Kamis, 08 Januari 2009

Pers Sebagai Pilar Penyangga Demokrasi yang ke-4 ?

Pada sebuah subuh yang dingin seorang teman wartawan menelepon saya yang intinya meminta saya membaca headline koran tempat dia bekerja selama 3 tahun terakhir. Ketika saya tanya kenapa harus membacanya, dia menjelaskan bahwa liputannya tentang sebuah kasus kriminalitas di salah sebuah kawasan di Jawa Timur menjadi headline , ini kabar yang menggembirakan, ini lonjakan karir, begitu katanya bersemangat. Setelah telepon ditutup saya kembali merebahkan diri saya di atas tempat tidur sambil berpikir berita apa ya yang dimaksud teman saya tersebut.

Kurang lebih 2 jam kemudian tukang koran langganan kami melempar gulungan koran yang sudah diikat dengan karet gelang ke teras rumah kami, persis seperti hari-hari sebelumnya. Berhubung penasaran dengan berita yang dimaksud teman saya selepas subuh tadi saya pun bergegas mengambil gulungan koran tersebut. Betapa kagetnya saya saat membaca halaman depan koran tersebut, di situ tertulis dengan huruf kapital kalimat yang membuat miris “DITEMUKAN MAYAT TANPA KEPALA DAN TANPA KAKI”. Saya lalu menelepon balik teman saya yang wartawan tersebut, saya tanyakan dimana letak menariknya. Dengan ringan dia menjawab, menariknya adalah bahwa berita itu dia yang meliput, bahwa itu merupakan lompatan besar dalam karirnya di bidang jurnalistik. Saya pun terbengong-bengong saat menjawab salam dari teman wartawan tersebut.

“Berita buruk adalah kabar gembira bagi wartawan”

Sekelumit kisah pendek di atas memberikan gambaran kepada kita, betapa media (pers) merupakan sebuah fenomena yang multikomplek dalam peran sertanya di masyarakat. Ada yang bilang siapa yang menguasai media akan menguasai dunia. Ada pula yang bilang pers sebagai alat pengawas sebuah kekuasaan (regime). Ada pula yang menyebut pers adalah bull shit.

Bagi insan pers sendiri, berakhirnya era orde baru yang ditandai dengan lengsernya Soeharto merupakan langkah awal kebebasan pers. Selama masa orde baru pers seperti terbelenggu sehingga ide –ide kreatif hingga kritis begitu sulit untuk disalurkan. Pemberedelan-pemberedelan media menjadikan insan pers seperti dikebiri hak-haknya.

Lalu bergulirlah reformasi. Insan pers pun menyambutnya dengan suka cita, mereka meletakkan pondasi bagi semangat kebebasan pers seperti yang selama ini ditunjukkan oleh beberapa negara yang diyakini lebih maju untuk urusan pers. Terjadilah euforia dimana-mana, sejumlah media baru pun lahir. Jika pada era orde baru urusan ijin penerbitan begitu rumit maka pada era reformasi terbitnya sebuah media seperti jamur di musim hujan. Semua begitu bersemangat melahirkan media baru dengan berbagai macam segmen yang mereka yakini akan mampu survive dalam jangka panjang.

Peran Pers
Siapapun setuju, pers penting bagi sebuah komunitas bernegara. Pers diyakini mampu menjaga demokrasi tetap pada koridor yang semestinya. Pers diyakini memiliki kekuatan yang sedemikian dahsyat sehingga mampu meledakkan apa saja yang di dekatnya.

Jika mau kembali menengok ke belakang, kita bisa melihat secara obyektif bagaimanakah peran pers secara ideal. Semangat awalnya adalah menyuarakan kebenaran, mengungkap fakta. Berperilaku proporsional, berimbang dan dalam semangat amanah (terpercaya). Ide awal dunia pers tidak jauh dari itu.

Pada perkembangannya, insan pers sadar bahwa apapun yang mereka lakukan telah mempengaruhi opini publik. Di sinilah permasalahan peran pers menemui persimpangan jalan. Apa guna kebenaran kalau perut lapar ? Apa guna pemberitaan berimbang kalau oplah tidak terkatrol ? Apa guna terpercaya kalau share iklan tidak bisa diraup ? Serta masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang bermuara pada persoalan “tetap menyalanya kompor di dapur”.

Demokrasi dan Pers
Sistem demokrasi ditopang oleh 3 pilar, eksekutif, legislatif dan yudikatif. Peran pers dalam demokrasi ? Ada yang meyakini pers mampu menjadi pilar yang ke-4 bagi tegaknya demokrasi sehingga demokrasi di sebuah negara semakin kokoh.

Pertanyaannya adalah “Logiskah pers diangkat dalam derajat yang sungguh mulia tersebut?” Logis bila pers mampu menjaga idealismenya sendiri. Artinya, pers yang berpihak kepada kebenaran, proporsional (berimbang) dan terpercaya. Dengan modal dasar tiga hal itu saja pers secara otomatis telah menempatkan dirinya sendiri sebagai pilar ke-4 penyangga demokrasi.

In fact, benarkah pers dapat mempertahankan idealisme tersebut ? Bukan salah persnya bila kemudian menyimpang dari idealisme. Kita mesti menengok siapa yang berada di dapur pers tersebut sehingga idealismenya menjadi semakin tipis berganti menjadi pers yang populis.

Adalah tidak logis menempatkan pers sebagai pilar penyangga ke-4 demokrasi bila pers telah kehilangan roh idealismenya sendiri. Muatan-muatan negatif telah menarik insan pers ke lembah beracun. Sebut saja dari urusan jual beli berita, wartawan “bodrex”, kepentingan bisnis mulai dari pemodal hingga pemasang iklan, serta kasus-kasus lain yang memaksa insan pers kehilangan kepercayaan dari masyarakat.

Fleksibilitas Pers
Pada prakteknya pers mampu masuk ke semua lini kehidupan sosial. Pada segala situasi dan kondisi pers dapat masuk di dalamnya serta dapat dengan mudah mewarnainya. Mulai dari yang ringan semacam hiburan dan olah raga hingga yang berat semacam pilpres dan pembuatan Undang-undang sebuah negara. Melihat sedemikian beragamnya ranah sosial yang bisa dimasuki oleh pers rasanya fleksibilitas pers tidak pernah dimiliki oleh bidang lain.

Namun, satu hal yang patut direnungkan bersama adalah pelaku pers itu sendiri. Saat ini kita tahu pemodal begitu bersemangat involve dalam dunia pers. Mereka yakin bahwa pers bukan hanya mampu menangguk rupiah namun juga mampu melambungkan popularitas yang juga berarti rupiah. Ini memberikan sinyal kepada kita bahwa pers hampir terjajah oleh kepentingan ekonomi, oleh kepentingan kapital. Ya, hampir di semua lini pers telah mengabdikan dirinya kepada rupiah.

Dari sekian banyak bidang garap dimana pers in-bulit, rasanya hanya beberapa saja yang mampu mempertahankan idealismenya secara tegas. Selebihnya tidak lebih dari lembaga penghujat, penghakim, pembentuk opini yang luar biasa ampuh, serta lembaga yang dimanfaatkan sebagai pengeruk rupiah.

Kita ingat beberapa tahun lalu sekelompok selebriti yang merasa diperlakukan secara tidak berimbang oleh insan pers membikin usaha penerbitan bersama yang tentu saja bertujuan tidak hanya untuk kepentingan perimbangan berita mereka saja. Namun insting bisnis pun telah berbicara di sana. Ketika menjadi newsmaker tidak lagi menarik bagi mereka maka mereka pun beralih menjadi pemilik media yang dapat mendatangkan rupiah sekian puluh kali dari seorang newsmaker. Ini memberikan gambaran kepada kita bahwa siapapun bisa memiliki bisnis pers selagi punya modal.
Kembali kepada persoalan pers sebagai pilar penyangga demokrasi yang ke-4, nampaknya masih jauh dari yang kita harapkan bersama. Harapan tertumpu pada insan pers untuk senantiasa menjaga kehormatannya sendiri sesuai dengan bidang garap masing-masing. Si wartawan tidak lagi berharap (memaksa) amplop dari narasumber serta tulisan yang konstruktif dan edukatif menjadikan posisi wartawan sebagai ujung tombak pers sedemikian besar. Sementara pemilik modal tidak terlalu “kemaruk” menangguk keuntungan dari bisnis medianya sehingga 3 modal dasar yang telah dibahas di depan dapat senantiasa terjaga dengan baik.

Terakhir,
Tidak ada yang spesial dalam dunia pers selama idealisme insan pers tergadaikan.

(terinspirasi oleh wawancara jurnas dengan deputi SET, agus sudibyo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar