Kamis, 08 Januari 2009

Siapa Bilang Indonesia Sakit

“Aku sekarang ada di Taiwan, jadi TKW, kalo di Indonesia PRT gitu lah. Sehari-hari kerjaanku seputar nyuci, nyeterika, ngepel, nyapu dan pekerjaan sejenis yang biasa aku kerjakan di rumah dulu tapi gak dibayar”

Itu adalah sepenggal kalimat yang tersimpan di dalam inbox ponsel saya. Pesan itu saya terima sekitar awal bulan lalu pada sebuah siang yang panas. Pengirimnya adalah seorang saudara perempuan yang dulu begitu berprestasi di masa sekolah mulai dari semenjak SD sampai merampungkan gelar Ahli Madya Public Relation di Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Selalu ada kalimat “ironis, tragis, menyedihkan, pingin nangis dan sebagainya” dalam tiap pesan yang dia kirimkan padaku pada hari-hari selanjutnya. Selalu saja ada penyesalan yang menggunung mendapati kenyataan bahwa akhirnya harus menjadi seorang pembantu rumah tangga, di negeri orang lagi.

Selalu ada kalimat “seandainya, seharusnya, semestinya dan sebagainya” yang meluncur dari bibirnya tiap kali melakukan panggilan SLI dari Taiwan. Selalu saja ada antusiasme yang terlambat menghadapi jalan yang menurut dia sungguh terjal untuk bisa dia lalui dengan tegar.

Dan, seperti hari-hari sebelumnya saya cuma bisa mendengarkan dengan sabar atau juga membalas setiap pesannya dengan kalimat yang membesarkan hatinya. Bahwa dia sungguh beruntung pernah menikmati hidup di luar negeri. Bahwa dia sungguh beruntung memiliki tiga anak yang selalu menunggu dengan doa yang pasti terkirim kepada ibunya tercinta. Bahwa seterjal apapun jalan yang dilewati, itu adalah cara paling ajaib yang disediakan Tuhan untuk membuatnya mandiri dan tidak menengadahkan tangan kepada orang lain. Bahwa kedudukannya lebih terhormat dari para politisi yang menghamburkan uang negara untuk memasang baliho pencalegannya. Bahwa uang yang dia hasilkan sungguh halal, jauh melebihi tiap rupiah yang yang telah ditelan oleh Bapak-bapak yang mengaku berjuang untuk rakyat. Bahwa apa yang dia kerjakan sungguh mulia, lebih dari sekedar tanggung jawab kepada 3 orang anak yang menggantungkan hidup kepadanya. Bahwa dia adalah duta bangsa yang ikut serta memutar roda perekonomian bangsa ini dan dunia secara keseluruhan. So, Mengapa harus menangis, mengapa harus menyesal, mengapa harus berandai-andai ?

Terlepas dari salah benar yang telah dia lakukan, secara general kejadian semacam ini jamak di setiap sudut negeri kita, Indonesia. Ada berapa juta saudara kita yang mengais ringgit, dollar, yen, atau juga euro yang senasib dengan saudara kita tersebut. Ada berapa milyar kiriman hasil kerja mereka ke para kerabat di tanah air. Ribuan milyar bisa jadi, jka diakumulasikan. Jadi, peran mereka sungguh vital dalam memompa denyut nadi ekonomi di daerah-daerah asal mereka.

Lalu, mengapa ada yang bilang Indonesia sedang sakit ? Mengapa tidak yakin dengan masa depan Indonesia gilang gemilang karena memiliki akar yang demikian kuat di setiap sudutnya. Memiliki orang-orang yang sanggup bertahan hidup dalam kondisi super sulit walaupun secara rasional dalam kondisi yang sama bangsa lain tidak akan mampu bertahan. Memiliki segala sumber daya yang diinginkan oleh bangsa lain. Memiliki ini dan itu yang bangsa lain harus membayar mahal untuk memilikinya.

Kita hanya tidak yakin, tidak pede saja dengan kondisi yang kita hadapi. Kita tidak terbiasa hidup dengan cara membusungkan dada. Tidak terbiasa pamer otot, pamer kebisaan, pamer kepemilikan. Siapa yang ngajari kita menjadi seperti itu ?

Sadar atau tidak iklan politik PKS telah menjelaskannya, orang yang dianggap sebagai bapak dan guru bangsa itulah yang membuat kita memiliki daya tahan hidup sekian kali lipat dari bangsa lain. Beliaulah yang telah melakukan evolusi terstruktur terhadap sikap dan pola perilaku kita sehingga mau “nerimo ing pandum, mangan ora mangan sing penting kumpul”. Sisi unik dari upaya pemiskinan yang ternyata justru membuat kita kaya, membuat kita mampu bertahan hidup seandainya kita benar-benar miskin.

Jika kita pernah merasa miskin atau juga sakit, apakah kemudian kita akan bermalas-malasan di tempat tidur ? tidak kan, banyak yang meyakini bahwa jangan merasa sakit meskipun sakit. Merasa sakit justru akan memperparah kondisi. Anggap saja kita sehat terus, bugar terus, ready to use terus. Tanamkan dalam pikiran kita bahwa sesakit apapun kita saat ini kita masih mampu menghela napas -kita tahu kan bahwa syarat minimal untuk tetap bertahan hidup adalah menghela napas-. Jadi selama kita masih bisa bernapas berarti kita sehat.

Tuduhan terhadap diri sendiri bahwa bangsa ini sedang sakit itulah yang sebenarnya melemahkan bangsa ini dari dalam. Di saat bangsa lain merasa segan dengan kita, eh kita malah nglokro, lemas, tidak menunjukkan semangat juang, merasa rendah. Ya terang saja bisa ditebak apa yang terjadi kemudian.

Jadi, mulai dari sekarang, mari berkeyakinan bahwa kita adalah bangsa yang sehat, kita adalah bangsa yang siap menghadapi tantangan apapun, kita adalah bangsa yang tidak mudah patah, tidak mudah menyerah. Kita adalah bangsa yang liat, bangsa yang ulet. Kita adalah bangsa yang selalu bisa melihat sisi positif dalam setiap situasi dan kondisi yang kita hadapi, seburuk apapun pandangan bangsa lain terhadap masalah tersebut.

Memang, keyakinan saja tidaklah cukup. Setelah yakin giliran berikutnya adalah mulai bergerak untuk berkarya. Bukan perkara mudah memang menggerakan setiap elemen bangsa ini secara sinergis. Banyak kendala yang harus kita terjang, mulai dari semangat kedaerahan, perbedaan keyakinan beragama, sampai perbedaan ideologi dan lain sebagainya. Namun, dengan proses penyadaran yang berangsur-angsur serta konsisten dan dimulai dari lingkup sosial terkecil, bukan mustahil Amerika, Eropa bahkan seluruh dunia akan terbelalak menyaksikan kemajuan yang kita raih.

Utopis memang, namun jika bermimpi saja tidak bisa untuk apa bertahan hidup. Jika bercita-cita saja tidak bisa lebih baik mati saja. Utopia kita bukan omong kosong melainkan utopia yang dibarengi dengan bekerja keras, bekerja cerdas dan bekerja benar.

Ketika guru menjadi guru, insinyur menjadi insinyur, presiden menjadi presiden, DPR menjadi DPR, pengemis menjadi pengemis preman menjadi preman dan semuanya bekerja dengan benar, tidak ada yang tumpang tindih -semisal DPR yang pengemis atau presiden yang preman- maka kemelesatan bangsa ini menuju jajaran bangsa yang disegani tinggal hitungan detik saja.

Masih tidak yakin juga ?
Mati aja loe…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar