3 bulan sejak tanggal 2 November 2008, Polri mencanangkan program perang melawan preman. Kapolri baru, Pak Bambang H Danuri ingin memberikan gebrakan yang nampaknya telah lama ditunggu-tunggu oleh masyarakat luas. Ya, perang melawan preman bisa jadi sebuah langkah yang cukup populer, namun bagaimanakah sebenarnya yang terjadi di lapangan ?
Media cetak dan elektronik beberapa hari belakangan seringkali menyajikan headline berupa upaya kepoilisian dalam memerangi premanisme, di seluruh pelosok negeri. Dan, setelah berlangsung sekitar 3 minggu dengan begitu bangga kepolisian lalu mengungkapkan data statistik yang memuat berapa preman yang telah tertangkap berikut barang buktinya, juga pengamatan di lapangan yang menunjukkan menurunnya prosentase kejahatan yang selama ini bisa jadi ulah preman. Indikasinya adalah menurunnya laporan kejahatan yang diterima kepolisian.
Pikiran saya tergelitik, where have you been pak polisi ? Selama ini sampeyan ngapain saja ? Apakah harus menunggu kapolri baru untuk membuat kondisi keamanan masyarakat sedikit tenang ? Apakah harus ada program “perang melawan preman” terlebih dahulu untuk bisa rame-rame memerangi tindak kejahatan yang sudah sedemikian lama meresahkan warga masyarakat ?
Jika pertanyaan saya dianggap berlebihan, mari kita bahas fakta di lapangan. Satu demi satu kita bicarakan agar bapak-bapak polisi dan kita sebagai warga sadar bahwa keamanan adalah tanggung jawab bersama.
Pertama, Image negatif polisi Indonesia. Rakyat sudah terlanjur capek dengan ribuan slogan yang terpampang hampir setiap hari di media. Mulai dari slogan pemerintah, slogan caleg, cagub, dan sekarang ditambah dengan slogan dari kepolisian yang berperang melawan preman.
Rakyat paling bawah bisa saja pernah membaca slogan tersebut, namun jangan salahkan jika kemudian mereka mencibir tanda tidak yakin dengan slogan yang disuarakan pak polisi. Sebut saja Kang Parman yang kehilangan sepeda motor beberapa minggu lalu harus keluar uang sekian juta untuk biaya laporan kehilangan serta pengurusan ini itu ketika sepeda motornya berhasil ditemukan. Ketemunya pun bukan andil polisi, tetapi secara tidak sengaja ditemukan oleh anaknya yang biasa nongkrong di tempat parkir sebuah pasar di pinggiran Malang.
Lain lagi dengan Yu Darmi yang baru saja kehilangan anaknya yang berusia 6 tahun saat bermain agak jauh dari rumahnya. Karena khawatir dengan keselamatan anaknya Yu Darmi lapor polisi. Apa jawaban pak polisi yang saat dilapori sedang mengutak-atik nomor buntut togel ? “Tunggu saja Yu, paling tidur di rumah temannya”, ucapnya tenang sambil tetap saja melanjutkan pekerjaan yang seharusnya dia musuhi tersebut.
Nah, dari dua cerita tersebut apakah kemudian polisi bisa berharap dukungan dari masyarakat ? Masyarakat terlanjur memberikan penilaian negatif terhadap polisi, meski di sana sini tetap ada juga polisi yang memiliki nilai positif di mata masyarakat. Terlalu banyak polah polisi yang di mata masyarakat bernilai negatif, sehingga saat polisi menyampaikan program kerjanya lalu berharap dukungan kepada masyarakat hal tersebut akan sulit didapatkan. Padahal dukungan masyarakat secara riil sangat dibutuhkan untuk kesuksesan program tersebut.
Kedua, bahwa keberadaan preman adalah masalah sosial yang saling tumpang tindih dengan beribu persoalan lain yang jika diberantas begitu saja akan berakibat pada terseretnya persoalan lain yang berada dalam jangkauan preman tersebut. Preman adalah masalah multikomplek. Keberadaannya bisa berarti ancaman terhadap keamanan masyarakat luas, namun jasa preman begitu dibutuhkan oleh lapisan masyarakat berkantong tebal yang membutuhkan perlindungan keamanan secara informal. Jadi, tidak dengan mudah preman bisa dilenyapakn dari hadapan kita.
Boleh diambil sampel dengan n berapa saja, kita bisa bertanya apakah menjadi preman merupakan cita-cita mereka sejak kecil. Yakin seribu yakin kata “preman” tidak akan mereka temukan dalam daftar cita-cita yang umumnya diisi dengan dokter, presiden dan juga insinyur. Bahkan setelah mereka menjadi preman pun mereka tidak pernah menyebut diri mereka dengan preman. Menjadi preman bukanlah pilihan hidup, menjadi preman adalah desakan yang begitu memaksa mereka. Dalam hati kecil mereka pasti masih saja dengan mudah kita temukan sisi sentimentil yang terkadang justru lebih “melow” jika dibandingkan dengan non preman.
Sehingga, persoalan preman sebenarnya bukan tugas polisi semata. Pemerintah sebagai pengambil kebijakan bertanggungjawab penuh dalam menuntaskan preman beserta side effectnya. Mulai dari kasus ketenagakerjaan, jaminan sosial, perumahan, keamanan dan kenyamanan sebagai warga negara dan tentu saja persoalan pendidikan. Di dalam semua bidang tersebut preman terlibat, dilibatkan dan juga dilahirkan.
Ketiga, Masalah konsistensi semangat. Selama ini, di Indonesia, yang namanya program kerja, sehebat apapun program tersebut, begitu habis masa program tersebut maka situasi dan kondisi akan kembali ke asal. Layak ditunggu apakah program perang melawan preman ini akan berlangsung terus jika telah lewat 3 bulan sejak tanggal 2 November lalu. Jika iya, maka dukungan untuk program ini tentunya akan semakin besar. Dan, jika sebaliknya, maka program ini hanya akan menambah daftar panjang program-program lain di Indonesia yang hangat-hangat tahi ayam.
Betapa bahayanya jika masalah keamanan masyarakat dikelola dengan hangat-hangat tahi ayam, artinya begitu program habis maka preman bisa bebas berkeliaran lagi, bahkan lebih berani dalam menjalankan aksinya karena merasa polisi hanya melakukan gebrakan saja. Karena merasa polisi pasti akan kalah konsisten dengan mereka. Ini justru membahayakan masyarakat dengan cakupan wilayah yang lebih luas.
Keempat, ah sudah deh jangan banyak-banyak, nanti malah dikira tidak mendukung program kepolisian (pemerintah) yang sedang melaksanakan upaya pemberantasan premanisme. Selamat bertugas pak polisi, semoga manfaatnya bisa terasa tidak hanya 3 bulan saja.
Kamis, 08 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar