Senin, 16 Februari 2009

Ponari dan Potret Layanan Kesehatan di Indonesia

Fenomena Ponari, anak kecil berusia 10 tahun, yang dipercaya sebagai dukun cilik setelah mendapat batu ajaib bersamaan dengan petir yang menyambarnya pertengahan Januari lalu benar-benar menjadi buah bibir media lokal maupun nasional. Meskipun secara medis khasiat batu ajaib tersebut belum pernah terbukti namun berita keampuhan batu tersebut telah menyebar ke seantero nusantara. Keberadaan Ponari menarik minat puluhan ribu massa untuk datang ke kediaman Ponari dalam upaya memperoleh kesembuhan penyakit yang mereka derita.

Tidak kurang dari 50.000 pasien mendatangi rumah Ponari setiap hari dalam kurun waktu 20 hari terakhir. Hanya karena keterbatasan waktu, dalam sehari Ponari melalui batu bertuahnya “cuma” mampu menangani 10.000 hingga 15.000 pasien. Hal ini dimungkinkan oleh proses pengobatan yang hanya berlangsung sekitar satu detik untuk setiap pasien. Teknisnya, pasien atau yang mewakili cukup datang dengan membawa gelas atau botol berisi air lalu antri menunggu giliran untuk mendapat sekali pencelupan batu bertuah milik oleh Ponari.

Terlepas dari terenggutnya 4 nyawa akibat berdesakan dalam antrian panjang di halaman rumah Ponari, satu hal yang harus dicermati bersama adalah kondisi pelayanan kesehatan di negeri ini. Telah menjadi rahasia umum bahwa pelayanan kesehatan di negeri ini jauh dari yang diharapkan banyak pihak. Keluhan terhadap buruknya pelayanan kesehatan pemerintah seringkali menghiasi media massa kita. Terutama pelayanan kesehatan untuk keluarga miskin (gakin).

Meskipun pemerintah telah meluncurkan program jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) namun pada kenyataanya program tersebut masih saja menyisakan beragam masalah baru. Mulai dari problem kualifikasi gakin yang berhak mendapatkan kartu jamkesmas hingga tengara nepotisme dalam proses identifikasi dan verifikasinya. Namun problem utamanya adalah diskriminasi pelayanan yang diberikan oleh petugas Rumah Sakit pemerintah atau Puskesmas kepada gakin pemegang kartu jamkesmas meskipun secara legal mereka berhak mendapatkan pelayanan setara dengan yang lain. Seakan melanggengkan budaya feodal, pelayanan kesehatan kepada gakin tersebut selalu masuk dalam antrian paling belakang. Ini ironis jika melihat fakta bahwa mayoritas pasien Rumah Sakit pemerintah adalah gakin

Membeludaknya pasien di tempat praktek dukun cilik Ponari adalah refleksi buruknya pelayanan serta mahalnya biaya kesehatan yang disediakan oleh pemerintah. Lihat saja, Ponari hanya memasang tarif 5.000 rupiah, itupun bagi yang mampu. Jika tidak mampu boleh langsung pulang sambil membawa obat tanpa harus mengisi kotak amal dan bebas dari perasaan kuatir harus meninggalkan jaminan seperti yang sering dilakukan oleh Rumah Sakit jika si pasien gakin mengalami gagal bayar.

Mahalnya tarif konsultasi dokter dan juga harga obat memaksa gakin untuk mencari pengobatan alternatif semacam Ponari. Mereka pasti tidak akan mau mengantri hingga berjam-jam bahkan berhari-hari untuk sekedar mendapat celupan batu bertuah itu andai pelayanan kesehatan yang menjadi tanggung jawab pemerintah mampu memuaskan mereka.

Keberpihakan kepada gakin dalam pelayanan kesehatan memang seringkali mendapat sorotan. Di saat Rumah Sakit berlomba-lomba membangun pavilyun bertaraf hotel bintang lima dan bertarif ratusan ribu bahkan jutaan rupiah per malam, kita masih menyaksikan antrian panjang mengular di loket yang disediakan untuk gakin pemegang kartu jamkesmas. Pasien gakin terkesan dilayani ala kadarnya sebagai formalitas telah dilaksanakannya program jamkesmas. Coba bandingkan jika yang sakit adalah orang berduit, pelayanan prima yang menjadi motto tiap Rumah Sakit tentu akan langsung diperlihatkan. Padahal, pelayanan kesehatan tanpa diskriminasi adalah hak setiap warga negeri ini.

Dalih mahalnya biaya menjadi dokter serta fakta tertutupnya sistem distribusi farmasi harus segera didobrak. Obat generik yang jamak kita jumpai diresepkan untuk gakin seyogianya tidak beda secara kualitas dengan obat umum yang biasanya berharga lebih mahal. Jangan sampai pasien gakin justru bertambah penderitaannya akibat pola pelayanan kesehatan yang tidak berpihak kepada mereka. Khusus untuk masalah tertutupnya sistem distribusi farmasi, pemerintah harus berani mengambil langkah tegas guna menghapus citra negatif peran dokter sebagai salesman terselubung dalam mekanisme distribusi obat.

Satu catatan yang tidak kalah penting adalah potensi bisnis bidang pelayanan kesehatan. Menurut pengakuan Senen, kakek Ponari, per tanggal 6 Februari lalu dia telah menyetorkan uang ke bank hasil kotak amal yang ditaruh di halaman rumahnya sebesar 326 juta rupiah. Sebuah angka yang fantastis mengingat Ponari baru membuka praktek sekitar pertengahan Januari lalu. Itu pun tanpa patokan tarif alias sukarela. Belum lagi nilai pendapatan dari karcis antrian yang dijual 1.000 rupiah. Dengan jumlah pasien 10.000 hingga 15.000 orang per hari kita bisa hitung dengan gampang uang yang masuk ke kantong Ponari dan kerabatnya. Lalu pendapatan dari jasa parkir kendaraan para pasien. Singkatnya, jutaan rupiah dapat terkumpul dalam waktu singkat.

Lalu bagaimana dengan lembaga penyedia layanan kesehatan pemerintah ? Setali tiga uang dengan fenomena Ponari, Rumah Sakit seringkali dijadikan sebagai mesin uang oleh kepala daerah yang kurang kreatif dalam mendulang PAD. Pada beberapa kabupaten / kotamadaya di Jawa Timur, berdasarkan temuan LSM yang concern di bidang APBD terungkap fakta bahwa lebih dari 50 persen PAD mereka berasal dari Rumah Sakit yang (lagi-lagi) mayoritas pasiennya adalah gakin. Ironis memang, sebab dana tersebut kemudian diputar kembali untuk program jamkesmas yang diperuntukkan bagi gakin.

Lingkaran setan pelayanan kesehatan khususnya bagi gakin ini menjadi PR buat pemerintah untuk bekerja lebih keras menuntaskan problematika pelayanan kesehatan. Jika pelayanan kesehatan tetap seperti saat ini jangan salahkan jika gakin lebih antusias berobat kepada Ponari dan rekan sejawat ketimbang ke Rumah Sakit atau Puskesmas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar