Jumat, 06 Februari 2009

Haji

Bulan ini kata orang Jawa adalah bulan besar, kata orang Sunda dan Melayu bulan haji. Disebut bulan haji karena memang saat ini bertepatan dengan berkumpulnya 4 juta jamaah haji dari seluruh penjuru dunia di Mekkah al Mukaromah, tanah suci umat islam.

Kewajiban berhaji termaktub dalam rukun islam tepatnya yang kelima, detailnya berbunyi “Menunaikan ibadah haji bila mampu”. Kalimatnya jelas, bila mampu. Artinya ibadah haji berbeda dengan jenis ibadah yang lain karena bagi yang tinggal di belahan dunia yang berjauhan dengan Mekkah, maka berhaji butuh biaya besar dan butuh waktu yang tidak sedikit. Intinya pengorbanan yang dilakukan memang besar.

Dengan sedikit berpikir usil saya berpendapat bahwa selama ini kita telah ditipu oleh orang Arab. Bayangkan saja, untuk menggenapi rukun islam kita harus bersusah payah ke negeri mereka dengan biaya yang demikian mahal. Dengan iming-iming bisa mabrur serta mustajabnya doa serta pengharapan kita, terutama dalam tempo 40 hari sepulang dari Mekah.

Seakan telah tertanam di dalam otak kita bahwa dengan ber-Haji maka harkat dan martabat kita akan terangkat tinggi, setinggi yang kita angankan. Dengan berpeci putih lalu berkepala botak serta beberapa atribut lain sepulang haji maka kita akan mendapatkan imbalan yang demikian luar biasa dari Allah.

Benarkah demikian ? Memangnya Allah seperti yang kita duga ? Allah semurah itu, sedangkal itu ? Astaghfirullah….

Mari bertafakkur berdasar sejarah,
Adakah kita jumpai Rasulullah Muhammad SAW memakai gelar Haji ? Adakah para khulafaurrasyidin memakai gelar Haji ? Adakah para wali songo memakai gelar Haji ? Padahal beliau-beliau berada di garis terdepan dalam ber-Islam. Apakah kita tidak merasa malu dengan menyematkan gelar haji di depan nama kita ? Andai beliau-beliau itu masih ada…

Berasa aneh kan ? Kalau Rasulullah saja tidak memakai gelar haji lalu mengapa warga muslim di tanah air (hampir) selalu menambahkan satu huruf H di depan namanya ? Mengapa kemana-mana selalu mengenakan peci putih setelah pulang ihram ? Dan mengapa setiap didatangi oleh tamu lalu dimintai barokah doa selalu mengiyakan lalu langsung mengambil sikap menengadahkan tangan dengan mulut komat kamit seakan bisa merubah nasib seseorang ? Bila mau berpikir lebih lanjut bukankah itu semacam perilaku kesombongan (riya’), agar setiap orang yang bertemu denganya menyimpulkan bahwa dia telah ber-Haji.

Maka itu, secara cerdas kita harus melakukan perenungan kembali terhadap rukun islam yang kelima tersebut beserta segala hal yang menjadi implikasinya. Kita sudah rela melepas uang sekian puluh juta rupiah untuk menunaikan ibadah haji dengan harapan bisa menjadi haji mabrur. Tetapi apa yang kita dapatkan ? Benarkah kita telah mendapatkannya atau ternyata kita sekedar menjadi wisatawan yang justru membuat Kerajaan Arab semakin kaya dengan devisa yang mengalir deras ke kantong mereka selama musim haji ?

Wallahu ‘alam…perenungan-perenunangan yang kita lakukan bermanfaat untuk menuntun kita menuju taqwallah, menuju keadaan yang seharusnya terjadi untuk kita. Bukan kepada kondisi yang hanya sebatas angan, sebatas keinginan untuk memenuhi rukun islam, itba’ Rasulullah atau orang Arab kita tidak pernah bisa membedakan.

Oleh karena itu, menjadi penting bagi umat islam untuk lebih banyak melakukan perenungan, bertanya kepada pribadinya dan bukan melihat keadaan sekitar lalu ikut-ikutan yang justru seringkali hanya nampak bagus di kulit luarnya saja. Dengan begitu, maka kerelaan dan keikhlasan akan senantiasa menghiasi hati umat islam.

Pratama, 14 Januari 2008
20:29 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar