Jumat, 06 Februari 2009

Seikat Bayam, Sepotong Tempe dan Seorang Madoff

Senin pagi, jam dinding menunjukkan pukul 06.05 WIB. Dari luar rumah terdengar teriakan yu Poni, mlijo (penjual sayur) yang biasa melayani kebutuhan warga perumahan kami. “Belanja bu” teriak Yu Poni lantang, antara bertanya dan berharap.

Hari Minggu kemarin, Ibu mertua yang beberapa minggu terakhir selalu berinteraksi dengan yu Poni sedang ke Jakarta. Sementara istri saya yang baru saja melahirkan anak ke tiga kami bulan lalu masih terlihat pulas setelah hampir semalaman begadang meninabobokan bayi kecilnya. Jadinya, saya sendiri yang harus berhadapan dengan yu Poni “Iya yu, tunggu sebentar” jawab saya dari dalam rumah.

Saya sempat berbincang dengan istri sejenak setelah saya bangunkan untuk memastikan mau belanja apa hari itu. Istri saya minta seikat bayam yang akan dimasak sayur bening dan sepotong tempe yang rencananya akan digoreng kering kesukaan kami sekeluarga. Perlahan saya hampiri yu Poni di teras rumah, “Bayam sama tempe yu” pinta saya.

Yu Poni melayani pesanan saya dengan cekatan. Tidak sampai 2 menit sudah terbungkus rapi dalam tas plastik warna kuning muda transparan. Setelah saya terima sayapun menanyakan berapa uang yang harus saya bayar untuk dua jenis barang tersebut “Sedoyo kaleh ewu pak” jawabnya dalam bahasa Jawa kromo yang artinya bahwa belanjaan saya seharga 2 ribu. Seribu untuk seikat bayamnya dan seribu lagi untuk tempenya. Dan ketika saya pastikan soal harga tadi ke istri saya dia malah bilang bahwa biasanya seikat bayam cuma lima ratus rupiah, hari-hari ini agak mahal karena musim hujan daunnya banyak yang rusak sehingga harganya pun naik menjadi seribu rupiah.

Saya tertegun tidak percaya, sebab memang baru kali ini saya belanja secara langsung. Pekerjaan saya paling banter mengantar istri ke pasar tanpa pernah tahu harga barang yang dibeli oleh istri. Dan kali ini saya dibuat kaget oleh harga yang harus saya bayar. Murah sekali harga sayur bayam dan tempe tadi. Dan biasanya itu sudah cukup dikonsumsi 2 kali makan untuk 3-4 orang dalam keluarga kami.

Kemudian saya teringat kepada kondisi ekonomi global yang katanya sedemikian parahnya sehingga hampir semua harga barang berlomba saling mendahului untuk naik, naik dan naik. Saya juga teringat cerita lewat milis, beberapa teman SMA yang tinggal di Jakarta menulis tentang betapa struggle-nya bertahan hidup di Jakarta hari-hari ini. Harga kebutuhan pokok melejit tak tertahan, kebutuhan hidup memaksa siapapun tidak hanya mengencangkan ikat pinggang namun mengganti ikat pinggangnya menjadi semakin besar dan kuat.

Lalu saya juga teringat dengan kisah Bernard Madoff, seorang Yahudi yang ketahuan menipu orang-orang kaya terkenal, bahkan beberapa badan amal dia tipu juga. Tidak kurang dari Steven Spielberg, Kevin Bacon serta sederet nama artis beken Hollywood banyak yang menjadi korbannya. Dan yang lebih mencengangkan adalah tertipunya beberapa institusi keagamaan di Amerika. Ajaib memang. Konon nilainya mencapai sekitar 600 triliun rupiah. Konon juga metodenya adalah metode ponzi yang di Indonesia (Jatim) sudah terkenal lebih dulu dengan kasus pomas (pohon mas) yang membuat salah seorang Pembantu Rektor Universitas Negeri Malang terpaksa lengser dari jabatannya pada saat itu.

Madoff dan pomas motifnya sama, menjanjikan sekian persen keuntungan dari uang yang diinvestasikan oleh para anggotanya. Nilainya jauh diatas aktifitas ekonomi riil tentunya, sehingga banyak yang tergiur untuk gabung. Teknisnya anggota baru memberikan keuntungan kepada anggota lama. Semakin banyak orang atau badan yang mendaftar menjadi anggota maka keuntungan yang didapat oleh anggota terdahulu akan semakin besar. Demikian seterusnya, dan tanpa disadari pada titik yang ke sekian keanggotaan menjadi jenuh sehingga Madoff tidak bisa lagi merekrut anggota (korban) baru.

Inilah awal bencana bagi semuanya. Sebab Madoff tidak pernah menginvestasikan uang para korbannya dalam bisnis riil. Madoff hanya yakin anggota akan terus bertambah dan bertambah tanpa pernah berhenti. Pada kenyataannya ? Bayangan para anggotanya untuk mendapatkan untung ribuan bahkan jutaan dollar hanya tinggal kenangan. Mereka kehilangan uang serta mendapatkan rasa malu yang luar biasa. Malu ? Ya, sebab mereka rata-rata adalah publik figur, mereka kesana kemari selalu menjadi perhatian publik. Bahkan beberapa diantaranya adalah rabbi yahudi yang dianut oleh ribuan jamaahnya, selain itu mereka juga terkenal kecerdasaannya, ya semacam pak Zainudin MZ lah kalau di Indonesia, itu pun bisa tertipu oleh Madoff.

Antara nasabah Madoff dan pomas terdapat kesamaan yang sangat alami. Yaitu sama-sama ingin untung besar tanpa keluar keringat. Sama-sama mau enaknya tanpa mau capeknya. Sama-sama rakus kepada uang. Sama-sama diliputi kekhawatiran tidak bisa hidup enak dan tenang jika tidak memiliki jaminan uang segunung dalam tabungannya. Sama-sama tertipu oleh gebyar dunia semu yang memabukkan. Sama-sama ingin memiliki gaya hidup yang membuat mereka bisa dihargai oleh sesama manusia. Dan, pada akhirnya sama-sama tertipu oleh angan-angannya sendiri.

Lalu apa kaitan antara bayam, tempe dan Madoff ?
Secara langsung bisa jadi tidak ada. Itu menjadi semacam refleksi saja bahwa gaya hidup glamour yang selama ini jamak kita jumpai pemunculannya di beberapa media bukanlah cara yang tepat untuk dianut. Gampangnya, dengan gaya hidup normal tanpa paksaan mendongak ke atas sebenarnya kita selalu bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tanpa tumpukan rupiah apalagi dollar kita tetap bisa bertahan hidup. Syaratnya cuma satu, mau bekerja dan bergerak menjemput rejeki yang telah ditebar sedemikian luas oleh Sang Kreator alam raya ini. Gampang kan ?

Jadi tidak perlulah berpikir terlalu jauh dengan memiliki keinginan menumpuk uang setinggi gunung hanya untuk sekedar makan enak, tidur nyenyak dan dihargai orang banyak. Meski bagi sebagian orang itu benar, namun tidak sedikit pula yang merasa bahwa kaya itu menyiksa. Siapa bilang kaya itu enak ? Yang berpikir seperti itu pasti tidak pernah kaya. Menjadi kaya itu harus siap lahir batin, sebab kalau tidak siap akan berbahaya bagi dirinya serta keluarganya.

Kita telah memiliki pola dan gaya hidup yang khas, berbeda dengan orang barat misalnya. Memaksakan diri mengikuti gaya hidup mereka justru akan membuat kita hidup di dunia semu. Sebulan dua bulan, setahun dua tahun bisa jadi tidak jadi soal. Artinya kita bisa tahan berpura-pura menikmatinya. Namun, lama kelamaan kita pasti memiliki kecenderungan untuk kembali kepada pola dan gaya hidup yang telah sejak kecil mewarnai hidup kita. Ada semacam titik kebosanan (jenuh) yang akan menyerang kita dengan hebat.

Hidup wajar, ya, orang pintar biasa menyebutnya dengan hidup wajar. Artinya pola dan gaya hidup kita sesuaikan dengan yang ada. Income berapa belanja berapa harus disesuaikan. Tinggal dimana, bertetangga dengan siapa perlu menyesuaikan. Dalam acara apa, bersama siapa harus bisa menempatkan diri secara tepat.

Ingin kaya boleh-boleh saja. Tapi semua ada caranya. Semua ada biaya yang harus kita bayar. Mungkin keringat yang mengucur lebih deras, mungkin waktu istirahat yang hanya sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Mungkin pula resiko kesehatan fisik dan mental. Semuanya harus secara dewasa kita hadapi dalam setiap jejak langkah manjadi kaya. Bukan hanya dengan bermimpi tanpa pernah beranjak dari rumah lalu menggerakkan jari jemari.

Intinya, Madoff telah membuka mata kita bahwa 600 triliun itu tidak sedikit. Berapa ikat bayam dan berapa potong tempe akan kita dapatkan seandainya semua dibelanjakan kedua barang tersebut. Tapi, apa iya mereka yang telah menjadi korban Madoff doyan sayur bayam plus tempe goreng ?

Wallahu alam
Kajang, 20 Januari 2009
15:20 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar