Senin, 09 Februari 2009

Mereduksi Kesenjangan

Beras dan gula mahal, minyak langka, biaya pendidikan tidak terjangkau hingga tengara diskriminasi dalam pelayanan kesehatan kepada keluarga miskin (gakin) menjadi konsumsi kita sehari-hari dalam tayangan media cetak maupun elektronik. Belum lagi permasalahan korupsi, pungli hingga gratifikasi yang mengakrabi ranah birokrasi negeri ini. Isu-isu tersebut juga kencang dihembuskan oleh bebepara LSM yang concern terhadap berbagai masalah sosial bangsa.

Permasalahan yang datang dan melanda secara bertubi-tubi ini menantang kita untuk menyelesaikannya secara komprehensif. Kita dapati berbagai macam upaya telah dilakukan, baik oleh lembaga pengambil kebijakan maupun masyarakat secara mandiri dalam kelompok-kelompok sosial yang kecil. Namun dari hari ke hari nampaknya sinar cerah belum juga nampak, matahari yang mencerahkan sekaligus menghangatkan seakan malas menampakkan dirinya secara utuh.

Berbagai kajian serta diskusi publik dilakukan dan ditindaklanjuti. Ahli-ahli dunia dimintai pendapat, bahkan sarannya dijadikan pijakan dalam proses pengambilan kebijakan publik. Namun hasil positifnya belum juga nampak berpihak kepada bangsa ini. Kondisi ini mendorong munculnya pemikir-pemikir baru yang secara simultan tidak pernah lelah memberikan perhatian penuh kepada berbagai persoalan negeri ini.

Dari sekian kajian yang pernah dilakukan serta telah mejadi semacam rekomendasi tindak lanjut, nampaknya terdapat satu persoalan yang menjadi akar dari (hampir) segala permasalahan yang melanda bangsa ini. Persoalan tersebut adalah kesenjangan sosial yang menganga lebar bahkan telah menjadi jurang pemisah yang sedemikian dalam antara si kaya dan si miskin.

Mari kita ulas secara sederhana bagaimana persoalan kesenjangan ini berbuntut panjang. Poin penting yang harus selalu kita pegang sebagai amanah dari founding fathers bangsa ini adalah sila kelima dari Pancasila yang berbunyi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.

6 kata dalam kalimat tersebut memuat arti yang sangat dalam sekaligus mulia. Pendiri bangsa ini mengidealkan satu keadaan dimana seluruh rakyat negeri yang terhampar luas di garis katulistiwa ini dapat menikmati keadilan dari seluruh potensi kekayaan yang terkandung di dalamnya. Baik di darat dengan kesuburan tanahnya, di laut dengan potensi hasil ikan dan tambang minyak lepas pantainya serta di udara dengan segala kekayaan oksigen yang bisa dinikmati gratis hingga potensi triliunan rupiah sebagai konsekuensi ekonomi hasil dari aktifitas teknologi informasi.

Setelah merdeka lebih dari 60 tahun cita-cita mulia tersebut belum juga nampak. Yang terjadi justru sebaliknya. Sektor ekonomi dikuasai oleh beberapa gelintir orang yang memiliki penghasilan bersih mencapai 13 digit per tahun. Di sisi lain berita kelaparan, gizi buruk serta perkara kriminal yang didasari oleh persoalan isi perut selalu menghiasi media massa kita. Ini menyadarkan kita bahwa distribusi pendapatan tidak merata dan telah membentuk grafik dengan range yang sangat lebar antara grup berpendapatan tertinggi dengan grup berpendapatan terendah.

Lebarnya range tersebut pelan tapi pasti terus melebar seiring dengan perkembangan waktu. Artinya, dari tahun ke tahun amanat pendiri bangsa untuk berkeadilan sosial menjadi terabaikan. Kita yang mati-matian mengecam paham kapitalisme ternyata juga menerapkannya, baik terang-terangan maupun semu. Bila mau jujur, siapa yang tidak tergiur dengan paham yang mengedepankan gelimang uang, uang dan uang tersebut ? Padahal dalam setiap even kita selalu menempatkan diri berseberangan dengan paham tersebut, baik secara perorangan maupun kelembagaan. Ironis memang, tetapi itulah kenyataan yang terjadi.

Kondisi ini tidak boleh dibiarkan berlarur-larut. Lebarnya range telah menciptakan kelas sosial yang sangat beragam. Meskipun secara statistik kita hanya mengenal golongan atas, menengah dan bawah namun pada kenyataannya kelas sosial dalam struktur masyarakat kita sangat beragam. Ini menyulitkan upaya memetakan profil pada setiap kelas demi identifikasi standart kelayakan hidup. Misalnya saja saat penetapan kriteria gakin yang berhak mendapatkan jatah raskin (beras untuk rakyat miskin). Keberagaman kondisi riil di tiap daerah memaksa munculnya kriteria yang didasarkan atas profil masyarakat ibu kota (Jakarta). Ini tentu menimbulkan masalah jika diterapkan di daerah lain. Dengan parameter yang sama kriteria gakin tersebut sulit untuk bisa lagi ditemukan, atau bahkan tidak mungkin lagi ditemukan.

Mempersempit range kesenjangan kelas sosial harus menjadi prioritas kerja para pengambil kebijakan negeri ini. Dan, cara yang paling sederhana adalah dengan mendorong naik grup berpendapatan terbawah, dan dalam waktu bersamaan menurunkan level pendapatan grup berpendapatan tertinggi. Upaya ini tentu dengan beragam konsekuensi, yang didorong naik tentu senang, namun grup berpendapatan teratas tentu akan melakukan perlawanan. Demi kepentingan yang lebih besar ini harus dilakukan, bukan hanya berlandaskan amanah pendiri bangsa tetapi juga atas nama kesetaraan martabat manusia Indonesia.

Mendongkrak grup berpendapatan terendah bukan perkara mudah. Selama ini sering kita jumpai keengganan untuk meninggalkan level tersebut secara masif. Artinya mereka sudah merasa bahwa di situlah comfort zone mereka. Secara psikologis mereka yang menempati level tersebut telah menjatuhkan vonis kepada diri mereka sendiri bahwa di situlah tempat mereka.

Mandiri secara finansial adalah mimpi setiap orang. Namun hanya sedikit yang mau menebus harga kemandirian tersebut. Ini yang harus secara kontinyu didesakkan kepada mereka. Adalah percuma segala macam program kemandirian secara ekonomi diluncurkan namun tidak dibarengi dengan upaya penyadaran diri bahwa sukses secara finansial itu berharga mahal. Harus ada yang dikorbankan, baik itu waktu, tenaga serta berbagai bentuk kesenangan semu yang seringkali menjerat langkah kaki mereka.

Kesadaran itu pada gilirannya akan menjadi pondasi yang kokoh untuk berbagai macam program kemandirian ekonomi yang akan melibatkan mereka di dalamnya. Tidak usah terlalu pusing memikirkan bentuk program, kita telah memiliki sebentuk badan usaha yaitu koperasi yang sedari dulu telah kita yakini mampu menjadi penopang utama sistem ekonomi bangsa ini. Jika teori berkoperasi baik berarti kita tinggal mempersiapkan pelakunya sebaik mungkin sehingga potensi penyimpangan dapat diminimalisir.

Mengapa koperasi ?
Sebab secara kelembagaan kita sudah memiliki badan publik tersebut sampai pada level pemerintahan terendah yaitu desa dengan KUD-nya. Jadi, KUD itu saja yang sebaiknya kita kelola dengan sentuhan manajemen gaya baru yang mengedepankan profesionalisme dan profit oriented. Semua aktifitas ekonomi pedesaan dipusatkan di KUD. Misalnya bidang pertanian, mulai dari penyediaan benih tanaman, alat pertanian, distribusi pupuk dan obat hama hingga distribusi hasil panen terpusat di KUD sehingga KUD bisa menjadi sentra aktifitas ekonomi yang benar-benar menghidupkan perekonomian warga.

KUD juga dapat dipakai sebagai alat untuk terbentuknya serta terjaganya fair price setiap produk konsumsi yang masuk ke daerah tertentu, terutama dalam distribusi sembako. Artinya dengan pola kepemilikan bersama semacam KUD menjadikan KUD sebagai sebuah lembaga ekonomi yang tidak melulu memikirkan profit namun juga sebagai pengendali harga produk konsumsi yang selama ini sering berfluktuasi bahkan tidak jarang volatil.

Demikian juga dengan program-program lain yang biasanya diluncurkan oleh pemerintah, pusatkan saja semuanya di KUD. Ini menjadikan KUD berdaya secara ekonomi, memiliki nilai tawar yang cukup kuat saat berhadapan dengan partner bisnisnya sehingga mendorong terbentuknya SHU yang akan kembali lagi kepada para anggotanya.

Terdengar seperti mimpi memang, sebab selama ini kita telah dapati berbagai macam bentuk penyelewengan yang dilakukan oleh oknum pengelola KUD. Namun tidak ada salahnya jika upaya perbaikan ini dilakukan secara nasional dengan melibatkan seluruh komponen warga. Jika dilakukan bersama-sama, tentu upaya mengentas grup berpendapatan terendah ini akan menjadi lebih ringan.

Lalu bagaimana cara mengerem pendapatan masyarakat pada level tertinggi ? Kunci utamanya adalah penanaman jiwa nasionalisme dalam diri setiap warga negara. Sadarkan mereka bahwa kita hidup secara kolektif di sebuah negara yang berseberangan dengan paham kapitalisme. Kaya tidak dilarang, namun harus memiliki sense of humanity yang kuat kepada kelas sosial yang berada pada level di bawahnya.

Para konglomerat yang menempati kelas sosial level tertinggi berjumlah paling kecil, namun memiliki pengaruh paling besar dalam penentuan arah kebijakan negara baik secara ekonomi maupun politik. Bahkan ada potensi untuk menguasai aset-aset strategis bangsa yang semestinya digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Ujung-ujungnya bermuara pada syahwat berkuasa yang dibalut dengan berbgai macam aktifitas ekonomi. Ini membahayakan, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Langkah paling mujarab untuk mengerem laju kuasa kapital tersebut adalah dengan diterbitkannya regulasi (undang-undang) yang membatasi kepemilikan aset baik secara perorangn maupun kelembagaan. Terasa aneh memang, apalagi di tengah arus globalisasi yang mendorong siapapun untuk berkuasa secara kapital. Namun ini penting untuk kepentingan nasional. Coba kita lihat keadaan para konglomerat kita saat ini. Siapa saja mereka, siapa di belakang mereka, apa saja bisnisnya serta bagaimana kepedulian sosial mereka ?

Satu dua orang memang telah memiliki kesadaran untuk menyisihkan sebagian keuntungan usahanya untuk kepentingan sosial, baik melalui program CSR maupun program lain yang secara langsung menyentuh masyarakat kelas bawah. Namun dari istilahnya saja (menyisihkan) kita bisa tahu bahwa persentasenya masih jauh dari cukup untuk mengatasi persoalan-persoalan sosial sebagai akibat dari aktifitas bisnis yang mereka lakukan. Ini harus direvolusi, wakil rakyat harus mampu mendorong pemerintah sebagai pengambil kebijakan untuk melakukan penataan ulang terhadap level teratas ini.

Harus diambil langkah berani berupa pembatasan kekayaan para pemilik perusahaan berupa penyertaan buruh dalam kepemilikan saham tempat mereka bekerja. Secara teknis, selain upah yang diterima, buruh juga berhak menerima share (saham) dari perusahaan tempatnya bekerja. Pertimbangan yang dilakukan bisa berupa masa kerja buruh atau prestasi kerja buruh. Atau dari sisi perusahaan bisa ditentukan batas atas kepemilikan aset, baik yang likuid maupun yang fixed. Sehingga saat perusahaan telah mencapai titik yang telah ditentukan tersebut mereka wajib membagikan kepemilikian sahamnya kepada para buruh. Dengan demikian semakin besar sebuah perusahaan maka pemilik beserta buruh dapat maju secara bersamaan secara finansial.

Hubungan mutual tersebut akan berlangsung harmonis selagi perusahaan menjalankan menejemennya secara terbuka dan sehat. Artinya ada kerjasama yang saling menguntungkan, satu sisi pemilik perusahaan dibantu buruh dalam menghasilkan keuntungan melalui proses produksi beserta segala aktifitas yang dijalankannya. Di sisi pemilik perusahaan (konglomerat) berperan aktif dalam mendongkrak posisi kelas sosial para buruh yang tergabung dalam perusahaannya. Sehingga secara sinergi keadaan ini akan mempersempit range kelas sosial antara level atas dan level bawah.

Bukan seperti kondisi saat ini dimana posisi buruh hampir selalu dikalahkan oleh para pemilik perusahaan. Buruh memiliki nilai tawar yang lemah di hadapan perusahaan. Sehingga hubungan yang terbangun selalu menegangkan dan berprinsip “law and punishment”. Tentu saja hubungan yang tidak harmonis ini menyulitkan terwujudnya tatanan masyarakat madani seperti yang diimpikan oleh pendiri bangsa ini serta dicita-citakan oleh semua komponen bangsa.

Harus diakui bukan pekerjaan mudah menuntaskan 2 poin di atas. Namun, niat baik yang terus didengungkan sekaligus dibarengi dengan usaha keras yang pantang menyerah layak untuk dilakukan. Kita harus memelihara mimpi indah sejajarnya bangsa ini dengan bangsa lain yang telah lebih dulu meraih kemakmuran demi terjaganya semangat kerja keras kita.

Resep sederhana yang berbunyi : dimulai dari yang kecil, dari diri kita sendiri dan dari saat ini nampaknya harus dilakukan untuk mendorong terwujudnya mimpi manis berupa kemakmuran bangsa ini.

Langkah pertama dengan mempersempit kesenjangan sosial yang saat ini menganga sangat-sangat lebar antara level atas dan bawah. Jika range tersebut telah sukses kita persempit maka langkah selanjutnya akan mengalir dengan lebih mudah. Sebut saja masalah mahalnya pendidikan, atau diskriminasi layanan kesehatan kepada gakin. Dua persoalan tersebut bahkan akan dapat dihindarkan bila level terbawah dalam kelas sosial kita berhasil naik dan level teratas “mau” turun atau minimal tetap diam di tempat. Artinya ada perbaikan pendapatan pada level terbawah, sementara pada level teratas rela berbagi demi terciptanya tatanan ideal masyarakat yang mandiri secara finansial..

Wakil rakyat harus menjalankan fungsinya berdasarkan amanah daulat rakyat. Pemerintah sebagai lembaga eksekutif harus berani melakukan setiap program yang diamanahkan undang-undang secara strict dan disiplin. Penegak hukum sebagai ujung tombak ketertiban berbangsa dan bernegara harus berjalan lurus melaksanakan amanah hukum tanpa kompromi. Rakyat sebagai komponen paling bawah harus berperan sebagai rakyat, aktif melakukan pengawasan pelaksanaan setiap kebijakan yang dirilis pemerintah. Bukan berlaku apatis dan masa bodoh terhadap permasalahan bangsa.

Inilah tatanan yang selalu diidealkan, rakyat berdaulat atas negeri ini secara utuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar