Kamis, 08 Januari 2009

Masuk Angin

Tiba-tiba badan terasa tidak nyaman, serasa sakit semua. Padahal sebelumnya tidak ada tanda-tanda akan sakit ataupun sebab salah makan sebelumnya. Pusing, mual dan tidak ada gairah untuk bergerak. Bila diantara kita ada yang pernah mengalaminya, mungkin saat itu kita sedang terserang masuk angin.
Lantas, bagaimana mengobatinya ? Nah, biasanya kita akan mengambil satu upaya memulihkan kondisi fisik badan diantara beberapa pilihan berikut. Pertama, kerikan di punggung, bahkan sampai meninggalkan bekas merah-hitam di kulit itu. Terkadang jika belum jelas garisnya belum puas, kalau perlu sampai lecet ! Kedua, mengoleskan minyak kayu putih ke sekujur tubuh, dan ketiga, mengkonsumsi obat (jamu) tradisional. Kenapa tradisional ? karena pak dokter nggak kenal sama yang namanya masuk angin dan di apotek memang tidak tersedia obat kimianya, sehingga beliau nggak bisa menuliskan resep untuk kita.
J Irwan Hidayat, dirut Sido Muncul, menjelaskan bahwa tidak ada istilah formal untuk masuk angin dalam dunia kedokteran. Dan yang paling aneh lagi, masih menurut dia, masuk angin didefinisikan sebagai satu kondisi dimana saat itu fisik kita berada di tengah-tengah diantara sehat dan sakit. Jadi, nggak sakit juga nggak sehat. Bikin repot dokter yang akan mendiagnosanya. Persis seperti kondisi bangsa kita saat ini.
Ada berapa lembaga internasional yang sempat kita kenal berusaha membantu kita mengatasi penyakit “masuk angin” kita ini. Sebutlah IMF, IGGI, CGI serta beberapa nama lembaga regional lainnya. Tapi, mana hasilnya? Rasanya dengan kehadiran para ahli yang bernaung di bawah nama-nama itu justru secara agregat (begitu biasanya kata ahli makro) membuat kehidupan bangsa kita tambah struggle, tambah susah penghidupan rakyatnya. Lalu kita bertanya dalam hati, kenapa bisa begitu ya?
Jangankan kita yang awam tentang ekonomi makro, mereka yang ahli saja bingung. Berapa puluh bahkan ratus jurus kebijakan telah dikeluarkan, berapa dana yang telah dihamburkan untuk menyukseskan program-program yang disusun. Tapi nyatanya tidak membuahkan hasil yang signifikan.
Mereka lupa bahwa yang dihadapi adalah bangsa yang sedang masuk angin. Kelihatannya susah cari makan tetapi banyak jaguar dan bentley melintas di jalan raya. Kelihatannya banyak jaguar dan bentley di area parkir mal tapi penduduk miskin masih 40 juta jiwa.
Parameter-parameter yang biasa dipakai untuk kepentingan analisa sosial dan berlaku umum bagi sebuah komunitas (negara) harus dimodifikasi sedemikian rupa di sini. Para periset tercengang menyaksikan fakta seorang PNS golongan IIIA beristri dua, satu resmi satunya lagi simpanan, dan keduanya hanya mengandalkan gaji suaminya saja. Si periset tambah pusing saat tahu bahwa anak dari masing-masing istrinya 3 orang dengan usia antara 2 sampai 7 tahun. Dan terakhir, si periset pingsan melihat dua buah mersi keluaran terbaru berjajar rapi lengkap dengan dua orang sopirnya di garasi rumah PNS tadi.
Obat pertama
Obat yang mujarab bagi “masuk angin”-nya bangsa ini sebetulnya sangat sederhana. Rumus pertama adalah dengan kerikan. Bagi yang belum pernah, kerikan adalah aktifitas mengerik anggota tubuh (biasanya punggung) dengan kepingan logam yang diolesi minyak (kayu putih, minyak goreng ataupun minyak tanah!) dan dipercaya bisa membantu mengatasi masuk angin. Aplikasi untuk masalah bangsa, kita harus tarik garis secara jelas dan tegas posisi riil bangsa kita ada dimana.
Stephen R Covey dalam 8th Habit memaparkan 5 tapakan jaman yang dilalui oleh sebuah masyarakat. Dimulai dari jaman berburu dan mengumpulkan makanan, lalu jaman pertanian, kemudian jaman industri. Seterusnya adalah jaman pekerja knowledge dan terakhir jaman kebijaksanaan. Dan sekarang ini kita menapak pada jaman pekerja knowledge menjelang jaman kebijaksanaan. Masalahnya, de facto kita berada di posisi mana sih dari kelima jaman tersebut ? Jangan bicarakan yang seharusnya ada tapi yang senyatanya dulu. Sebab referensi yang sering kita baca justru membuat kita pangling dengan kondisi riil kita. Dengan berapi-api kita bicara masalah pentingnya knowledge dan teknologi, tapi saudara kita di tempat lain masih sibuk cari makan dengan mengandalkan kemurahan alam. Kita bicara tentang keselamatan transportasi udara tapi ada saudara kita yang untuk sekedar beli beras saja harus nunggu sampai laut tenang sehingga perahu bercadiknya aman dari terjangan ombak, dan masih banyak lagi perenungan-perenungan lainnya yang harus kita lakukan.
Kesalahan dalam menempatkan posisi tahapan dalam 5 tapakan seperti yang disampaikan di atas akan berakibat pada ketidaktepatan penyusunan kebijakan nasional. Apalagi social range begitu lebar. Sehingga diperlukan tidak hanya sebuah tim yang berisi orang-orang pinter tapi juga memiliki kesadaran sosial yang tinggi, mengerti posisi riil dari sebuah masyarakat. Setidaknya ada tiga langkah yang dapat dilakukan oleh pengambil kebijakan.
Pertama, redefinisi otonomi daerah, perubahan dari pembagian kekuasaan menjadi pemisahan kekuasaan harus disertai dengan sebuah pola pengawasan yang cukup. Adalah baik mendukung semangat otonom sebagai bagian dari upaya demokratisasi rakyat dan meningkatkan potensi daerah, namun kenyataan menunjukkan kondisi semakin terpisahnya antara bagian satu dengan lainnya dan membuat pusat kesulitan menyatukan langkah secara nasional.
Kedua, posisikan secara jujur suatu daerah sehingga kebijakan yang menyertainya tidak dipaksakan. Pemaksaan berakibat pada tidak optimalnya proses kerja dan pasti tidak maksimalnya hasil kerja. Bukanlah sesuatu yang menjijikkan menjadi daerah tertinggal. Justru dengan menjadi daerah tertinggal masyarakat akan sadar bahwa mereka harus bekerja keras mengejar prestasi daerah lainnya. Windows policy justru menghasilkan kesimpulan yang semu, kebijakan yang parsial, realisasi yang tidak tepat sasaran dan hasil yang indah di laporan saja.
Ketiga, kekayaan alam serta keberagaman posisi sosial menuntut sebuah perhatian yang besar pula. Identitas nasional tidak bisa begitu saja ditentukan dengan mewakili sebagian kecil masyarakat. Pertanian sebagai sektor yang seringkali volatil harus diperhatikan khusus. Lautan yang menyatukan pulau-pulau di nusantara harus diberikan porsi perhatian lebih besar dari yang telah ada. Dan wilayah udara yang selama ini sering dimasuki oleh kekuatan asing tidak boleh dilupakan juga. Jadi merupakan rumusan yang kompleks jika menginginkan identitas tunggal bangsa ini.
Obat kedua
Obat masuk angin kedua adalah mengolesi seluruh badan dengan minyak kayu putih. Minyak kayu putih adalah produk alam asli dari Maluku, bila kita oleskan ke bagian tubuh biasanya akan terasa hangat. Nah kalau bangsa yang masuk angin bagaimana?
Umpamakan minyak kayu putih tersebut dengan semangat persatuan sehingga memunculkan rasa hangat di sekujur tubuh Indonesia. Konflik antar etnis hingga agama yang yang pernah terjadi beberapa waktu lalu merupakan lahan yang subur bagi penyakit masuk angin bangsa ini. Ditambah lagi dengan semangat kedaerahan yang semakin kental sebagai akibat dari praktek otonomi daerah yang menghasilkan beragam interpretasi dari para pelaksananya. Belum lagi eforia setelah lepas dari orde baru. Komplek, benar-benar komplek.
Semangat persatuan tampak kuat justru saat sebagian kecil saja dari bagian bangsa ini yang bekerja. Bila kita ingat pesta sepakbola Asia beberapa waktu lalu, kita melihat sebuah fenomena yang begitu memerindingkan bulu kuduk saking semangatnya mendukung tim merah putih. Lalu, apakah kejadian seperti itu tidak bisa kita transformasikan dalam bidang lainnya? Bisa, sangat-sangat bisa.
Semangat kedaerahan dan semangat golongan yang begitu kuat harus dihilangkan secara frontal bukan sedikit demi sedikit. Barangkali langkah pertama yang bisa kita lakukan adalah dengan manghilangkan kalimat suku bangsa dan agama pada KTP kita sebagai refleksi bahwa tidak ada yang membedakan suku A dengan suku B atau dengan suku lainnya. Yang ada hanya Indonesia yang satu. Sebab penulisan suku dan agama di KTP dalam beberapa kasus justru mematikan peluang mereka untuk bisa maju. Akibatnya akan muncul semangat membalas dan dalam skala besar tentu berbahaya.
Obat ketiga
Minum jamu tradisional menjadi alternatif ketiga bagi penderita masuk angin. Mengapa harus tradisional? Karena obat kimianya memang tidak ada. Hal ini mengindikasikan bahwa penyakit bangsa ini hanya bisa disembuhkan dari dalam bangsa ini sendiri dan oleh bangsa ini sendiri bukan oleh orang luar.
Cari cara-cara alami, dengan pendekatan-pendekatan sosiokultural persoalan yang menimpa bangsa ini akan dapat tertangani. Kita ingat bagaimana semangat pelagandong berperan dalam menyelesaikan kasus Ambon, lalu kita lihat juga bagaimana warga Bali mengelola kebutuhan air pertaniannya dengan cara yang khas. Belum lagi kebiasaan-kebiasaan masyarakat pedalaman yang begitu menghargai siklus alam sehingga keseimbangannya begitu terjaga. Kita bisa angkat hal-hal yang bersifat sosiokultural tersebut sebagai semacam pembelajaran secara nasional.
Memperbanyak diskursus sosial dengan pengamat ataupun ahli dari dalam negeri harus kita jadikan prioritas. Daripada mendatangkan ahli dari luar negeri yang kelihatannya membawa sesuatu yang baru ternyata di Indonesia sudah ada atau bahkan lebih maju. Sebab secara potensi kemampuan manusia Indonesia luar biasa. Cak Nun bilang mulai dari daya bertahan hidup sampai prestasi kita bisa, bahkan sangat bisa bersaing dengan bangsa lain. Hanya saja memang mengumandangkan nama besar belum menjadi sebuah kultur. Padahal jika mau bersombong diri banyak yang bisa kita banggakan, hanya saja kita seringkali terbentur pada kultur yang mengunci kita di dalamnya. Kata para pengamat itu terjadi akibat dari penjajahan Belanda yang membunuh karakter bangsa selama 350 tahun itu. Padahal itu sudah lebih dari setengah abad yang lalu, artinya satu generasi hampir terlewati. Telah banyak generasi baru yang duduk di pengambil kebijakan, dan biasanya amereka memiliki cara pandang baru terhadap setiap persoalan. Selagi tidak lupa pada akar budaya yang (katanya) serba santun, setiap penyakit bangsa termasuk masuk angin pasti akan terobati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar