Jumat, 06 Februari 2009

Tentang Fatwa Rokok MUI

Jika anda termasuk orang yang tidak merokok dan benci dengan asap rokok yang biasa disemburkan oleh para perokok aktif anda patut berbahagia, karena beberapa waktu lalu MUI telah mengeluarkan fatwa haram terhadap rokok. Sayangnya, fatwa tersebut terkesan setengah hati. Karena rokok hanya diharamkan untuk anak-anak, remaja dan ibu menyusui saja, sementara untuk orang tua tidak. Disinilah letak persoalannya. MUI tidak total dalam menempatkan rokok sebagai sebuah obyek yang bisa dengan mudah mereka permainkan.

Selama ini kita tahu bahwa lembaga MUI memiliki semacam kartu sakti dalam berbagai persoalan yang menyangkut banyak hal. MUI memiliki area dari urusan perut hingga persoalan yang menyangkut akidah keislaman. Dan untuk urusan rokok semestinya MUI tidak perlu ragu dalam memberikan fatwanya. Toh, tidak semua orang percaya fatwa MUI akan setajam taring harimau seperti yang diharapkan banyak orang.

Terkait dengan persoalan fatwa haram tersebut, ada beberapa persoalan yang selalu membayangi dimanapun para perokok berada. Pertama, bahwa merokok itu mengganggu kesehatan, kedua, kebiasaan membeli rokok mengganggu kesehatan finansial. Kemudian ketiga, asap rokok mengganggu orang di sekitar perokok (perokok pasif), dan terakhir sebagai sebuah bagian dari aktifitas ekonomi, merokok berarti menghidupi pabrik rokok yang menjadi gantungan hidup berpuluh ribu orang yang berada dalam aliran jalur ekonomi.

Sederhananya adalah bahwa aktifitas merokok itu bagaikan pedang bermata 2. Di satu sisi, merokok bisa jadi berarti negatif bila ditinjau dari aspek kesehatan dan ketahanan finansial. Tetapi di sisi lain membeli rokok berarti menggerakkan roda ekonomi, membuat pabrik tetap bertahan hidup, ikut andil dalam menggaji buruh pabrik, karyawan distribusi, grosir hingga pemilik warung-warung penjual rokok eceran.

Ketika MUI kemudian merilis fatwa haram untuk rokok, ini juga menimbulkan efek yang yang juga bermakna ganda. Semua tahu maksud MUI baik, yaitu mendukung masyarakat Indonesia yang sehat, baik secara lahir maupun sehat secara finansial walaupun tidak secara langsung. Namun fatwa tersebut bagi sebagian orang yang terlibat dalam aktifitas ekonomi per-rokok-an bisa jadi dianggap ancaman. Tidak kurang dari asosiasi petani tembakau di Jember yang menolak fatwa haram tgersebut.

Ini berarti bahwa fatwa tersebut bukan sebuah solusi seperti yang diharapkan banyak pihak. Fatwa tersebut justru membuat persoalan baru yang dapat memicu trickle down effect lebih besar dari sekedar persoalan sehat paru-paru, kehamilan dan janin dan sehat finansial.

Bila terkesan berlebihan mari kita tengok fakta yang ada di lapangan. Bila anda tinggal di Kediri, Kudus, Malang dan sekitarnya. Atau minimal anda pernah mengunjungi kota-kota sentra produksi rokok tersebut, maka anda akan faham dengan maksud saya. Kediri misalnya, sebagai sebuah kota yang terkenal dengan salah satu merk rokoknya yang telah mendunia. Kita bisa saksikan bila sore menjelang ribuan bahkan puluhan ribu buruh pabrik rokok tersebut memenuhi jalan-jalan di kota Kediri. Baik yang mengendarai sepeda “onthel” (angin), sepeda motor sampai yang mencarter kendaraan minibus secara bersama-sama, semua tumpah ruah di jalanan jika pagi menjelang masuk kerja dan sore seusai lonceng tanda pulang dibunyikan.

Ini memberikan semacam sinyal kepada kita bahwa dengan menurunnya penjualan rokok yang diakibatkan oleh fatwa haram tersebut akan berakibat pada berkurangnya dan bahkan berhentinya proses produksi pada beberapa pabrik rokok. Selanjutnya pabrik terpaksa mengadakan rasionalisasi jumlah buruh, lalu pengangguran meningkat. Dengan jumlah pengangguran yang semakin tinggi maka yang terjadi kemudian adalah meningkatnya tingkat kriminal sebagai akibat dari upaya pemenuhan kebutuhan hidup yang tersendat. Bisa jadi terdengar berlebihan jika dikaitkan dengan tingkat kriminal yang akan meningkat, namun efek sosial tersebut sudah sering terlihat pada beberapa kasus semirip yang terjadi sebelumnya.

Hal ini menuntut MUI untuk lebih bijak dalam memutuskan sesuatu sebelum dijadikan sebuah fatwa. MUI yang berisi para Ulama (orang-orang yang berilmu) dituntut lebih komprehensip dalam melakukan pertimbangan, sehingga fatwa yang dilontarkan tidak menambah masalah baru yang justru lebih besar dan lebih membahayakan daripada masalah yang telah ada sebelumnya.

Kajang, 30 Januari 2009
13:59 WIB

(ronce-ronce, by didi kempot)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar