Kamis, 08 Januari 2009

Food court

Namanya cukup keren, food court. Bagi sebagian orang food court merupakan tempat yang benar-benar bisa menaikkan standart gaya hidup. Padahal food court tidak beda dengan warung, kedai, depot atau istilah lain yang mengarah pada tempat pedagang makanan. Lalu, apa yang menarik dari food court ? Makanannya sama saja, tempat duduknya juga sama saja, harganya bahkan cenderung lebih mahal. Yang membuatnya terlihat beda adalah istilah bahasanya dan suasananya. Sebab ada satu keyakinan dari beberapa golongan masyarakat bahwa dengan makan di food court berarti gengsi kita akan terangkat. Bahwa dengan makan di food court ada jaminan layak konsumsi dari makanan yang disajikan. Bahwa dengan makan di matos akan menghindarkan kita dari gangguan pengemis yang biasa berseliweran di warung-warung tradisional. Dan bahwa-bahwa lainnya.
Dan seperti sore itu, food court salah satu mal di samping TMP di Malang dipadati pengunjung yang bermaksud makan sore. Hampir semua kursi dipenuhi orang yang sedang makan atau menunggu datangnya makanan yang sudah dipesan. Atau masih milih menu apa yang cocok sore itu.
Suasana benar-benar meriah. Suara sendok yang beradu dengan piring sesekali terdengar di sana-sini menambah riuh suasana. Belum lagi suara tak-tik-tok sepatu hak tinggi yang dipakai oleh gadis-gadis ABG yang lalu lalang. Dan dari penampilan fisik pengunjungnya rasanya food court memang tempat makan orang-orang yang berkantong tebal.
Kultur nongkrong di warung
Kebiasaan nongkrong di warung sifatnya genetis atau turun temurun. Meskipun tidak ada penelitian yang khusus mengenai hal itu, namun seorang anak mempunyai kecenderungan yang sangat tinggi untuk menirukan perilaku orang tuanya. Jadi kalau bapak atau ibunya, atau bahkan dua-duanya memiliki kebiasaan nongkrong di warung, bukan perkara sulit bagi anak untuk menirukannnya.
Beragam alasan yang sering dinyatakan orang untuk menutupi kebiasaan mereka nongkrong di warung. Pertama, tidak memasak. Ini bisa berarti dia single atau sudah berkeluarga tetapi memang tidak pernah memasak. Kita bisa memakluminya. Tetapi apa harus di food court ? Kenapa tidak di warteg saja misalnya, yang menawarkan harga murah serta menu yang beragam dan kebersihannya juga terjaga. Bahkan kalau mau berpikir lebih dalam dengan makan di warteg maka kita bisa berkontribusi dalam menggerakkan ekonomi kerakyatan. Beda dengan makan di food court yang justru memupuk kekayaan kaum kapitalis. Tapi masak iya sih perkara makan saja sampai disangkut-pautkan dengan kapitalisme segala ? Lihat saja siapa yang punya food court ? Tapi lain soal kalau kita memang pendukung paham kapitalis.
Kedua, Kita makan di food court karena ingin dimasukkan dalam strata sosial yang tinggi. Ekonomi kuat, keluarga sejahtera. Gengsi karena ajakan teman kerja sehingga memaksa kita keluar uang lebih besar untuk sepiring nasi dan segelas minuman. Sebab kalau ajakan mereka kita tolak kita khawatir dinilai nggak gaul, katrok ! Padahal nasinya sama, lauknya sama, airnya pun juga sama. Besok pagi saat dibuang bentuknya pun tidak beda kan ? Apakah dengan kita makan di food court akanmenghasilkan kotoran yang bentuknya lebih indah, lebih banyak, lebih warna-warni ? Tidak kan ?
Ketiga, Gaya hidup masyarakat kita. Dengan porsi kelas menengah yang demikian tebal dalam struktur masyarakat kita akan menghasilkan perilaku sosial yang semu alias serba menengah juga. Maunya bergaya hidup metropolis, makan di tempat-tempat yang terlihat mewah agar dihargai orang. Namun seleranya tetap. Di food court pun harus ngitung uang di dompet dulu. Cukup nggak untuk bayar semangkuk sup tom yam misalnya. Nah, setelah dihitung-hitung nggak cukup akhirnya pilihan jatuh pada nasi pecel plus sayur lodeh dilengkapi dengan minuman air putih. Yang penting bisa bercerita ke tetangga atau teman kantor bahwa tadi siang makan di food court tapi apa yang dimakan tidak diceritakan.
Sisa
Beberapa orang memiliki kebiasaan makan yang sungguh aneh, yaitu menyisakan makanan. Tidak jelas apa tujuannya. Namun dari beberapa pembicaraan dengan pelaku alasan utamanya adalah karena mereka tidak benar-benar lapar sebelum makan. Jadi makan dianggap sebagi sebuah rutinitas mekanis yang dimulai dari makan pagi, makan saing dan makan malam. Lapar ataupun tidak asalkan sudah masuk jam makan ya makan. Akibatnya, beberapa orang memiliki kebiasaan tidak menghabiskan makanannya. Apalagi di food court, dari sekitar 10 meja yang baru saja dipakai makan oleh pengunjung sore itu, ada sekita 7 meja dengan piring di atasnya masih terdapat sisa makanan, baik berupa nasi ataupun juga lauknya, bahkan dua-duanya.
Mungkin mereka malu diperhatikan orang lain kalau harus membersihkan makanan di piringnya. Kuatir dinilai rakus atau memiliki kebiasaan makan yang buruk. Kuatir diturunkan kelas sosialnya karena kebiasaan menghabiskan makanan dianggap menjijikkan. Pemikiran yang aneh tapi banyak dilakukan.
Apakah mereka tidak berpikir bahwa mereka telah membuang uang mereka sendiri. Bagi yang belum bekerja, yang masih menggantungkan hidup dari orang tuanya semestinya mereka menghargai kerja keras orang tuanya dengan cara menghabiskan makanan tersebut, sampai bersih. Dan bagi yang sudah bekerja, ingatlah pada hukum alam “siapa yang menyia-nyiakan rejeki, alam akan mempersulit rejeki berikutnya”.
Ingatlah bagaimana saudara kita di papua misalnya, yang harus mencari makan dengan mengandalkan kemurahan alam (hutan) dan tidak pernah menyia-nyiakannya. Apa yang dimakan besok ya dicari besok bukan ditimbun seperti kebiasaan kita di sini. Sehingga bila besok cuaca buruk, hujan misalnya, ya mereka tidak makan seharian. Nah, bila kita memiliki kebiasaan menyisakan makanan berarti kita telah menyia-nyiakan kebaikan alam, lalu bagaimana kita bisa mengaku lebih beradab dari mereka ?
Kebiasaan makan di warung atau kedai bukanlah kebiasaan baik. Apalagi di food court, sudah mahal lalu ditambah kita punya kebiasaan makanannya disisakan lagi. Salah satu rahasia negatif yang terkandung di dalamnya adalah mendidik pelakunya untuk tidak terima dengan yang sudah kita punyai. Lihat saja pengunjung warung yang cenderung nambah lauk selain yang telah include di porsinya. Belum lagi kemudharatan lain yang diakibatkan oleh perilaku mengunjungi warung dan food court, mulai dari lirikan kepada penjualnya sampai melototi punggung bawah pengunjung food court yang bercelana hipster. Jika memang terpaksa harus beli makanan di warung, sebut menunya lalu bungkus dan makan di rumah. Itu lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar