Jumat, 06 Februari 2009

Ketika Musim Diskon Tiba

Momentum lebaran adalah saat yang paling ditunggu oleh mayoritas masyarakat Indonesia khususnya di daerah saya. Bukan hanya umat islam, sebab lebaran sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat secara luas. Mulai dari semangat silaturahmi melebur dosa sampai dengan hiruk-pikuk pelaku pasar yang super sibuk mempersiapkan segala kebutuhan lebaran bagi yang membutuhkannya.

Lebaran menjadi saat yang paling ditunggu karena saat itulah setiap orang dapat merasa dirinya kaya sehingga siap keluar uang berapapun untuk berbelanja. Kucuran gaji serta THR menjadi andalan para pekerja yang pada hari-hari biasa harus melakukan sekian kali hitung ulang sebelum memutuskan berbelanja barang-barang yang bukan kebutuhan utama.

Daya tarik utamanya adalah iming-iming diskon, potongan harga atau rabat yang dilakukan oleh hampir setiap pelaku pasar. Baik pedagang baju, makanan kecil hingga produk-produk lain sengaja memanfaatkan momen lebaran dengan melakukan potongan harga alias memberikan diskon kepada pelanggan mereka. Hal ini dirasa perlu selain untuk menarik minat calon pembeli juga untuk berbagi kebahagiaan setelah tujuan utama yaitu meraih keuntungan telah mereka lakukan selama satu tahun penuh.

Bahkan ada beberapa pelaku pasar yang dengan begitu berani memasang poster iming-iming diskon yang begitu menggoda, misalnya saja beli 1 gratis 1, 70% off, 70% + 25% dll. Itu semua mereka lakukan dalam upaya menarik pelanggan sebanyak mungkin, untung sebanyak mungkin.

Kultur baju baru

Masih tergambar jelas di ingatan masa kecil saya, bagaimana kerasnya tangisan teman masa kecil saya yang ngambek gara-gara tidak dibelikan baju baru oleh orang tuanya. Juga kenyataan selama ini yang secara pelan tapi pasti seakan mendoktrin bahwa lebaran itu berarti baju baru, celana baru, sepatu baru serta atribut-atribut lain yang juga baru. Semua dilakukan demi menyambut lebaran.

Kultur kita mengajari demikian. Kita jarang mendapatkan penjelasan secara rasional mengapa lebaran diidentikkan dengan baju baru, sehingga saat lebaran tiba itu berarti baju kita harus baru, tidak boleh tidak. Kalau tidak beli baju baru seperti ada yang kurang. Tidak peduli sedang krisis atau sedang sulit beli makan, yang penting lebaran kali ini baju harus baru, titik.

Perlu waktu panjang serta penanaman mental yang mendasar untuk menghapus tradisi beli baju baru. Meskipun tidak ada jeleknya juga membeli baju baru, hanya perlu dirasionalkan saja dalam proses mengatur pengeluaran keuangan keluarga. Apalagi bila kebutuhan yang lebih penting menjadi tuntutan yang tidak bisa ditunda.

Harga psikologis
Pedagang juga pintar memanfaatkan momen lebaran ini. Mereka melakukan apa saja yang dirasa perlu untuk dapat menarik minat calon pembeli. Satu teknik yang sering mereka pakai adalah penerapan harga psikologis. Harga yang tercantum pada baju atau dagangan mereka tidak bulat, tetapi dibuat mendekati. Misalnya, Rp. 99.900 dan bukan 100.000. Jadi calon pembeli akan merasa bahwa harganya tidak sampai 100 ribu, padahal jika pembeli melakukan pembayaran dengan uang 100 ribu maka uang kembalinya hanya 100 rupiah, itupun seringkali dikembalikan dalam bentuk sebiji permen.

Meskipun dalam momen lebaran harga tidak menjadi perhatian utama para pembeli, namun para pedagang tahu benar bahwa mereka harus berlomba menarik calon pembeli. Dan, selain pelayanan yang baik, menentukan harga menjadi perhatian para pedagang agar tidak kalah dalam bersaing dengan sesama pedagang yang hampir selalu memberikan diskon besar dalam momen lebaran tersebut.

Dalam kondisi perang harga, ternyata calon pembeli saat ini sudah sangat cerdas dalam melakukan pembelian. Mereka tidak asal melakukan pembelian dengan dasar iming-iming diskon. Kualitas barang dan juga pelayanan prima menjadi perhatian juga. Artinya, pembeli tahu posisinya sangat penting dalam setiap proses transaksi. Mereka telah melakukan proses belajar cukup lama sehingga saat memutuskan membeli sebuah barang, petimbangan merekapun sudah matang. Tidak melulu pada harga yang murah saja.

Refleksi tingkat kesejahteraan ?
Nah, terakhir, seringkali pertanyaan ini mengemuka, bisakah ramainya kondisi pasar saat lebaran dijadikan ukuran tingkat kesejahteraan yang telah cukup mapan ?

Untuk menjawabnya perlu melihat beberapa aspek. Namun, yang paling mudah adalah dengan mengamati kondisi pasar pasca lebaran. Bila masih saja seramai saat menjelang lebaran, bisa dipastikan ekonomi riil bergerak aktif. Namun bila ternyata kondisinya bertolak belakang, berarti fenomena memborong barang belanjaan yang dilakukan para pembeli menjelang lebaran tidak bisa dipakai sebagai ukuran tingkat kesejahteraan. Masyarakat hanya memanfaatkan momen “Ketika Musim Diskon Tiba”, tidak lebih.

Kajang, 23 Januari 2009
16:14 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar