Kamis, 08 Januari 2009

Laki-laki Pemalu

Dion, begitu orang sekampung biasa memanggilnya. Nama lengkapnya adalah Ngadiono bin Mustafa Djakfar. Dia memilih nama panggilan dengan sebutan keren, Dion, setelah memutuskan hijrah ke Jakarta 8 tahun silam. Di kampungnya, sebuah tempat asri di pinggiran sungai brantas di Jawa Timur dia biasa dipanggil Ngadi, namun untuk menyesuaikan dengan pergaulan di Jakarta dia mengubah panggilannya dari Ngadi ke Dion.

Di lingkungan barunya, kawasan kebayoran lama, Dion dikenal sebagai pemuda yang pendiam, tidak banyak tingkah dan cenderung pemalu. Sangat jarang para tetangganya melihat Dion tertawa terbahak-bahak. Paling kalau bertemu hanya bertegur sapa secukupnya, saling melempar senyum bahkan tidak jarang hanya sekedar menganggukkan kepala tanda hormat.

Pun juga para tetangga tidak pernah tahu apa pekerjaan Dion sebenarnya. Para tetangga hanya tahu, pagi sekali sekitar jam 6 lebih sedikit Dion sudah meninggalkan kamar kosnya dengan tas reansel besar di punggungnya dan menjelang tengah malam baru pulang ke kosnya, tetap dengan tas besar menggelantung di punggungnya. Para tetangga tidak tahu pasti apa pekerjaan Dion, mereka hanya tahu Dion suka membantu bila ada tetangga kesulitan keuangan, menyumbang kas masjid, memberi uang jajan kepada anak-anak tetangga serta kebaikan lain yang sejenis dengan itu.

Boleh dikata, semua cap kebaikan telah melekat dalam diri Dion meski warga sekitar tidak pernah tahu Dion dengan sesungguhnya. Warga pun seolah tidak peduli dengan latar belakang Dion, pekerjaan Dion, dan lain-lain tentang Dion. Mata mereka telah tertutup dengan keseharian Dion yang menunjukkan sikap baik dan seakan tanpa masalah dengan warga sekitarnya.

Sampai pada suatu malam, warga sekitar jalan Limo Kebayoran Lama dikejutkan oleh kemunculan sepasukan polisi berpakaian lengkap dengan senjata laras panjang siap menyalak kapan saja. Setelah beberapa saat sang komandan berbincang dengan pak RT pasukan polisi itupun menuju rumah kos Dion. Ini yang membuat warga bertambah heran. Mereka berbisik-bisik, berkasak-kusuk apa yang telah dilakukan Dion. Mengingat di rumah kos tersebut ditinggali Dion saja meskipun sebenarnya ada 4 kamar lain di sisi belakang.

Warga bertambah penasaran ketika mulai terdengar kata-kata “jangan lari”, “rumah ini sudah dikepung”, “angkat tangan dan meyerahlah” dan lain sebaginya sambil diiringi bunyi letusan pistol beberapa kali. Kegaduhan yang membangunkan warga sekitar rumah kos Dion. Warga berbondong-bondong menuju rumah kos Dion, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Selang 15 menit kegaduhan berhenti, warga tidak bisa terlalu dekat melihat rumah kos Dion karena polisi telah memasang garis polisi yang mengelilingi rumah kos tersebut. Beberapa saatkemudian, datang mobil ambulance polisi menyibak kerumunan warga. Dan tidak lama kemudian dari dalam rumah kos Dion warga semakin terkejut mendapati Dion terbaring tak berdaya didorong memasuki ambulance yang telah menunggu di luar rumah.

Warga bertanya-tanya apa kesalahan Dion, mereka saling bertanya tanpa ada satupun yang dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Muncul berbagai macam spekulasi mulai dari Dion yang pengedar narkoba, Dion yang teroris, Dion yang perampok, Dion yang anggota preman dan lain sebagainya.

Rasa penasaran warga sedikit terbayar saat polisi memberikan sedikit ruang kepada warga untuk bisa melihat dari kejauhan kamar kos Dion yang memang paling depan dengan jendela kaca tertutup gorden biru yang tidak pernah terbuka. Warga terbelalak menyaksikan koleksi 7 tengkorak manusia yang dijadikan hiasan dinding kamar Dion, Juga tumpukan tulang belulang manusia yang ditemukan tersimpan rapi di sebuah kotak kayu di bawah tempat tidur Dion.

Warga semakin terbelalak tatkala mendapati seorang polisi yang membawa sebuah penggorengan yang berisi potongan kaki manusia dengan aroma bumbu kecap.

Besok paginya headline koran seantero Jakarta berbunyi “Pemuda kanibal ditangkap di kamar kos”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar