Senin, 09 Februari 2009

Santri Kul Hu

Namanya Kasemo Arjowinangun, biasa dipanggil kang Semo, usia 45 tahun. Pekerjaan sehari-harinya adalah mencari rumput untuk kambing kepunyaan Pak RT yang dititipkan kepadanya dengan sistem bagi hasil. Istilah di desa kami disebut “maro”, artinya Pak RT nitip kambing kepada kang Semo. Kang Semo bertanggung jawab terhadap terjaminnya asupan makanan kepada kambing tersebut. Nah, begitu si kambing melahirkan anak kambing, jika 2 maka Pak RT dan Kang Semo berbagi anak kambing tersebut masing-masing 1, dan jika hanya melahirkan 1 anak kambing maka akan dinilai dengan uang lalu dibagi 2 sama besar. Biasanya Pak RT yang akan melakukan penaksiran lalu memberikan separo dari nilai anak kambing tersebut kepada Kang Semo.

Sudah 3 tahun terakhir ini Kang Semo menjadi santri di surau tua milik Ustad Jamal, putra tunggal almarhum Kyai Hafid, seorang sesepuh desa kami . Kang Semo yang tidak lulus SD sekarang harus belajar mengeja huruf Arab yang menurutnya jauh lebih sulit dari mengeja huruf latin. Selepas maghrib hingga menjelang sholat isya’ Kang Semo rajin mengantri giliran mengeja huruf demi huruf Arab dalam juz ‘amma kepunyaan anak semata wayangnya, Darminto, yang masih duduk di kelas 2 SD.

Tanpa kenal lelah Kang Semo mengeja huruf demi huruf hingga tanpa terasa telah 3 tahun Kang Semo menjadi santri ustad Jamal. Ada 1 surat pendek yang menjadi idola Kang Semo, setiap hari selalu saja dia baca, dia eja bahkan dengan susah payah selalu dia hafalkan. Meskipun telah demikian susah payah berusaha menghafalkan namun karena keterbatasan kemampuan serta jenis lidah yang telah di Kun oleh pembuatnya untuk sulit mengucapkan kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, jadinya hanya dua kata yang selalu meluncur dari mulut Kang Semo, yaitu Kul Hu, tidak lebih.

Meski telah 3 tahun mencoba dengan keras namun hanya itu yang mampu dia lafalkan, selebihnya hanya menjadi bahan tertawaan teman-teman sejawat lain yang rata-rata seusia anaknya. Tapi Kang Semo tidak putus asa, meski menjadi bahan tertawaan dia selalu datang tepat waktu. Diawali dengan sholat maghrib lalu sholat sunah ba’diyatal maghrib, mengaji Kul Hu lalu diakhiri dengan sholat isya’ berjamaah selalu kang Semo jalani dengan istikomah, setiap hari tanpa pernah berhenti.

Sampai pada suatu ketika, setelah merasa ada yang salah dengan lidahnya hingga tidak mampu melafalkan kalimat Arab lain selain Kul Hu, Kang Semo mengungkapkan kegalauan hatinya kepada ustad Jamal selepas sholat isya’ berjamaah yang dipimpin ustad muda tersebut.
“Pak Ustad, saya merasa putus asa belajar ngaji“ kata Kang Semo lemah
“Kenapa Kang ?” Tanya ustad Jamal sabar
“Sudah 3 tahun saya mengaji ke ustad Jamal dan saya hanya bisa mengucapkan 2 kata saja, yaitu Kul Hu, padahal saya ingin bisa seperti ustad yang nyerocos berbahasa Arab. Setiap saat saya selalu berusaha untuk mengucapkan kalimat Arab, namun selalu saja gagal, saya jadi marah pada diri saya sendiri. Apa ustad tidak malu memiliki murid seperti saya, saya sudah nyerah pak ustad” keluh Kang Semo lesu.
Sebelum menjawab keluh kesah Kang Semo, ustad Jamal membetulkan letak duduknya agar lebih nyaman,
“Kang, Allah itu tidak seperti yang Kang Semo duga, Allah itu jauh di luar dari perkiraan dan sangkaan kita. Orang boleh tertawa mendengar Kang Semo cuma bisa bilang Kul Hu selama 3 tahun ini. Kang Semo boleh merasa putus asa tapi hikmahnya Kang, hikmahnya demikian besar. Kita tidak pernah tahu apa yang Allah mau, kenapa kita begini dan kenapa kita begitu. Kang Semo harus bersyukur, sebab tidak semua orang diberikan kesempatan untuk belajar sekeras Kang Semo. Meskipun nampaknya secara hasil mengecewakan, namun ada perubahan besar dalam cara hidup Kang Semo dan keluarga selama 3 tahun ini. Coba bandingkan dengan dulu saat Kang Semo belum mau datang ke surau ini, apa yang kang Semo lakukan saat maghrib ? Apa yang Kang Semo lakukan saat malam hari datang ? Bukankah dulu Kang Semo biasa nongkrong di warung Yu Jiyat dari maghrib sampai tengah malam ? Bukankah dulu Kang Semo biasa mmbelanjakan uang Kang Semo untuk beli segelas kopi, kue bahkan sepiring nasi di warung Yu Jiyat ? Padahal di rumah sudah dimasakkan oleh Yu Gimah. Sekarang, Kang Semo bisa rasakan bedanya kan ? Tidak pernah lagi nongkrong di warung, tidak pernah absen sholat berjamaah tiap maghrib dan isya’. Kehidupan rumah tangga yang semakin tertata, bisa membelikan sepeda onthel untuk Darminto meskipun bekas. Bahkan kabarnya Kang Semo sudah memiliki 6 ekor kambing dari bagi hasil dengan Pak RT. Bukankah itu sebuah pencapaian yang sulit diraih jika Kang Semo tidak datang ke surau ini meski hanya 1-2 jam ? Allah bekerja dengan caranya sendiri Kang, Kang Semo dipaksa secara tidak terasa oleh Allah untuk merubah pola hidup Kang Semo. Dan kalau Kang Semo sadar, maka jutaan kalimah syukur akan selalu Kang Semo kumandangkan atas segala nikmat yang telah Allah limpahkan kepada Kang Semo selama ini. Bersyukur Kang, Bersyukur itu kunci utama terjaganya rizki yang barokah dari Allah” jawab ustad Jamal panjang lebar.
Tanpa sadar Kang Semo menitikkan air mata, terharu atas uraian ustad Jamal yang demikian menyentuh kalbunya. Tidak ada yang bisa Kang Semo lakukan kecuali mengangguk sambil mengusap air matanya, meraih tangan ustad Jamal lalu diciumnya berkali-kali dengan takzim, lalu mohon diri dengan berjalan mundur tanda hormat.

Sepanjang perjalanan pulang Kang Semo merasa bersyukur, meski hanya bisa bilang Kul Hu namun Allah telah menata kehidupannya dengan cara khas Allah, penuh misteri.

Pratama, 7 Pebruari 2009
19:25 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar