondisi saat ini dimana posisi buruh hampir selalu dikalahkan oleh para pemilik perusahaan. Buruh memiliki nilai tawar yang lemah di hadapan perusahaan. Sehingga hubungan yang terbangun selalu menegangkan dan berprinsip “law and punishment”. Tentu saja hubungan yang tidak harmonis ini menyulitkan terwujudnya tatanan masyarakat madani seperti yang diimpikan oleh pendiri bangsa ini serta dicita-citakan oleh semua komponen bangsa.

Harus diakui bukan pekerjaan mudah menuntaskan 2 poin di atas. Namun, niat baik yang terus didengungkan sekaligus dibarengi dengan usaha keras yang pantang menyerah layak untuk dilakukan. Kita harus memelihara mimpi indah sejajarnya bangsa ini dengan bangsa lain yang telah lebih dulu meraih kemakmuran demi terjaganya semangat kerja keras kita.

Resep sederhana yang berbunyi : dimulai dari yang kecil, dari diri kita sendiri dan dari saat ini nampaknya harus dilakukan untuk mendorong terwujudnya mimpi manis berupa kemakmuran bangsa ini.

Langkah pertama dengan mempersempit kesenjangan sosial yang saat ini menganga sangat-sangat lebar antara level atas dan bawah. Jika range tersebut telah sukses kita persempit maka langkah selanjutnya akan mengalir dengan lebih mudah. Sebut saja masalah mahalnya pendidikan, atau diskriminasi layanan kesehatan kepada gakin. Dua persoalan tersebut bahkan akan dapat dihindarkan bila level terbawah dalam kelas sosial kita berhasil naik dan level teratas “mau” turun atau minimal tetap diam di tempat. Artinya ada perbaikan pendapatan pada level terbawah, sementara pada level teratas rela berbagi demi terciptanya tatanan ideal masyarakat yang mandiri secara finansial..

Wakil rakyat harus menjalankan fungsinya berdasarkan amanah daulat rakyat. Pemerintah sebagai lembaga eksekutif harus berani melakukan setiap program yang diamanahkan undang-undang secara strict dan disiplin. Penegak hukum sebagai ujung tombak ketertiban berbangsa dan bernegara harus berjalan lurus melaksanakan amanah hukum tanpa kompromi. Rakyat sebagai komponen paling bawah harus berperan sebagai rakyat, aktif melakukan pengawasan pelaksanaan setiap kebijakan yang dirilis pemerintah. Bukan berlaku apatis dan masa bodoh terhadap permasalahan bangsa.

Inilah tatanan yang selalu diidealkan, rakyat berdaulat atas negeri ini secara utuh.

Santri Kul Hu

Namanya Kasemo Arjowinangun, biasa dipanggil kang Semo, usia 45 tahun. Pekerjaan sehari-harinya adalah mencari rumput untuk kambing kepunyaan Pak RT yang dititipkan kepadanya dengan sistem bagi hasil. Istilah di desa kami disebut “maro”, artinya Pak RT nitip kambing kepada kang Semo. Kang Semo bertanggung jawab terhadap terjaminnya asupan makanan kepada kambing tersebut. Nah, begitu si kambing melahirkan anak kambing, jika 2 maka Pak RT dan Kang Semo berbagi anak kambing tersebut masing-masing 1, dan jika hanya melahirkan 1 anak kambing maka akan dinilai dengan uang lalu dibagi 2 sama besar. Biasanya Pak RT yang akan melakukan penaksiran lalu memberikan separo dari nilai anak kambing tersebut kepada Kang Semo.

Sudah 3 tahun terakhir ini Kang Semo menjadi santri di surau tua milik Ustad Jamal, putra tunggal almarhum Kyai Hafid, seorang sesepuh desa kami . Kang Semo yang tidak lulus SD sekarang harus belajar mengeja huruf Arab yang menurutnya jauh lebih sulit dari mengeja huruf latin. Selepas maghrib hingga menjelang sholat isya’ Kang Semo rajin mengantri giliran mengeja huruf demi huruf Arab dalam juz ‘amma kepunyaan anak semata wayangnya, Darminto, yang masih duduk di kelas 2 SD.

Tanpa kenal lelah Kang Semo mengeja huruf demi huruf hingga tanpa terasa telah 3 tahun Kang Semo menjadi santri ustad Jamal. Ada 1 surat pendek yang menjadi idola Kang Semo, setiap hari selalu saja dia baca, dia eja bahkan dengan susah payah selalu dia hafalkan. Meskipun telah demikian susah payah berusaha menghafalkan namun karena keterbatasan kemampuan serta jenis lidah yang telah di Kun oleh pembuatnya untuk sulit mengucapkan kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, jadinya hanya dua kata yang selalu meluncur dari mulut Kang Semo, yaitu Kul Hu, tidak lebih.

Meski telah 3 tahun mencoba dengan keras namun hanya itu yang mampu dia lafalkan, selebihnya hanya menjadi bahan tertawaan teman-teman sejawat lain yang rata-rata seusia anaknya. Tapi Kang Semo tidak putus asa, meski menjadi bahan tertawaan dia selalu datang tepat waktu. Diawali dengan sholat maghrib lalu sholat sunah ba’diyatal maghrib, mengaji Kul Hu lalu diakhiri dengan sholat isya’ berjamaah selalu kang Semo jalani dengan istikomah, setiap hari tanpa pernah berhenti.

Sampai pada suatu ketika, setelah merasa ada yang salah dengan lidahnya hingga tidak mampu melafalkan kalimat Arab lain selain Kul Hu, Kang Semo mengungkapkan kegalauan hatinya kepada ustad Jamal selepas sholat isya’ berjamaah yang dipimpin ustad muda tersebut.
“Pak Ustad, saya merasa putus asa belajar ngaji“ kata Kang Semo lemah
“Kenapa Kang ?” Tanya ustad Jamal sabar
“Sudah 3 tahun saya mengaji ke ustad Jamal dan saya hanya bisa mengucapkan 2 kata saja, yaitu Kul Hu, padahal saya ingin bisa seperti ustad yang nyerocos berbahasa Arab. Setiap saat saya selalu berusaha untuk mengucapkan kalimat Arab, namun selalu saja gagal, saya jadi marah pada diri saya sendiri. Apa ustad tidak malu memiliki murid seperti saya, saya sudah nyerah pak ustad” keluh Kang Semo lesu.
Sebelum menjawab keluh kesah Kang Semo, ustad Jamal membetulkan letak duduknya agar lebih nyaman,
“Kang, Allah itu tidak seperti yang Kang Semo duga, Allah itu jauh di luar dari perkiraan dan sangkaan kita. Orang boleh tertawa mendengar Kang Semo cuma bisa bilang Kul Hu selama 3 tahun ini. Kang Semo boleh merasa putus asa tapi hikmahnya Kang, hikmahnya demikian besar. Kita tidak pernah tahu apa yang Allah mau, kenapa kita begini dan kenapa kita begitu. Kang Semo harus bersyukur, sebab tidak semua orang diberikan kesempatan untuk belajar sekeras Kang Semo. Meskipun nampaknya secara hasil mengecewakan, namun ada perubahan besar dalam cara hidup Kang Semo dan keluarga selama 3 tahun ini. Coba bandingkan dengan dulu saat Kang Semo belum mau datang ke surau ini, apa yang kang Semo lakukan saat maghrib ? Apa yang Kang Semo lakukan saat malam hari datang ? Bukankah dulu Kang Semo biasa nongkrong di warung Yu Jiyat dari maghrib sampai tengah malam ? Bukankah dulu Kang Semo biasa mmbelanjakan uang Kang Semo untuk beli segelas kopi, kue bahkan sepiring nasi di warung Yu Jiyat ? Padahal di rumah sudah dimasakkan oleh Yu Gimah. Sekarang, Kang Semo bisa rasakan bedanya kan ? Tidak pernah lagi nongkrong di warung, tidak pernah absen sholat berjamaah tiap maghrib dan isya’. Kehidupan rumah tangga yang semakin tertata, bisa membelikan sepeda onthel untuk Darminto meskipun bekas. Bahkan kabarnya Kang Semo sudah memiliki 6 ekor kambing dari bagi hasil dengan Pak RT. Bukankah itu sebuah pencapaian yang sulit diraih jika Kang Semo tidak datang ke surau ini meski hanya 1-2 jam ? Allah bekerja dengan caranya sendiri Kang, Kang Semo dipaksa secara tidak terasa oleh Allah untuk merubah pola hidup Kang Semo. Dan kalau Kang Semo sadar, maka jutaan kalimah syukur akan selalu Kang Semo kumandangkan atas segala nikmat yang telah Allah limpahkan kepada Kang Semo selama ini. Bersyukur Kang, Bersyukur itu kunci utama terjaganya rizki yang barokah dari Allah” jawab ustad Jamal panjang lebar.
Tanpa sadar Kang Semo menitikkan air mata, terharu atas uraian ustad Jamal yang demikian menyentuh kalbunya. Tidak ada yang bisa Kang Semo lakukan kecuali mengangguk sambil mengusap air matanya, meraih tangan ustad Jamal lalu diciumnya berkali-kali dengan takzim, lalu mohon diri dengan berjalan mundur tanda hormat.

Sepanjang perjalanan pulang Kang Semo merasa bersyukur, meski hanya bisa bilang Kul Hu namun Allah telah menata kehidupannya dengan cara khas Allah, penuh misteri.

Pratama, 7 Pebruari 2009
19:25 WIB

Kamid Jadi Imam

Banyak orang ketakutan menjadi islam, kuatir dengan segala kesulitan yang menghadang di depannya. Dari segala potensi hambatan yang mungkin menghadang adalah keharusan melafalkan bahasa Arab dalam berbagai kesempatan. Terutama untuk ibadah wajib berupa sholat yang semua bacaanya berbahasa Arab.

Kendala ini juga dirasakan Kamid yang baru mulai belajar solat saat usianya mendekati 40 tahun. Dengan susah payah Kamid berusaha melafalkan semua bacaan dalam solat yang dibacakan oleh ustad Japar, guru ngajinya.

Sehari, seminggu hingga sebulan Kamid belajar melafalkan bacaan wajib dalam solat dengan kalimat yang terbata-bata. Untungnya ustad Japar termasuk orang yang sabar sehingga Kamid merasa mendapatkan dukungan yang penuh dari guru ngajinya yang bijak tersebut.

Maghrib, Isya’ dan Subuh menjadi waktu solat yang tidak pernah dilewatkan oleh Kamid tanpa solat berjamaah. Sehingga di kampung kami Kamid menjadi terkenal sebagai orang yang ngalim, sebuah ukuran naif yang seringkali dialamtkan oleh warga kampung kami kepada setiap orang yang rajin pergi ke masjid. Tidak peduli meskipun mereka hanya tidur di teras masjid.

Setelah sekian lama belajar solat kepada ustad Japar Kamid gundah. Satu sisi hatinya ada yang tidak terima dengan aktifitas solat berjamaah. Persoalannya adalah dia selalu menjadi makmum, tidak pernah menjadi imam yang memimpin solat berjamaah. Sehingga praktis dia tidak bisa mempraktekan semua ajaran ustad Japar dengan total. Padahal dia ingin menunjukkan kepada semua orang di dalam masjid bahwa dia telah katam belajar solat komplit dengan semua bacaan solat berbahasa Arab yang sering membuatnya keseleo lidah itu.

Namun apa daya. Ustad Japar tidak pernah absen memimpin solat berjamaah. Bahkan tidak pernah sakit selama Kamid bermakmum di masjid tersebut. Sehingga harapan Kamid untuk menjadi imam solat berjamaah agar orang tahu dia sudah mahir solat harus dia pendam dalam-dalam.

Pada perkembangan selanjutnya, warga kampung mulai mengenal Kamid sebagai cantrik ustad Japar yang paling setia. Kemanapun ustad Japar bepergian selalu ada Kamid di sisinya. Sampai-sampai orang sekampung menyebut keberadaan mereka berdua seperti sepatu dengan kakinya. Tentu saja ustad Japar sebagai kaki dan Kamid sepatunya.

Warga kampung tidak ada yang tahu tujuan Kamid sebenarnya yang diam-diam menginginkan posisi ustad Japar sebagai imam solat berjamaah. Bagi Kamid posisi itu dapat meningkatkan derajatnya sekaligus keluarganya yang selama ini meringkuk lesu pada level terbawah strata sosial bentukan orang BPS, keluarga pra sejahtera, gampangnya miskin gitu lah.

Kamid dengan sabar mengikuti kemanapun ustad Japar pergi, tak peduli kemanapun dia harus ikut. Kamid memiliki keyakinan bahwa mengikuti kemanapun ustad Japar pergi adalaah sebuah keharusan baginya untuk mengenal sekaligus menciptakan jejaring dengan baik di lingkungan para ustad di berbagai wilayah. Ini penting untuk men-introduce jejaring tersebut bahwa Kamid-lah yang nantinya akan menggantikan posisi ustad Japar sebagai imam solat berjamaah di masjid jika ustad Japar berhalangan tetap.

Setelah menunggu sekian waktu, hari bahagia itu akhirnya datang juga. Ustad Japar sakit radang tenggorokan komplikasi dengan bisul yang menimpa tepat di lulut kanan beliau. Sehingga untuk bisa solat secara normal seperti lazimnya mustahil dilakukan, apalagi untuk menjadi imam solat berjamaah di masjid. Di sinilah kesabaran Kamid menuai hasil. Pendek kata Kamid diminta ustad Japar untuk menggantikan posisinya sebagai imam solat berjamaah di masjid.

Awalnya untuk sekedar berbasa-basi Kamid menolak dengan alasan masih banyak jamaah lain yang lebih fasih. Padahal itulah yang dia tunggu-tunggu sejak lama. Namun ustad Japar meyakinkan Kamid bahwa dirinya telah layak menjadi imam solat berjamaah. Dengan harti girang dan perasaan yang meluap-luap Kamid menerima perintah tersebut.

Menjelang kesempatan pertama menjadi imam Kamid tidak bisa tidur semalaman. Dia sibuk menyusun rencana baju apa yang akan dia kenakan untuk meng-imami solat subuh besok pagi. Sarung warna hijau kombinasi garis-garis putih pemberian pak camat dia setrika sampai licin, padahal masih tersimpan rapi di dalam lemari pakaiannya. Terompah kesayangannya dicuci hingga bersih, tasbih baru dari kayu setigi sengaja dia beli di toko makmur di sudut perempatan yang menjual barang kebutuhan ibadah. Tidak lupa Kamid juga membeli minyak wangi untuk menciptakan suasana sakral di sekitar mimbar peng-imaman. Aroma melati Iraq sengaja dia pilih.

Selama ini ustad Japar mengenakan peci putih, Kamid merasa harus melakukan revolusi penampilan tutup kepala, akhirnya dia memutuskan untuk mengenakan sorban, pasti nampak lebih berwibawa. Seperti gambar kusam para wali songo yang terpampang miring di dinding rumahnya. Kamid sibuk mencari sorban putih-hijau pemberian Kaji Somad sepulang dari tanah suci 3 tahun lalu. Lama dia cari-cari di seluruh sudut rumah, dan baru ketemu di dapur. Ternyata istri Kamid telah memanfaatkan sorban tersebut untuk lap piring dan barang dapur lain yang baru dicuci. Agak bau memang, tapi tidak jadi soal bagi Kamid, yang penting penampilannya yahud besok pagi.

The show is on !
Jam dinding menunjukkan pukul 3 dinihari. Kamid segera beranjak dari tempat tidurnya dan bergegas menuju kamar mandi. Tidak lebih dari 5 menit dia menyelesaikan mandi besarnya. Lalu menuju kamar lagi mengenakan satu demi satu pakaian yang telah dia persiapkan tadi malam termasuk sorban apek yang dia temukan di dapur reyot yang menempel di samping rumahnya.

Dengan rasa bangga yang memenuhi ruang hati dia mematut diri di depan cermin...duh ganteng sekali aku...bagitu pikir Kamid. Tetapi Kamid merasa ada yang kurang, apa ya. O ya hampir saja lupa, dia lalu membuka lemari pakaiannya, mengambil minyak wangi yang dia beli tadi malam lalu srat sret srot dia basahi baju kokonya tepat di 2 ketiak, depan belakang, sarung dan juga telapak tangannya. Telapak tangan sengaja dia beri lebih banyak sebab sehabis solat biasanya para jamaah solat selalu mencium tangan ustad Japar sebagai imam solat. Duh senangnya, begitu pikir Kamid berbunga-bunga membayangkan tangannya bakalan diciumi jamaah solat subuh.

Waktu solat subuh masih kurang 15 menit, Kamid memutuskan untuk berangkat ke masjid. Di sepanjang perjalanan sesekali dia menjawab salam orang-orang yang pergi menuju pasar yang berjarak 500 meter dari masjid. Tidak berapa lama kemudian Kamid sampai di halaman masjid. Kamid mulai menata sikap dengan sangat hati-hati. Ini harus menjadi hari pertama yang sukses agar di kemudian hari tidak mengalami kendala, demikian pikir Kamid.

Sampai di depan pintu masjid Kamid berhenti sejenak, mengucapkan salam dengan suara bas yang telah dia latih semalaman “Hassalamualaikuuuuummm” katanya. Tidak ada jawaban dari dalam masjid, tidak aneh karena memang dialah yang pertama datang ke masjid. Kamid lalu menggelar sajadah tepat di peng-imaman, melakukan solat tahiyatal masjid. Selepas itu lalu merogoh saku kanannya untuk mengambil tasbih barunya. Dengan suara pelan dan nada dikhusyukan Kamid mulai memutar tasbihnya melafalkan kalimah toyibah.

Dari belakang terdengar ada yang masuk ke dalam masjid. Sekitar 2 ato 3 orang, batin Kamid dalam hati tanpa menoleh ke belakang. Di saat masjid di tempat lain mengumandangkan adzan subuh Kamid berucap setengah berteriak “Ayo adzan !” Salah seorang jamaah mengambil mikrofon dan mulai mengumandangkan adzan subuh. Selepas itu beberapa orang melantunkan puji-pujian “Allahummasholli ala Muhammad ya Robbi sholli alaihi wassalim”, begitu seterusnya berulang-ulang. 5 menit kemudian Kamid menepuk punggung tangan kirinya dengan telapak tangan kannnya 2 kali sehingga terdengar bunyi “plak-plak”. Itu yang biasa dilakukan ustad Japar saat memberi kode untuk mengumandangkan Iqomah sebagai tanda bahwa solat berjamaah akan dimulai.

Kamid berdiri dengan gagah di peng-imaman, tanpa menoleh lagi dia berseru “sawwu sufufakum.....dst” sambil membetulkan baju, sarung serta sorban yang dia kenakan. Solat subuh pun dimulai, Kamid mengangkat kedua tangannya setelah sebelumnya melafalkan niat solat subuh dengan suara dikeraskan, lalu “Allaaaaaahu akzbarr..!” Dada Kamid mau meledak rasanya, akhirnya kesampaian juga aku menjadi imam solat, seru hati kamid. Doa iftitah dia baca was wes wos lalu dia pun mulai unjuk kemampuan melafalkan fatihah yang selama ini diajarkan oleh ustad Japar “Bizmillaaahirrrohmaaaanirrooohiiiiimmmm...” jeda beberapa saat lalu disambung “Alkamndulillaaahirobbil ngalamiiiin...Arrokmaaaaanirrrrokiiiiimmm...Maaaalikiayumidiiiinn...Iya kanak budu waiya kanastangiiiiin....Ihdinassirotol mustakiiiiiiimmm...Sirotolladina am amta ngalaihim...nggoiril magekdubi ngalaihim walap dooooolllllliiiiinnnnn....” Teriak Kamid lantang sambil harap-harap cemas menunggu balasan Amin dari jamaahnya. Sejurus kemudian terdengar jawaban “Aaamiiin” dari para jamaah. Ada yang aneh, batin Kamid, dia merasa jamaahnya menjawab amin pelan sekali, seperinya mereka tidak lebih dari 3 orang. Ah, masa bodoh, yang penting sekarang aku jadi imam, pikir Kamid.

Semua proses gerakan solat serta bacaanya telah selesai dilakukan, sampai pada tahiyat akhir lalu salam. Kamid menoleh kecil ke kanan lalu ke kiri. Selepas itu Kamid membaca istighfar lalu tahlil persis seperti yang dilakukan ustad Japar sehari-hari. Tibalah saat menengadahkan tangan melantunkan doa penutup. Dengan posisi badan tegak, dada sedikit membusung ke depan Kamid mengengadahkan tangan dengan ujung jari sejajar dengan alis matanya. Mulailah Kamid melafalkan doa sapujagat. Dari belakang terdengar bunyi “amin...amin“ yang sangat pelan dan jarang-jarang. Dan, sekali lagi Kamid tidak ambil pusing dengan makmum, sebab pengalaman pertama ini begitu berharga dan pasti tidak akan pernah dia lupakan seumur hidupnya. Menjadi imam man!

Selepas melafalkan doa sapujagat Kamid mengusapkan kedua tangannya ke wajah lalu berujar lantang “Bibarokatil fatihah...”. Semenit kemudian Kamid mengumandangkan puji-pujian penutup solat berjamaah yang selalu dinyanyikan ustad Japar bersama dengan semua makmum “Illahilas tulil firdausiahla....dst”. Sedetik berselang Kamid membalikkan badan mempersiapkan diri untuk bersalaman dengan para jamaahnya sambil siap-siap dicium tangannya. Pasti menyenangkan dihormati orang, pikir Kamid.

Betapa terkejutnya Kamid mendapati makmumnya memang hanya 3 orang. Lebih kaget lagi mereka yang berjajar itu paling kanan adalah Gus Ilham, pengasuh pondok pesantren Miftahul Janah. Lalu di tengah adalah ustad Qodar yang tahun lalu memenangkan lomba MTQ tingkat dunia yang diselenggarakan di Baucau, Timor leste. Dan, yang duduk paling kiri membuat wajah Kamid yang sudah pias menjadi semakin pucat seperti mayat, ustad Japar dengan senyum khasnya !


Pratama, 9 februari 2009
Jelang isya’

Ayem Sori Ku Sudah Tak Lap Yu Lagi

Huruf e pada kata ayem dibaca seperti mengucapkan e pada kata beres ato tren bukan e pada bayem atau apem. Judul di atas terinspirasi dari lagu ST 12 yang semestinya tertulis “I am sorry ku sudah tak love you lagi”. Mendengar liriknya secara utuh kita akan tersenyum simpul dengan lagu jenaka tersebut. Dan saat mendengar lagu tersebut, tepat pada kalimat itu kendaraan yang saya tumpangi pas berhenti di sebuah traffic light di satu perempatan di kota Malang. Pada saat yang bersamaan mata saya mendapati puluhan atribut parpol serta baliho yang terpampang tidak rapi, berusaha saling menutupi serta berusaha saling menonjolkan diri.

Seakan berlomba saling menunjukkan ketidakcerdasan serta mengumbar janji berisi pepesan kosong, baliho para caleg tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa mereka hanya berusaha mengikuti tren, mengikuti mode. Ikut-ikutan memasang baliho besar untuk merebut hati calon pemilih. Tidak adakah cara lain yang lebih cerdas sehingga mampu menarik hati para pemilih ?

Kalau mau jujur dari sekian ribu orang yang melintas atau berhenti di sekitar baliho tersebut, adakah yang benar-benar memperhatikan baliho tersebut ? Saya dapat pastikan tidak ada, sebab rata-rata berisi hampir sama yaitu janji manis jika mereka terpilih atau sekedar mohon doa restu, lha memangnya mau menikah ?

Berapa juta bahkan milyar uang terbuang percuma dalam upaya merebut simpati pemilih ? Sudahkah diadakah riset bahwa pemasangan baliho efektif menarik perhatian para pengguna jalan ? Kalau wajah caleg biasa saja, standart dan bahkan di bawah rata-rata dapat diastikan mereka akan kecewa telah memasang baliho sedemikian banyak.

Kecuali wajah caleg tersebut good looking, cantik, menarik hati, unik, wajah keartisan mungkin akan dilirik atau diperhatikan oleh pengguna jalan. Tapi ada juga sisi negatifnya, akibat wajah manis terpampang di baliho memaksa pengguna jalan untuk melirik bahkan menoleh berlebihan (terlalu lama), akibatnya kecelakaan lalu lintas tentu saja. Ini patut diwaspadai memeskipun belum ada penelitian khusus untuk kasus ini.

Lepas dari semua persoalan tersebut yang perlu diperhatikan adalah pertanyaan berikut “seberapa percaya rakyat akan janji seorang wakil rakyat ?”. Ini menjadi penting karena mayoritas baliho caleg selalu berisi janji-janji manis jika mereka terpilih nantinya.

Contoh kasus. Saya pernah mengidolakan seorang tokoh masyarakat yang menurut saya demikian ideal untuk bisa mewakili suara rakyat. Begitu dia mencalonkan dirinya sebagai wakil rakyat tanpa pikir panjang dengan mengucapkan “bismillahirrohmanirrohim” sayapun mencoblos nama orang tersebut dengan mantap. Saya berharap negara ini dapat dikelola dengan lebih baik dengan masuknya orang tersebut ke senayan.

Saya pun menunggu dengan sabar sepak terjang dia, sebulan dua bulan , setahun dua tahun hingga berakhir masa kerjanya saya tidak pernah jumpai sepak terjang seperti yang saya harapkan serta yang pernah da janjikan. Semuanya nol besar, semuanya omong kosong bagi saya.

Ada jutaan orang yang mungkin memiliki pengalaman seperti saya. Mereka terlanjur menggantungkan harapan kepada seorang wakil rakyat atau sebuah partai yang diyakini akan dapat membawa perubahan ke arah lebih baik. Namun pada kenyataannya, kami semua harus kecewa bahkan menderita akibat janji yang tidak ditepati tersebut.

Sebenarnya ini yang harus menjadi perhatian para caleg tersebut. Jangan hanya berlomba memasang baliho, lakukan sesuatu yang riil yang dapat secara otomatis memikat rakyat. Bagi-bagi uang ? bolehlah, tapi harus disadari bahwa itu adalah pembelajaran yang tidak baik bagi demokrasi untuk jagka panjang.

Yang diperlukan adalah stimulus yang positif, artinya caleg memberikan program kerja nyata yang mampu menghidupkan gairah hidup masyarakat daerah yang dia wakili. Misalnya, jika daerah tersebut mengalami krisis ekonomi maka dia harus lakukan segala cara agar masyarakat daerah tersebut bebas dari krisis.

Namun perlu diperhatikan juga jangan yang instant. Beri kail, umpan dan buka kolam ikannya sekaligus ajari cara mengail jangan hanya memberikan ikan apalagi ikan masak yang sudah siap santap. Agar rakyat bisa mandiri dan bukan hanya bisa menengadahkan tangan menunggu uluran tangan belas kasihan.

Nah, belajar dari pengalaman serta keadaan riil saat ini, nampaknya para caleg kita tidak bisa melihat dengan jernih permasalahan bangsa yang sesungguhnya. Mereka tidak memiliki program yang jelas. Mereka lebih mementingkan bagaimana cara memasang gambar wajahnya agar nongol dimana-mana tanpa berpikir panjang bahwa baliho tersebut memiliki masa edar yang terbatas. Artinya begitu baliho dilepas siapa yang peduli dengan wajah dalam baliho tersebut. Digulung lalu dilempar begitu saja di tumpukan baliho sejenis. Itu masih lebih beruntung. Di banyak tempat saya jumpai baliho yang sengaja dirusak oleh orang iseng. Ada caleg perempuan yang dibubuhi kumis dan cambang pada wajahnya, ada caleg ganteng yang tersenyum kecil dihitamkan beberapa giginya sehingga nampak rompal giginya, bahkan tidak jarang baliho tersebut tinggal rangkanya saja dan lain sebagainya.

Ini menunjukkan bahwa rakyat telah jemu denga janji para caleg. Telah geram dengan perilaku caleg. Telah muak dengan ulah caleg yang sejatinya telah mereka ketahui perilaku aslinya di masyarakat.

Kalau kemudian mereka, para caleg tersebut, masih saja bilang “mohon doa restu”, “mohon dukungan” bahkan nekad menulis “pilihlah saya” serta mengumbar janji-janji manis pada baliho mereka, jangan salahkan kalau kemudian rakyat akan membalas segala kelakuan mereka saat pemilu legislatif pertengahan tahun ini dengan bilang “ayem sori ku sudah tak lap yu lagi”

Pratama, 7 pebruari 2009
10:12 WIB
(kamu kok selingkuh, kangen band versi nDangdut )

Jumat, 06 Februari 2009

Tentang Khotbah Kematian

“Di dalam kubur nanti, kita sendirian, tanpa teman. Kita hanya ditemani oleh cacing tanah dan juga gelapnya liang kubur yang ukurannya hanya pas dengan badan kita masing-masing. Berbeda dengan rumah yang kita huni saat ini. Betapa mengerikan dan menakutkan tinggal di liang kubur itu”

Alinea di atas adalah penggalan khotbah Jumat yang disuarakan oleh khotib di atas mimbar siang tadi. Saya yang sudah semi ngantuk menjadi geragapan mendengar khotib membacakan petikan alinea di atas. Saya tersadar dari buaian ngantuk yang hampir saja menidurkan saya di dalam masjid yang berjarak 200-an meter dari rumah saya.

Saya heran dengan kata-kata pak khotib itu, ada yang aneh, ada yang janggal. Pertama, apa beliau pernah mati sehingga bisa menceritakan gelapnya alam kubur. Kalau memang pernah mati kemudian hidup lagi sih saya bisa menerima uraian beliau. Masalahnya beliau masih belum memiliki pengalaman yang mumpuni untuk menceritakan gelapnya alam kematian, termasuk bagaimana tubuh kita digerogoti cacing tanah dan juga belatung. Pengalaman yang mumpuni tersebut adalah pernah mati sehingga ceritanya valid dan bukan sekedar baca buku apalagi ngarang, bukan sekedar meneruskan cerita dari mulut ke mulut yang selama ini beredar luas dan seringkali menyesatkan umat yang terlanjur taklid kepada beliau.

Kejanggalan kedua, bukankah ketika di alam kubur jasad kita sudah mati. Jadi bagaimana mungkin jasad kita bisa merasakan gelapnya liang kubur tersebut. Bagaimana kita bisa merasakan sempitnya ukuran liang kubur tersebut. Dan bagaimana kita bisa tahu sekaligus merasakan bahwa kita hanya ditemani oleh cacing tanah dan juga belatung yang menghancurkan tubuh kita. Persoalannya kemudian adalah, betapa mengerikannya kalau sampai kita bisa merasakan semua yang pak khotib ceritakan tersebut.

Lalu, kejanggalan ketiga, pak khotib ini ternyata masih ahli duniawi. Buktinya beliau membandingkan sempitnya liang kubur yang hanya pas seukuran tubuh dengan rumah tempat kita tinggal. Di sini letak keanehannya, bagaimana mungkin seorang yang nampaknya sudah pasrah kepada Allah, yang hampir setiap Jumat selalu berkoar-koar tentang pentingnya hidup sederhana dan ikhlas menjalani hidup sebagai jalan menuju Allah, lalu pemikirannya masih terkungkung dengan besar-kecilnya rumah. Masih terikat dengan ukuran-ukuran duniawi yang masih menghendaki hidup nyaman secara lahiriah saja.

Bukankah kedamaian dapat dirasakan dimana saja kita tinggal dan berada. Tidak perlu rumah besar untuk bisa merasakan indahnya hidup ini. Dan sebaliknya tidak perlu tinggal di rumah yang sangat sempit untuk sekedar merasakan susahnya hidup di dunia. Susah senang, sedih bahagia tidak bergantung kepada ukuran tempat tinggal kita. Semua tergantung kepada cara pandang kita yang mendorong keikhlasan menjalani hidup sesuai dengan yang telah digariskan oleh Allah. Sederhana bukan ?

Lalu sayapun bertanya dalam hati “Kalau khotibnya kaya gitu, lalu gimana umatnya?” Saya iseng-iseng mengutak atik dan menganyam pikiran saya sendiri tentang indahnya kematian. Sebab bagi saya kematian adalah sebuah awal dari proses kehidupan selanjutnya. Kematian bukan berarti apa-apa bagi saya, kematian hanyalah satu proses kecil dimana manusia berpindah alam. Persis seperi saat kita tiba-tiba terkulai tidur lelap tanpa tahu secara tepat saat terlelap tadi itu jam berapa dan di dekat kita ada siapa, sedang hujan atau angin dan lain sebagainya. Kita langsung berpindah dari alam dunia ke alam tidur yang membuat kita kadang-kadang bermimpi dan kadang juga tidak bermimpi. Semuanya terjadi begitu saja dan tanpa melewati rumitnya proses seperti yang sering digambarkan oleh sementara kalangan selama ini.

Ya, sesederhana itu. Maka dari itu ada yang bilang bahwa tidur itu sebagai latihan untuk mati. Artinya, jika kita telah terbiasa tidur dengan benar, mulai persiapan hingga bangun tidur lagi, mati itu bukan persoalan besar. Tidak harus terkait dengan khusnul khotimah pun juga su’ul khotimah, terlalu tinggi untuk sampai pada persoalan itu. Mati ya mati saja, tidak perlu kuatir akan gelapnya alam kubur atau membayangkan jijiknya ditemani cacing tanah, Allah rohman wa arrohim.

Sudahlah manut Allah saja, pasti enak, tidak perlu kita mengarang, membayangkan, merangkai, mengolah pikir kita sehingga kematian selalu kita anggap sebagai sesuatu yang mengerikan dan sebaliknya kelahiran selalu dianggap membahagiakan. Padahal jika mau lebih total dalam merenung, tidak ada istimewanya antara kelahiran dan kematian. Semua terjadi begitu saja lewat “Kun”-nya Allah. Tidak perlu kita meminta penjelasan yang ilmiah apalagi yang tidak ilmiah menyangkut segala fenomena yang kita hadapi. Sebab dengan terlalu seringnya kita menuntut hadirnya sebuah penjelasan maka kitapun dituntut untuk bisa lebih diam, lebih tenang, lebih tidak ngember sana sini. Ini bukan pekerjaan ringan bagi sebagian orang. Sebab setiap orang memiliki kecenderungan untuk menceritakan setiap pengalaman yang dialaminya. Ini yang harus dihindari bila ingin sering diperlihatkan rahasia-rahasia Allah.

Catatan berikutnya adalah kehati-hatian dalam berkomentar, dalam menelaah lalu menyampaikan kembali kepada khalayak setiap buku yang kita baca. Pelajaran berharga saya petik dari pak khotib yang baru saja mengulas tentang kematian tadi. Pertama, saya tidak akan membahas atau membicarakan sesuatu yang saya sendiri tidak paham, sebisa mungkin saya akan menahan diri untuk tidak berkomentar. Daripada salah, daripada ditertawakan semut, cacing dan belatung. Kedua, umat perlu pemuka yang bukan saja pandai dalam bercerita, tapi pemuka yang memiliki pengalaman yang nyata, sehingga setiap kalimat yang meluncur dari mulutnya bisa benar-benar dirasakan sebagai sebuah KEBENARAN, bukan sekedar cerita untuk menakut-nakuti pun juga cerita yang membuai angan umat. Dan terakhir, jadi umat pun ternyata sulit juga ya.

Kajang, 30 Januari 2009
15:04 WIB

Ada Senandung Tembang Jawa di Palung Memori Saya

Di radio sedang berkumandang tembang-tembang Jawa. Eh…meskipun gak bisa mengikuti semua liriknya ternyata nyaman juga mendengarkan tembang-tembang tersebut. Tenang rasanya di dalam hati.

Bukan berarti anti terhadap lagu-lagu pop, top 40, reggae, hip hop yang yo yo kamu ada dimana yo…itu, pun juga musik rock, metal dan lain sebagainya. Hanya saja…at home begitu deh rasanya. Dan, terpenting, ternyata saya tidak pernah kehilangan ke-Jawaan saya meski telah sekian tahun berdesakan dengan segala macam kemodernan yang sedikit banyak memberangus budaya Jawa, salah satunya ya tembang-tembang kaya gini nih.

Benar kata orang bijak jaman dulu yang bilang bahwa dasar selalu menang melawan ajar. Analogi ekstremnya, sekali monyet tetaplah monyet. Mau diajari sedemikian kerasnya, mulai dari cara berpakaian, belajar makan nasi dengan lauk pauk lengkap seperti manusia hingga belajar membaca abjad, tetapi bila sudah bertemu dengan pisang maka dia akan berlari merebut pisang tersebut.

Ini cocok dengan keadaan saya saat mendengarkan tembang-tembang Jawa yang mengudara lewat sebuah stasiun radio saat ini. Meski di memori saya lebih banyak terisi lagu-lagu Samson, Peter Pan, Ungu, ST 12, Drive, Gigi serta penyanyi lain yang lagunya easy listening, ternyata di palung memori saya masih menginginkan tembang-tembang Jawa lebih dari yang lain.

Artinya lagi…
Sesibuk apapun, segila kerja apapun, setidak ingat apapun kita, sebenarnya selalu ada rumah tempat kita pulang, istri tempat kita berbagi, anak tempat kita mencurahkan kasih sayang. Persis seperti kata pepatah “Sehebat apapun perahu berlayar, dia tetap perlu dermaga untuk melempar sauh”. Sejauh apapun perahu berlayar, dia tetap perlu dermaga untuk melepas lelah sebelum melanjutkan pada petualangan berikutnya.

Peran dermaga menjadi penting, sebab dermaga menyediakan bukan hanya tempat beristirahat. Namun juga menyediakan beraneka macam kebutuhan yang diperlukan dalam menghadapi pelayaran berikutnya. Di dermaga, ABK dapat memenuhi segala kebutuhannya mulai dari air bersih, bahan makanan, bahan bakar, hingga kebutuhan untuk refresh sebelum bergulat lagi dengan ombak lautan yang seringkali menjemukan. Di dermaga pula segala macam bentuk kerusakan perahu dapat diperbaiki sehingga siap menghadapi tantangan gelombang di laut lepas.

Ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa kemanapun kita pergi, sejauh apapun kita melangkah, sehedonis apapun kita menjalani hidup ini, pasti ada sebuah masa dimana kita tiba-tiba menjadi sangat religius. Tiba-tiba kita merasa rindu dengan pembuat kita. Tiba-tiba kita merasa kehampaan datang menyerang dengan begitu hebatnya. Tiba-tiba semua yang kita upayakan menjadi tidak berarti. Tiba-tiba kita merasa rapuh. Tiba-tiba kita merasa apa yang kita kenakan adalah bungkus kebohongan belaka, semu belaka. Tiba-tiba kita merasa terpanggil untuk selalu menyebut dan mengakui keagungan-Nya.

Perkara macam ini bisa terjadi begitu saja. Seringkali tanpa sebab besar. Bisa jadi hanya karena kebosanan menjalani rutinitas hidup atau menemui pemantik-pemantik lain yang sungguh sangat sederhana. Misalnya saja bertemu peminta-minta, mendapati kenyataan perang antar etnis, membezuk orang sakit, takziyah tetangga yang meninggal dan lain sebagainya. Jadi tidak harus selalu mengalami persoalan besar sebelumnya untuk bisa merasakan kita ada karena-Nya.

Lalu apa yang sebaiknya dilakukan saat menghadapi masa seperti itu ? Seorang sahabat yang telah mencurahkan sebagian besar waktunya untuk menelaah permasalahan semacam ini bilang “Segeralah bertobat, segeralah mengambil air suci untuk membasuh semua luka dan kotoran yang selama ini menempel sedemikain lekat di tubuh kita, segeralah menyeimbangkan kebutuhan hidup” Dia lalu menambahkan “Beruntunglah orang yang sempat diberikan kesempatan kedua untuk kembali kepada Sang Pencipta, sebab tidak semua orang beroleh kesempatan semacam itu, tidak semua orang menjadi terpilih semacam itu, tidak semua orang diberikan kemampuan untuk bangkit dari kesalahan secara berulang-ulang, hanya orang yang terpilih, ya… hanya orang yang terpilih yang diberikan kebisaan semacam itu”

Kembali ke persoalan tembang Jawa yang ngangeni palung memori saya, saya semakin yakin bahwa tidak ada yang salah dalam setiap keputusan yang kita ambil dalam hidup ini. Yang ada hanyalah rangkaian pilihan, untuk menjadi ini dan menjadi itu, itupun atas ijin-Nya pula. Artinya, segala bentuk penyesalan serta derai air mata yang sering menimpa kita dan juga saudara kita adalah sebentuk misteri, misteri Illahi yang tidak akan pernah terpecahkan sampai kapanpun. Kita hanya bisa menafsirkan sesuai dengan kadar knowledge yang dikaruniakan kepada kita. Boleh jadi kita akan dianggap sebagai orang yang paling bodoh di dalam komunitas A, namun dalam komunitas lain kita akan diukur dengan cara yang berbeda.
Persis seperti nada-nada dalam tembang Jawa yang sedemikian dibenci oleh segolongan orang karena dianggap tidak modern dan jadul namun begitu dirindukan oleh sebagian yang lain, termasuk… saya tentunya.

Pratama, 20 Januari 2009
22:32 WIB

Seikat Bayam, Sepotong Tempe dan Seorang Madoff

Senin pagi, jam dinding menunjukkan pukul 06.05 WIB. Dari luar rumah terdengar teriakan yu Poni, mlijo (penjual sayur) yang biasa melayani kebutuhan warga perumahan kami. “Belanja bu” teriak Yu Poni lantang, antara bertanya dan berharap.

Hari Minggu kemarin, Ibu mertua yang beberapa minggu terakhir selalu berinteraksi dengan yu Poni sedang ke Jakarta. Sementara istri saya yang baru saja melahirkan anak ke tiga kami bulan lalu masih terlihat pulas setelah hampir semalaman begadang meninabobokan bayi kecilnya. Jadinya, saya sendiri yang harus berhadapan dengan yu Poni “Iya yu, tunggu sebentar” jawab saya dari dalam rumah.

Saya sempat berbincang dengan istri sejenak setelah saya bangunkan untuk memastikan mau belanja apa hari itu. Istri saya minta seikat bayam yang akan dimasak sayur bening dan sepotong tempe yang rencananya akan digoreng kering kesukaan kami sekeluarga. Perlahan saya hampiri yu Poni di teras rumah, “Bayam sama tempe yu” pinta saya.

Yu Poni melayani pesanan saya dengan cekatan. Tidak sampai 2 menit sudah terbungkus rapi dalam tas plastik warna kuning muda transparan. Setelah saya terima sayapun menanyakan berapa uang yang harus saya bayar untuk dua jenis barang tersebut “Sedoyo kaleh ewu pak” jawabnya dalam bahasa Jawa kromo yang artinya bahwa belanjaan saya seharga 2 ribu. Seribu untuk seikat bayamnya dan seribu lagi untuk tempenya. Dan ketika saya pastikan soal harga tadi ke istri saya dia malah bilang bahwa biasanya seikat bayam cuma lima ratus rupiah, hari-hari ini agak mahal karena musim hujan daunnya banyak yang rusak sehingga harganya pun naik menjadi seribu rupiah.

Saya tertegun tidak percaya, sebab memang baru kali ini saya belanja secara langsung. Pekerjaan saya paling banter mengantar istri ke pasar tanpa pernah tahu harga barang yang dibeli oleh istri. Dan kali ini saya dibuat kaget oleh harga yang harus saya bayar. Murah sekali harga sayur bayam dan tempe tadi. Dan biasanya itu sudah cukup dikonsumsi 2 kali makan untuk 3-4 orang dalam keluarga kami.

Kemudian saya teringat kepada kondisi ekonomi global yang katanya sedemikian parahnya sehingga hampir semua harga barang berlomba saling mendahului untuk naik, naik dan naik. Saya juga teringat cerita lewat milis, beberapa teman SMA yang tinggal di Jakarta menulis tentang betapa struggle-nya bertahan hidup di Jakarta hari-hari ini. Harga kebutuhan pokok melejit tak tertahan, kebutuhan hidup memaksa siapapun tidak hanya mengencangkan ikat pinggang namun mengganti ikat pinggangnya menjadi semakin besar dan kuat.

Lalu saya juga teringat dengan kisah Bernard Madoff, seorang Yahudi yang ketahuan menipu orang-orang kaya terkenal, bahkan beberapa badan amal dia tipu juga. Tidak kurang dari Steven Spielberg, Kevin Bacon serta sederet nama artis beken Hollywood banyak yang menjadi korbannya. Dan yang lebih mencengangkan adalah tertipunya beberapa institusi keagamaan di Amerika. Ajaib memang. Konon nilainya mencapai sekitar 600 triliun rupiah. Konon juga metodenya adalah metode ponzi yang di Indonesia (Jatim) sudah terkenal lebih dulu dengan kasus pomas (pohon mas) yang membuat salah seorang Pembantu Rektor Universitas Negeri Malang terpaksa lengser dari jabatannya pada saat itu.

Madoff dan pomas motifnya sama, menjanjikan sekian persen keuntungan dari uang yang diinvestasikan oleh para anggotanya. Nilainya jauh diatas aktifitas ekonomi riil tentunya, sehingga banyak yang tergiur untuk gabung. Teknisnya anggota baru memberikan keuntungan kepada anggota lama. Semakin banyak orang atau badan yang mendaftar menjadi anggota maka keuntungan yang didapat oleh anggota terdahulu akan semakin besar. Demikian seterusnya, dan tanpa disadari pada titik yang ke sekian keanggotaan menjadi jenuh sehingga Madoff tidak bisa lagi merekrut anggota (korban) baru.

Inilah awal bencana bagi semuanya. Sebab Madoff tidak pernah menginvestasikan uang para korbannya dalam bisnis riil. Madoff hanya yakin anggota akan terus bertambah dan bertambah tanpa pernah berhenti. Pada kenyataannya ? Bayangan para anggotanya untuk mendapatkan untung ribuan bahkan jutaan dollar hanya tinggal kenangan. Mereka kehilangan uang serta mendapatkan rasa malu yang luar biasa. Malu ? Ya, sebab mereka rata-rata adalah publik figur, mereka kesana kemari selalu menjadi perhatian publik. Bahkan beberapa diantaranya adalah rabbi yahudi yang dianut oleh ribuan jamaahnya, selain itu mereka juga terkenal kecerdasaannya, ya semacam pak Zainudin MZ lah kalau di Indonesia, itu pun bisa tertipu oleh Madoff.

Antara nasabah Madoff dan pomas terdapat kesamaan yang sangat alami. Yaitu sama-sama ingin untung besar tanpa keluar keringat. Sama-sama mau enaknya tanpa mau capeknya. Sama-sama rakus kepada uang. Sama-sama diliputi kekhawatiran tidak bisa hidup enak dan tenang jika tidak memiliki jaminan uang segunung dalam tabungannya. Sama-sama tertipu oleh gebyar dunia semu yang memabukkan. Sama-sama ingin memiliki gaya hidup yang membuat mereka bisa dihargai oleh sesama manusia. Dan, pada akhirnya sama-sama tertipu oleh angan-angannya sendiri.

Lalu apa kaitan antara bayam, tempe dan Madoff ?
Secara langsung bisa jadi tidak ada. Itu menjadi semacam refleksi saja bahwa gaya hidup glamour yang selama ini jamak kita jumpai pemunculannya di beberapa media bukanlah cara yang tepat untuk dianut. Gampangnya, dengan gaya hidup normal tanpa paksaan mendongak ke atas sebenarnya kita selalu bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tanpa tumpukan rupiah apalagi dollar kita tetap bisa bertahan hidup. Syaratnya cuma satu, mau bekerja dan bergerak menjemput rejeki yang telah ditebar sedemikian luas oleh Sang Kreator alam raya ini. Gampang kan ?

Jadi tidak perlulah berpikir terlalu jauh dengan memiliki keinginan menumpuk uang setinggi gunung hanya untuk sekedar makan enak, tidur nyenyak dan dihargai orang banyak. Meski bagi sebagian orang itu benar, namun tidak sedikit pula yang merasa bahwa kaya itu menyiksa. Siapa bilang kaya itu enak ? Yang berpikir seperti itu pasti tidak pernah kaya. Menjadi kaya itu harus siap lahir batin, sebab kalau tidak siap akan berbahaya bagi dirinya serta keluarganya.

Kita telah memiliki pola dan gaya hidup yang khas, berbeda dengan orang barat misalnya. Memaksakan diri mengikuti gaya hidup mereka justru akan membuat kita hidup di dunia semu. Sebulan dua bulan, setahun dua tahun bisa jadi tidak jadi soal. Artinya kita bisa tahan berpura-pura menikmatinya. Namun, lama kelamaan kita pasti memiliki kecenderungan untuk kembali kepada pola dan gaya hidup yang telah sejak kecil mewarnai hidup kita. Ada semacam titik kebosanan (jenuh) yang akan menyerang kita dengan hebat.

Hidup wajar, ya, orang pintar biasa menyebutnya dengan hidup wajar. Artinya pola dan gaya hidup kita sesuaikan dengan yang ada. Income berapa belanja berapa harus disesuaikan. Tinggal dimana, bertetangga dengan siapa perlu menyesuaikan. Dalam acara apa, bersama siapa harus bisa menempatkan diri secara tepat.

Ingin kaya boleh-boleh saja. Tapi semua ada caranya. Semua ada biaya yang harus kita bayar. Mungkin keringat yang mengucur lebih deras, mungkin waktu istirahat yang hanya sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Mungkin pula resiko kesehatan fisik dan mental. Semuanya harus secara dewasa kita hadapi dalam setiap jejak langkah manjadi kaya. Bukan hanya dengan bermimpi tanpa pernah beranjak dari rumah lalu menggerakkan jari jemari.

Intinya, Madoff telah membuka mata kita bahwa 600 triliun itu tidak sedikit. Berapa ikat bayam dan berapa potong tempe akan kita dapatkan seandainya semua dibelanjakan kedua barang tersebut. Tapi, apa iya mereka yang telah menjadi korban Madoff doyan sayur bayam plus tempe goreng ?

Wallahu alam
Kajang, 20 Januari 2009
15:20 WIB

Pertamini

Adalah keinginan setiap orang tua agar anaknya bisa hidup enak, nyaman, sejahtera lahir dan batin. Dan salah satu ukuran yang biasa dipakai untuk mengindikasikan kesejahteraan adalah melimpahnya materi. Materi tidak bisa lepas dari latar belakang pekerjaan yang menjadi sumber materi tersebut, baik halal maupun haram. Sehingga hampir setiap orang tua selalu mendengungkan sebaris doa agar anak mereka mendapatkan pekerjaan yang layak, pada perusahaan besar, yang pada gilirannya akan mendatangkan rejeki berlimpah.

Perusahaan besar menjadi semacam garansi bahwa uang akan mengalir deras ke kantong mereka. Dan satu diantara sekian banyak perusahaan besar yang selalu diserbu calon pekerja adalah Pertamina, perusahaan pertambangan dan pengolahan minyak di Indonesia yang menguasai energi bahan bakar dari hulu hingga ke hilir. Dengan menjadi karyawan pertamina mereka yakin bahwa kelangsungan hidup mereka akan aman dan sejahtera secara ekonomi. Ringkasnya tidak ada kekuatiran akan mengalami kelaparan menghadapi sisa hidup yang dari waktu ke waktu semakin struggle ini.

Harapan untuk dapat mejadi karyawan atau pegawai pertamina juga pernah didengungkan oleh ibu saya almarhum. Dengan penuh harap beliau pernah menyampaikan bahwa akan menjadi sebuah kebanggan bagi beliau seandainya saya bisa diterima kerja di Pertamina. Beliau barangkali lupa bahwa saya sekolah di jurusan manajemen, jadi kalaupun bisa masuk Pertamina saya paling-paling akan duduk di jajaran distribusi, marketing atau adminstrasi. Tidak mungkin menangani kilang minyak di lepas pantai misalnya.

Saya cuma mengamini saja doa dan harapan ibu waktu itu, meski dalam hati ragu-ragu, gak yakin. Mungkin karena gak yakin itulah saya tidak bisa masuk ke pertamina dan justru memilih pekerjaan lain yang membutuhkan kerja super keras untuk bisa sekedar bertahan di dunia pemasaran yang terkadang demikian buas. Sampai-sampai muncul kalimat “Besok makan siapa?”. Tapi itu adalah jalan hidup yang memang seharusnya saya lalui. Tidak ada cerita berleha-leha dengan gaji berlimpah seperti keinginan almarhum ibu. Yang ada adalah kepasrahan total kepada Tuhan mengingat tidak pastinya keadaan isi kantong. Meskipun sudah saya siapkan banyak kantong, mulai dari celana, baju hingga tas namun pada kenyataannya tidak pernah terisi semuanya. In fact, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan saya sekeluarga.

Jadi, ketika butuh makan, cukup. Ketika butuh beli baju, cukup. Ketika butuh beli sepeda motor, cukup. Ketika perlu rumah untuk berteduh, cukup. Ketika perlu semen, bata, pasir dll untuk renovasi rumah, cukup. Ketika butuh kendaraan yang cukup untuk mengangkut kami sekeluarga berlima, cukup juga. Jadi, ajaib sekali kalimat cukup itu, lebih dari banyak atau melimpah. Sehingga lebih baik cukup daripada berlimpah.

Berangkat dari pesan ibu serta demi amanah ibu untuk bisa bekerja di pertamina maka sayapun berpikir dengan keras bagaimana caranya agar bisa bekerja di pertamina, di bagian apapun. Dari waktu ke waktu saya terus berpikir sampai pada kesimpulan bahwa saya tidak mungkin bisa masuk dan bekerja sebagai pegawai pertamina. Pertama saya tidak punya koneksi di pertamina, dan kedua usia saya sudah tidak memungkinkan untuk bisa seproduktif adik-adiik kelas saya.

Lalu muncul alternatif lain, yaitu mendirikan SPBU. Dalam pikiran saya, dengan mendirikan SPBU, saya tidak hanya bisa bekerja di pertamina tapi juga dapat mempekerjakan banyak orang, membantu beberapa orang yang belum bekerja. Jadi ada nuansa sosialnya, pasti akan menjadi manusia mulia, dan ibu di alam sana pasti akan lebih berbangga mendapati anak tersayangnya dapat melakukan perbuatan baik.

Saya pun melakukan riset, berkonsultasi kesana kemari untuk mengetahui seluk beluk per-SPBU-an. Singkatnya saya melakukan feasibility study atau studi kelayakan usaha SPBU. Beberapa bulan saya melakukan proses pembelajaran usaha SPBU. Kesimpulannya, saya mampu melaksanakan manajemen SPBU tapi saya tidak sanggup menyediakan dana sekian milyar untuk membebaskan lahan, investasi hardware-nya dan juga modal untuk kulakan premium, solar dan juga pertamaxnya.

Eh ya, investor…ya investor bisa dilibatkan, begitu pikir saya. Jadi saya tinggal meyakinkan investor dengan proposal yang saya bikin dengan perhitungan detail plus bumbu rayuan gombal bahwa dalam waktu sekian tahun invesatsi akan kembali modal alias BEP. Saya pun mulai menyusun list siapa saja yang bisa saya hubungi dan memiliki potensi untuk mau bekerjasama dengan saya. Sebulan dua bulan hingga setahun lebih saya mencoba kontak dengan beberapa orang yang saya anggap memiliki dana berlebih dengan nilai minimal 5 milyar.

Namun ternyata saya salah sangka, dari 20-an orang yang saya hubungi rata-rata merek tinggal di perumahan elit dengan rumah plus perabotan lux, PRT lebih dari 3 orang, garasi dipenuhi mobil ber-cc besar dll. Ternyata mereka pusing tujuh keliling memikirkan tanggungan kredit di bank yang nilainya ratusan juta bahkan ada beberapa yang memiliki hutang di bank lebih dari 10 milyar. Jadi, rencana mendirikan SPBU pun saya putuskan untuk diakhiri saja.

Saya masih berpikir keras bagaimana caranya dapat memenuhi keinginan ibu untuk bekerja di pertamina atau setidaknya bekerja di bidang yang ada kaitannya dengan pertamina. Dan, setelah sekian lamanya berpikir dan berusaha keras untuk bisa mewujudkan keinginan itu, akhirnya saya menyerah, putus asa dengan pertamina. Namun justrus saat saya menyerah itulah saya mendapatkan ide brilian. Pada sebuah malam yang dingin, saat hujan turun rintik-rintik kecil, tepat di saat saya menuntun sepeda motor saya karena kehabisan bensin, ide brilian itu muncul. Ya, benar…saya akan mendirikan pertamini, semacam pompa bensin tapi kecil (halah…semua juga tahu, itu lho kios bensin eceran). Cukup bermodal puluhan ribu saja bisa jalan. Yang diperlukan cuma beberapa botol bekas minuman keras ukuran 1 liter untuk wadah bensin, 1 jeriken plastik ukuran 10 – 25 liter untuk kulakan, 1 botol plastik bekas air minum mineral yang dipotong di dekat ujungnya sebagai pengganti corong serta beberapa potong kayu dan seng yang dibentuk rumah-rumahan, titik. Total 200 ribu, usaha pertamini bisa dimulai, murah meriah.

Sekarang saya bisa tenang menjalani hari-hari saya, keinginan ibu agar saya bisa bekerja di pertamina atau yang terkait dengan perusahaan minyak itu akhirnya terwujud. Bukan sebagai karyawan pertamina, bukan dengan mendirikan SPBU yang perlu dana milyaran melainkan mendirikan pertamini, siapa tahu 10 tahun ke depan bisa membeli SPBU. Amin….

Kajang, 23 Januari 2009
15:05 WIB

Perjalanan si Doku

Namaku Doku, singkat dan jelas kan ? Aku tidak memiliki orangtua, dan kenapa aku disebut Doku karena memang aku adalah selembar uang ketas seratus ribuan bergambar pak bung karno dan pak bung hatta yang terkenal itu.

Aku memiliki sekelumit kisah yang tersimpan rapi dalam memori kenanganku, dan kali ini sengaja aku buka supaya dapat berbagi pengalaman dengan siapa saja dan dimana saja. Tentang manfaat, ya berharap juga sih sebenarnya supaya dapat berguna, tetapi andaipun tidak juga tidak jadi soal. Sebab kadar kemanfaatan adalah nisbi bagi tiap orang. Artinya, boleh jadi sebuah perkara sangat bermanfaat bagi satu orang, namun dapat pula berarti sampah yang harus segera dibuang bagi orang lain. Ah, kok jadi berteori sih.

Aku mulai saja kisahku.
Kejadian ini aku alami tahun lalu, ya, 2008 adalah tahun yang luar biasa bagiku. Aku berpindah tangan tidak kurang dari 10 kali dan ada beberapa orang yang memegangku sangat berkesan bagiku. Singkatnya, aku benar-benar mengalami sebuah perjalanan yang penuh warna pada tahun 2008 tersebut. Dan beberapa orang yang sempat aku singgahi dompetnya sengaja aku angkat menjadi serangkaian cerita yang unik, menarik sekaligus ironis.

Tepat tahun baru aku keluar dari mesin anjungan tunai mandiri bersama 9 orang temanku yang lain. Aku sempat melihat orang yang menarikku adalah seorang pria yang berusia sekitar 50 tahun, agak tergesa dia menarikku dari mesin ATM pada pagi yang masih dingin itu. Selanjutnya akupun berdesakan dengan 9 temanku yang lain dalam sebuah dompet coklat kusam dan bau yang terselip dalam saku belakang celana panjang pria tersebut. Tidak terhitung berapa kali dia buang gas, baunya minta ampun. Mungkin tadi malam baru saja melewatkan malam pergantian tahun dengan menyantap aneka makanan yang campur aduk dan pagi tadi belum sempat buang hajat.

Selang beberapa saat kemudian, aku keluar dari dompet bersama 2 orang temanku, ternyata pak tua yang baru saja mengambilku dari mesin ATM tadi telah menukarkan aku dengan satu karung beras plus sekardus barang belanjaan kebutuhan keluarga lainnya yang aku sendiri tidak tahu detailnya. Maka, jadilah aku berpindah tuan, dari pak tua yang tadi mengambilku dari menin ATM kepada seorang ibu berjilbab yang duduk di belakang meja sambil terus menghitung, memilah serta menata kami dalam kelompok-kelompok kecil sehingga lebih mudah untuk dihitung kembali. Aku dikibas-kibaskan ke barang dagangan yang berada di depannya sambil berkata “laris-laris-laris”, khas juragan toko kelontonglah.

Cukup lama aku berada di brankas tradisional di dalam kamar milik ibu berjilbab yang dengkuran tidurnya seperti suara pesawat tempur Israel saat menghajar Palestina itu. Sekitar sebulan aku dan sekian ratus atau bahkan ribu temanku yang lain menginap di kotak kayu dengan gembok seukuran anak gajah. Pengap dan bau tentu saja. Bayangkan saja, kami dibendel dalam satuan yang memudahkan si ibu berjilbab tadi dalam merekap total jumlah kami dengan cara diikat dengan karet gelang, seperti dicekik rasanya. Kemudian, kami ditumpuk dengan kelompok-kelompok lain yang sudah ada sebelum kami, lalu ditumpuki lagi dengan kelompok lain yang datang setelah kami.

Belum lagi kami harus berdesakan dengan kelompok murahan seperti lima ribuan dan ribuan, sebel banget rasanya. Gak level bergaul dengan mereka. Rata-rata mereka kusam, bau, lecek, robek di sana-sini, bahkan beberapa ada yang penuh dengan graffiti seperti tulisan “tono love tini”, “cintaku seumur jagung”, “lofe is blaen” atau rekapan nomor togel kadang nangkring juga di badan mereka. Mereka seperti gerombolan buruh tani yang baru saja pulang dari sawah yang nyelonong masuk rumah tanpa membersihkan badan terlebih dulu. Benar-benar menjijikkan !

Akhirnya aku bisa bernafas lega. Setelah sebulan terkurung dalam kotak bau itu aku berpindah tangan. Kali ini aku begitu gembira karena dielus-elus oleh seorang perempuan putih cantik dengan tangan yang halus lembut, rambut sebahu dengan aroma wangi bunga yang memabukkan. Setelah dihitung kami dipilah-pilah lagi, kemudian ditata ulang dengan sangat halus oleh perempuan yang memakai kalung berliontin emas dengan rangkaian 4 huruf, “Vera”. Oh, ternyata aku pulang ke bank, ibu berjilbab yang aku tidak sempat tahu namanya dulu ternyata seorang pedagang yang menjadi nasabah bank tempat mBak Vera bekerja.

Hanya 3 jam aku bersama mBak Vera, sebab seorang gadis muda yang tidak kalah ayu dibanding mBak Vera melakukan tarik tunai dan aku menjadi bagian dari yang dihitung oleh mBak Vera lalu kemudian diserahkan kepada gadis ayu tersebut. Kami, senilai 10 juta berpindah tangan dari mBak Vera ke tas tangan psi gadis ayu itu setelah sebelumnya dimasukkan ke dalam amplop coklat bertuliskan nama bank tadi. Gadis ayu itu bergegas meninggalkan ruang bank yang sejuk ber-AC menuju mobil sedan yang terparkir rapi tepat di depan bank tersebut. Kami pun melesat tanpa tahu akan kemana lagi.

Sepertinya aku dan kawan lainya terseret masuk ke dalam cerita yang lebih seru. Dina, nama gadis ayu yang tadi mengeluarkan aku dari bank ternyata adalah seorang pecandu narkoba. Jadi, kami yang berjumlah 10 juta ditukar dengan barang yang aku tidak tahu namanya, yang jelas dari percakapan yang dilakukan oleh Dina dengan beberapa laki-laki di sebuah kafe malam itu jelas menerangkan bahwa barang yang mereka jual kepada Dina adalah barang bagus dan dijamin akan langsung “on” dalam waktu super cepat serta bisa tahan “hive” lebih lama. Oh Dina, dibalik kecantikan dan kehalusan tutur kata dan perilakumu ternyata kau menyimpan misteri yang menyesakkan, andai orang tuamu tahu, Din.

Ah sudahlah, lumrah terjadi kan, seseorang yang nampaknya baik tapi aslinya gak baik dan sebaliknya. Aku teruskan saja kisahku. Kami berpindah tangan ke komplotan pengedar narkoba. Mereka berjumlah 4 orang dengan hirarki yang aku sendiri tidak paham. Yang jelas, kami dibagi-bagi sesuai dengan tingkatan kedudukan mereka dalam organisasi kecil itu. Singkatnya, aku bersama 14 teman lain menjadi bagian dari seorang pria kurus berwajah lumayan ganteng bernama John. Dan nampaknya John hanyalah seorang kurir yang mendapat bagian paling sedikit diantara seluruh rekannya. Dalam struktur mereka kurir selalu mendapat bagian terkecil meskipun resiko tertangkap aparat paling besar. Apa boleh buat, itulah resiko yang harus dibayar oleh pengangguran seperti John.

Tanpa ba bi bu lagi John melipat kami berlima belas lalu tanpa ampun lagi kamipun masujk dalam saku jin belelnya yang kira-kira sudah sebulan tidak dicuci. Minta ampun baunya. John nampak tergesa-gesa meninggalkan rekan-rekannya, sepertinya sudah punya janji dengan seseorang sehingga takut terlambat. Dan benar saja, saat itu sekitar jam 10 malam dengan sepeda motornya John menuju lokalisasi yang berjarak 5 km dari tempat tinggalnya. Ternyata John sudah ngebet menyalurkan hasrat kelelakiannya. Basa-basi sebentar, tawar menawar harga lalu deal 150 ribu short time !

John bersama PSK yang disewanya masuk kamar penginapan di salah satu rumah di kawasan lokalisasi tersebut. Singkat kata hasrat John sudah terlampiaskan, lalu dia mengeluarkan 2 lembar ratusan ribu untuk melakukan pembayaran kepada perempuan yang mewiraswastakan tubuhnya tadi. 150 untuk biaya sewa bagian tubuh penting si perempuan dan 50 lagi untuk sewa kamarnya. Dan, sialnya aku berada dalam lipatan paling luar sehingga aku dan satu temanku lagi kembali berpindah tangan dari John ke Sonya, PSK yang disewa oleh John tadi. Dan, apesnya lagi ritual pedagang kembali aku alami. Hanya saja kali ini aku dikibas-kibaskan bahkan dengan agak kasar aku diusap-usapkan ke bagian tubuh yang disewakan oleh PSK tadi sambil menggumam “laris-laris-laris”. Kurang ajar benar, apa dia tidak tahu bahwa itu adalah pelecehan terhadap pak bung karno dan pak bung hatta. Mereka adalah proklamator yang harusnya dihargai dan bukannya diusap-usapkan ke wilayah itu. Aku sungguh kesal, apalagi setelah aku dapati bahwa di beberapa bagian tubuhku terdapat ceceran cairan yang menempel, duh…jijik aku. Aku menjadi bau sekarang, perempuan tidak tahu diuntung !

Semalaman aku tidak bisa tidur, aku marah karena badanku kotor oleh cairan yang tidak semestinya menempel. Tapi aku bisa apa? Aku tidak punya tangan untuk membersihkan cairan itu. Aku tidak kerasan bersama perempuan PSK ini, semoga besok pagi aku dibelanjakan.

Dan harapanku terwujud, esoknya sekitar jam 2 siang aku dipakai untuk membayar biaya creambath di salah satu salon kecantikan langganan PSK itu. Uhh…lega rasanya bisa berpisah dari perempuan laknat itu. Kini aku beralih ke mas yang seperti mbak pemilik salon Diva. Kata orang dia banci, waria, bencong atau bahasa kerennya komunitas transeksual. Fisiknya pria tapi kejiwaannya wanita, duh bingung ya jadi mereka. Bayangkan saja, mau masuk toilet saja serba salah kan.

Nama aslinya Dewa Baskara, tapi sejak hijrah dari desa 4 tahun lalu dia memakai nama Diva yang dia abadikan sebagai nama salon kecantikannya. Di desa dia dipanggil Dewo oleh emaknya. Dewo adalah seorang anak penurut yang berbakti kepada orang tuanya, dia yatim, bapaknya meninggal saat dia SD kelas 2. Tiap bulan selalu menyempatkan diri untuk pulang kampung menjenguk emakya, dan tentu saja kalau sudah desa selalu berpakaian laki-laki. Seperti sore itu, Diva atau Dewo sampai di rumah emaknya. Melihat Dewo datang emaknya langsung sumringah, sebab Dewo selalu memberi uang belanja kepadanya. Aku sampai trenyuh melihat hubungan anak-emak diantara mereka. Rasa kesalku akibat ulah PSK beberapa hari lalu terbayar dengan kisah berbaktinya Dewo kepada orang tuanya.

Dewo tidak pernah lama di kampung, bukan karena tidak kerasan, tapi lebih karena tidak tahan berlama-lama berlagak sebagai laki-laki. Dia tidak tahan dengan semua itu, dia merasa seperti membohongi dirinya sendiri. Esok paginya Dewo pamit pulang ke kota, dan seperti biasanya setelah sungkem kepada emak, Dewo memberikan beberapa lembar uang kertas kepada emaknya, ada ratusan ribu, lima puluhan dan juga puluhan ribu. Aku menjadi salah satu yang dialihtangankan oleh Dewo kepada emaknya.

Perlu diketahuhi bahwa ini adalah bulan Juli dan keadaanku tidak seperti saat aku keluar dari mesin ATM Januari lalu. Aku sudah tidak mulus lagi, banyak bekas lipatan di sana-sini, mulai kusam di beberapa bagian tubuhku, dan yang paling menjengkelkan tentu saja cairan menjijikkan ulah PSK yang menempel angkuh tepat di tengah-tengah antara gambar wajah pak bung karno dan pak bung hatta.

Sudah lebih sebulan aku ikut emaknya si Dewo, hidup khas pedesaan membuat aku dan 3 temanku tidak pernah dibelanjakan. Sebenarnya aku kerasan ikut emak Dewo, orangnya tidak pernah macam-macam. Hanya satu yang sering membuatku sulit bernafas, yaitu, emak selalu membawaku kemanapun dia pergi. Pergi kemanapun sebenarnya tidak menjadi soal bagiku, masalahnya adalah emak tidak memiliki dompet sehingga kami bertiga diselipkan begitu saja di penutup dada emak yang…yah, bisa dibayangkan sendirilah keadaanya. Orang usil akan bilang sudah kadaluwarsa. Kalau PSK itu yang melakukannya aku pasti tidak akan terima, tapi berhubung emak, aku bisa mafhum. Aku hanya merasa bosan saja, sudah hampir 2 bulan tinggal bareng emak tanpa pernah dibelanjakan.

Hari bahagia itu tiba juga. Setelah ikut emak 2 bulan 13 hari akhirnya aku dilepas oleh emak. Aku bersama 6 temanku dipakai untuk membeli sepasang kambing yang akan dipelihara sendiri oleh emak. Buat tabungan kata emak. Uh, lega juga bisa bernafas bebas, bisa lepas dari penutup dada yang sempit itu.

Aku berpindah tangan kepada juragan kambing. Namanya Haji Somad bin Abdul Gaffar. Biasa dipanggil Wak Kaji begitu saja. Dia sudah berhaji 8 kali. Tersohor karena kehajiannya, kelicikannya, dan kepelitannya. Wak kaji yang satu ini begitu berambisi bisa berhaji 9 kali. Sebab dia memiliki keyakinan dengan berhaji 9 kali maka pintu surga yang berisi 70 ribu bidadari akan terbuka lebar untuknya.

Sambil tertawa riang setelah menjawab salam emak Dewo yang pamit pulang menuntun 2 kambingnya, Wak kaji bergegas masuk kamar sambil membawa kami bertujuh untuk digabungkan dengan kawan-kawan kami yang telah berada di bawah kasur wak kaji lebih dulu.

Aku berada di tumpukan paling bawah diantara kami bertujuh. Wak kaji mulai menghitung, dia hitung ulang bendel demi bendel uang yang sudah dia susun dengan rapi sebelumnya sambil sesekali mencatat di kertas kecil yang terletak di sampingnya. Di sana tercatat 29.300.000, berarti kurang 700 ribu lagi supaya genap 30 juta untuk biaya ONH. Lalu mulailah wak kaji menghitung pelan-pelan kelompok kami yang sedari tadi seperti diabaikan. “empat ratus…lima ratus” gumam wak kaji sambil mengambil tumpukan kami satu demi satu “enam ratus…tujuh ratus…delapan ratus…semmmbiiiillllaaan ratus…..” sampai di angka sembilan ratus wak kaji berhenti. Dia mengamati aku yang berada di tumpukan paling bawah lama sekali. 30 detik berlalu…1 menit…dan akhirnya dengan mata berkaca-kaca wak kaji meraihku sambil berucap “Alhamdulillah, ya Allah Kau murahkan rejekiku sehingga aku bisa memenuhi panggilanMu sekali lagi…maka genaplah aku 9 kali mendatangi rumahMU ya Allah, bukakan pintu surgaMu lebar-lebar untuk hambamu ini. Hamba telah berusaha dan bersusah payah mengumpulkan rupiah demi rupiah demi menggapai surgaMu ya Allah…” Begitu rintih wak kaji lirih sambil memeluk aku, membelai aku, mengusap-usapkan aku ke seluruh bagian wajahnya, lalu diakhiri dengan menciumi aku tepat di tengah-tengah antara gambar wajah pak bung karno dan pak bung hatta.

Wallahu ,alam
Lantai 2 pratama A2/8
01:22 wib