Kamis, 08 Januari 2009

Terpaksa

Aku terpaksa lahir karena perbuatan halal bapak-emakku pada malam pertama pernikahan mereka. Tanpa merasa kuatir aku nanti akan diberi makan apa, mengingat kemiskinan orang tua mereka berdua yang kini menjadi kakek-nenekku. Bapak dan emak seperti dua orang anak kecil yang mendapat mainan baru, sehingga mereka melakukannya berulang-ulang berharap regukan kenikmatannya tidak akan pernah habis. Emak pun buncit perutnya hingga melahirkan aku.
Aku terpaksa menjadi bayi karena gagalnya upaya emakku saat mengaborsiku lantaran hamil di luar kandungan, begitu kata dokter. Nyatanya dokter hanya menakut-nakuti emakku, sebab aku dapat lahir dengan selamat tanpa cacat fisik sedikitpun. Demikian juga dengan emak yang sehat wal afiat pasca melahirkanku. Mungkin dokter muda itu ingin segera balik modal saat memutuskan mengaborsiku, sebab kata orang biaya sekolah dokter itu mahal, mencapai puluhan jutaan rupiah.
Aku terpaksa menghabiskan masa kecil dengan angon1 kambing, mencari rumput sekaligus mencari kayu bakar buat luwengan2 emak. Sebab emak bilang aku nggak boleh makan kalau pulang angon nggak bawa rumput buat makan malam empat kambing kami dan kayu bakar untuk masak. Emak juga bilang main-main dengan anak sebaya itu buang-buang waktu, hidup harus kerja keras. ”Kau dilahirkan bukan untuk bermalas-malasan tapi untuk bekerja dan bekerja” begitu kata emak berulang-ulang setiap kali aku terlihat tidak bersemangat atau memprotes keputusan larangan bermainnya.
Aku terpaksa sekolah di SD paling murah di desaku karena bapak mati begitu cepat sehingga emak sendirian membiayai kebutuhan rumah tangga. Dan lagi, sedari awal kami memang keluarga yang serba kekurangan. Buku pelajaran hanya menjadi angan-angan, seragam sekolah tidak beda dengan seragam angon, pensil sisa dari pensil alis emak waktu menikah dulu setia menemani. Tasku dari kain bekas karung tepung pemberian Haji Maksiyah saat emak bekerja untuk keluarga itu. Emak sengaja menempatkan segitiga birunya pas di bagian luar, sehingga tasku tidak kalah keren dibanding milik teman-temanku. Sayang tulisan netto 50 kg-nya tidak dihapus sama emak. Akhirnya teman-temanku tahu kalau itu bekas karung tepung.
Aku terpaksa sekolah SMP dengan berjalan kaki sejauh 5 kilometer pergi-pulang setiap hari. Emak bilang ”Boleh sekolah tapi jalan kaki, jangan ikut-ikutan teman-temanmu yang minta dibelikan sepeda pancal, atau naik angkudes. Bawa bekal dari rumah, emak tidak akan pernah sekalipun memberimu uang jajan.” Tiap pagi emak membekaliku dengan singkong rebus buat makan di sekolah. Jadilah tiap pagi aku menenteng tas ”segitiga biru”-ku sambil bawa tas plastik berisi singkong rebus. Kadang-kadang emak pakai tas plastik transparan hingga singkong plus sambalku terlihat dengan jelas. Teman-teman di sekolah suka menertawakanku sambil sengaja mengunyah roti atau menyeruput jus jeruk yang mereka beli di kantin sekolah. Satu-satunya kemajuan yang ada padaku adalah sepasang sepatu yang menghiasi kakiku setiap hari. Itupun bukan dapat dari beli tapi secara nggak sengaja aku menemukannya hanyut di sungai tempat biasa aku mandi sore.
Aku terpaksa sekolah SMU telat 2 tahun dari seharusnya. Emak bilang nggak kuat membiayaiku sekolah SMU dengan segala tetek bengek biaya yang harus ditanggungnya. Aku pasrah saja dengan keputusan emak, sebab aku sudah janji sama almarhum bapak untuk tidak pernah membantah apapun perintah, kemauan dan keputusan emak bagaimanapun tidak setujunya aku. Hari-hari selepas SMP aku isi dengan ikut emak keliling desa berjualan kue. Aku yang menyunggi kue, emak yang teriak-teriak menjajakannya. Ada rasa malu saat pertama kali menjalaninya, apalagi saat berpapasan dengan dengan teman-temanku yang berangkat sekolah SMU naik motor di kota kecamatan. Perih sekali rasanya hatiku. Tapi, aku bisa apa? Emak memang belum punya uang untuk biaya sekolahku. Satu-satunya yang menghiburku adalah janji emak untuk menyekolahkanku ke SMU di kota kecamatan bila uang tabungan sudah cukup untuk mendaftar dan beli sepeda pancal bekas di pasar rombeng. Bayangan menaiki sepeda pancal begitu menyemangatiku dalam memanggul keranjang kue, dan lagi selama ini emak tidak pernah ingkar janji. Dan benar, tabungan emak sudah cukup untuk mendaftar SMU dan beli sepeda pancal. Aku begitu bahagia mendengar ajakan emak untuk mendaftar sekolah SMU sekaligus beli sepeda pancal, sepatu baru dan tas sekolah. Khusus tas sekolah aku sengaja menolak tawaran emak, sebab selain ”segi tiga biru”-ku masih bagus, aku tahu emak sangat ingin beli kain panjang yang sejak lama diinginkannya di pasar wage. Dan kalau uangnya dibelikan tas tentu emak nggak akan bisa beli kain itu. Padahal setahuku, terakhir kali emak beli kain panjang adalah sekitar dua bulan sebelum bapak mati.
Aku terpaksa tidak kuliah sampai usiaku hampir 23 tahun karena aku tidak mau lagi membebani emakku yang sudah terlalu renta, bahkan untuk sekedar ”menyunggi” keranjang kue sekalipun. Jadilah setamat SMU aku yang melanjutkan berjualan kue keliling kampung dengan sepedaku, sementara emak membuka warung kue di teras rumah. Suatu ketika aku pamit emak untuk kuliah ke kota dengan modal uang tabunganku sendiri. Awalnya emak keberatan, namun setelah aku janji akan pulang menjenguknya tiap bulan, akhirnya emak mengijinkanku pergi kuliah. Aku diterima di sebuah PTS yang berstatus ”terdengar” di kota. Tiap hari kuliah sambil sorenya berjualan kue meneruskan usaha. Sebelum berangkat kuliah emak memang sempat mengajariku beberapa resep kue.
Aku terpaksa lulus kuliah dan langsung bekerja mengingat kuatnya desakan emakku untuk segera menikahkanku dengan Sumi, gadis ayu berambut panjang yang seingatku pintar mengaji. Sebenarnya kami masih ada kaitan keluarga, tapi emak nggak peduli dengan penjelasanku bahayanya menikah dengan orang yang masih ada pertautan darah. Bisa muncul gen resesif kata buku yang pernah aku baca. ”Mau resesip, intensip, gosip atau apapun yang penting hitunganku dengan Yu Parmi, simboknya Sumi, sudah sip, jangan macam-macam” tegas emak waktu itu. Jadilah aku diikat, tapi demi emak aku harus mengiyakan pernikahan itu terjadi padahal desakan dalam dadaku untuk berkarya demi kemajuan desa-desa di wilayahku sedemikian besarnya. Tapi ya sudahlah, toh aku sudah 28 tahun, ada yang menawarkan diri untuk aku nikahi. Daripada jadi bujang lapuk, lebih banyak mudharatnya kata pak ustad. Jadilah kami menikah secara sederhana di surau depan rumah pak RW dengan disaksikan keluarga dekat kami. Aku maharkan seperangkat alat sholat dan Al-Quran kepada Sumi, hanya sayangnya banderol harganya lupa nggak aku lepas karena begitu tergesa-gesa. Aku ingat betul harga keduanya tidak lebih dari 50 ribu.
Aku terpaksa punya dua oarang anak karena pakde Tarman, ayah mertuaku, tidak membolehkanku menunda punya anak. KB itu haram kata beliau. Akupun menurut saja walaupun sebenarnya aku berniat menunda punya anak sembari mempersiapkan perekonomian keluargaku dulu agar bisa lebih mapan saat memiliki anak. Agar tidak terulang lagi penundaan-penundaan sekolah seperti yang pernah kualami. Desakan Sumi untuk segera menggendong anak menambah lemah posisi tawarku. Sumi berdalih mumpung belum tua, jadi fisiknya masih kuat kalau harus menggendong banyak anak. Ya sudah, rencana ikut KB dengan terpaksa aku batalkan demi membahagiakan banyak pihak. Akhirnya, kamipun punya dua orang anak, perempuan semua. Kunamakan mereka Darti dan Darmi, singkat dan gampang diingat. Artinya pun juga tidak muluk-muluk, Darti berarti dari hati dan Darmi mengandung arti dari kami. Dua-duanya demikian hebat dalam segi kecerdasan otak. Seringkali aku kewalahan menghadapi pertanyaan-pertanyaan mereka yang kurasa jauh di luar jangkauan pemikiranku. Akupun harus selalu menambah pengetahuanku. Dan sekali lagi aku tegaskan bahwa aku melakukannya dengan penuh keterpaksaan.
Aku terpaksa menikahkan kedua anakku saat keduanya masih berusia 15 tahun karena menjadi korban pemerkosaan yang dilakukan oleh pemuda berandal yang sedang mabuk sepulang menonton gambus peringtan Isra’ mi’raj di balai desa. Hancur, sedih, marah, kecewa bercampur-baur menyesaki dadaku, apalagi setelah tahu bahwa dua pemuda yang memperkosa anakku adalah Wandi, anak bungsu pak Lurah yang masih berumur 16 tahun dan Slamet, 33 tahun, juragan beras yang terkenal punya hobi kawin-cerai. Kedua anakku terlihat tabah menghadapi pernikahan mereka. Berbeda dengan Sumi, kedua mertuaku, emak dan juga aku yang benar-benar merasa patah menghadapinya. Kami membayangkan dosa yang harus kami tanggung serta derasnya gunjingan warga desa. Namun dengan keterpaksaan tingkat tinggi aku dapat melaluinya dengan tabah. Beban yang demikian berat membuatku terlihat lebih tua dari umurku yang sebenarnya. Berbagai macam penyakit pun mulai mengakrabiku. Mulai dari penyakit jantung hingga hipertensi. Ditambah dengan memutihnya rambut, kurus keringnya badan, gigi yang menghitam lalu tanggal menjadi sajian yang memaksaku menerimanya. Sampai-sampai tetanggaku bilang aku lebih mirip adik daripada anaknya emak.
Dan, akhirnya, aku terpaksa mati di usia tidak sampai 50 tahun karena Tuhan yang maha memaksa memanggilku dengan paksaan yang tak dapat kutolak. Tuhan seakan tak peduli walaupun aku belum dapat membahagiakan emakku, Sumi serta pakde Tarman dan bude Parmi yang sudi menerimaku menjadi menantunya. Juga tanggung jawab merawat cucu-cucuku dari Darmi dan Darti. Demikian juga terputusnya upayaku mendidik Wandi dan meluruskan jalan Slamet menantuku. Juga segudang keinginan untuk sekedar memberikan sumbangan pemikiran terhadap kemajuan desaku. Semuanya terkubur bersama kematianku. Mau gimana lagi, lha wong Tuhan yang memaksa.

1.angon : menggembala (biasanya ternak, kambing atau sapi).
2.luwengan : tungku yang terbuat dari bata merah dengan adonan tanah sebagai perekat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar