Kamis, 08 Januari 2009

Eksekusi Bagus Untuk Investasi

Judul di atas disampaikan oleh BKPM (Badan Koordinasi Pasar Modal) dalam newsticker TV one yang ditayangkan pada tanggal 9 November 2008 sekitar pukul 19.00-20.00. Program utama di TV one saat itu adalah diskusi yang mengulas perimbangan pemberitaan media seputar ekseskusi trio bom bali (Amrozi Cs) di bukit Nirbaya sehari sebelumnya. Diskusi tersebut menghadirkan cendekiawan muslim Komarudin Hidayat serta peneliti LIPI Hermawan Sulistyo. Diskusi berlangsung menarik seputar pemberitaan eksekusi tersebut. Namun lebih menarik mencermati tulisan di newsticker yang berjalan pelan di bawah layar kaca. Diantara sekian yang perlu dicermati adalah pernyataan BKPM seperti judul di atas “BKPM : EKSEKUSI BAGUS UNTUK INVESTASI”.

Harus diakui dampak bom Bali 6 tahun lalu berdampak negatis kepada kondisi perekonomian bangsa Indonesia. Namun 6 tahun adalah waktu yang tidak sebentar untuk bangkit baik secara ekonomi maupun sosial secara komprehensif. Sehingga, pernyataan BKPM hanyalah sebuah apologi terhadap lesunya investasi di Indonesia. Artinya iklim investasi Indonesia bisa bangkit kapan saja dan eksekusi Amrozi Cs bukanlah persoalan utama dalam menarik para investor untuk datang ke Indonesia.

Adalah tidak masuk akal bila eksekusi trio bom Bali akan berpengaruh secara signifikan terhadap iklim investasi di Indonesia. Sebab bila dirunut lebih mendalam variabel bom Bali bukan yang dominan. Ada banyak variabel yang membolehkan lesunya iklim investasi di Indonesia. Sebutlah kepastian hukum yang berjalan sesuai dengan selera penguasa, lalu instabilitas keamanan dalam kerangka preventif, selanjutnya volatilitas sikap buruh Indonesia secara psikologis. Bisa jadi ada lagi variabel lain, namun cukuplah membahas 3 variabel utama tersebut.


Kepastian Hukum
Kepastisan hukum adalah variabel utama yang menjadi fokus perhatian investor sebelum menanamkan dananya di sebuah negara. Mengapa para investor banyak yang lari ke Vietnam dan juga beberapa propinsi di Cina ? Jawaban untuk pertanyaan ini yang paling sederhana adalah tidak adanya rasa nyaman yang bisa diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada para investor asing. Rasa nyaman itu penting mengingat para investor tersebut menginginkan dananya aman di Indonesia dan bisa kembali modal bahkan menangguk profit yang cukup untuk mengembangkan bisnis mereka.

Rasa tidak nyaman tersebut dipicu oleh kurangnya jaminan hukum untuk para investor asing. Jelasnya adalah kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap para investor. Hal ini memicu mereka berpikir lebih dari sekali untuk melanjutkan bisnisnya di Indonesia atau saat akan membuka usaha di Indonesia.

Siapapun tahu tidak adanya kepastiasn hukum tersebut disebabkan oleh “selera” individu yang handfull dalam bidang tersebut. Sebut saja bergantinya sebuah pemerintahan akibat kekalahan pilpres atau hal lain, hal ini akan mendorong terbitnya turunan peraturan baru yang boleh jadi menyulitkan pelaku usaha yang sebenarnya telah adaptif terhadap pola penguasa yang lama.

Kondisi ini memaksa investor mengerem roda bisnisnya bahkan secara ekstrem mereka akan menutup bisnisnya di Indonesia begitu penguasa lama lengser. Sebab mereka harus menyesuaikan diri dengan penguasa baru yang bisa saja berbeda sama sekali kebijakannya dengan penguasa lama. Berapa biaya material dan immaterial yang harus mereka keluarkan untuk beradaptasi dengan penguasa baru tersebut. Sebab seorang investor tentunya memiliki kalkulasi yang rasional terhadap jalannya roda bisnis mereka. Jika dirasa tidak menguntungkan untuk apa dipertahankan. Lebih baik ditutup dan mencari lokasi baru sebelum merogoh kocek lebih dalam lagi.



Instabilitas Keamanan
Kondisi ini sebenarnya bukan hanya di Indonesia saja. Instabilitas kemanan merupakan satu ciri negara berkembang dimana golongan menengah menempati prosentase tertinggi dalam piramida penduduk.

Ya, negara berkembang, maju belum tetapi tidak mau disebut terbelakang. Bisa dibayangkan masyarakat dalam masa transisi ini rawan masalah keamanan. Penjelasan paling rasional adalah kasus bom Bali 6 tahun lalu. Secara sosial Indonesia adalah negara berkembang, namun ada beberapa daerah yang secara unik telah mencapai taraf yang bisa disejajarkan dengan penduduk negara maju. Sebut saja Bali, Batam, secuil daerah di puncak Jaya di Papua.

Tatanan masyarakat tersebut dimungkinkan oleh interaksi penduduk lokal dengan warga asing, baik sebagai wisatawan maupun sebagai pekerja asing di Indonesia. Tentu saja kondisi ini memaksa timbulnya struktur sosial baru yang berbeda sama sekali dengan daerah lain di Indonesia yang rata-rata masih berkembang. Boleh jadi rasa iri muncul, atau jika bukan rasa iri, maka semangat memurnikan Indonesia (chauvinis) dengan dalih agama, budaya atau apapun menjadi pemicu timbulnya teror keamanan.

Ini juga membuat investor berpikir ulang untuk melanjutkan usaha di Indonesia, namun harus disadari juga bahwa terdapat beberapa lembaga yang seakan tidak peduli dengan kondisi keamanan di Indonesia. Sebut saja pertambangan tembaga dan emas milik freeport. Tentunya kita tahu mengapa mereka masih berani melanjutkan usaha di Indonesia. Secara sederhana kita akhirnya bisa menyadari bahwa kalkulasi ekonomi yang dilakukan freeport telah sampai pada sekian puluh skenario, sehingga dalam kondisi keamanan yang tidak kondusif sekalipun mereka masih mampu (berani) bertahan di Indonesia.




Sikap Pekerja Indonesia
Dalam beberapa media yang merilis kualitas hasil kerja pekerja asing baik di Malaysia dan juga di Singapura, pekerja Indonesia menempati posisi terbawah. Ini juga berarti upah mereka pun berada pada strata terbawah. Lalu, bagaimana pola perilaku pekerja Indonesia yang bekerja di beberapa perusahaan asing di Indonesia ? Nampaknya tidak jauh berbeda.
Secara sosial kita baru saja menikmati kebebasan berekspresi setelah sedemikian lama tertahan oleh pola preventif orde baru. Hal ini dirasakan sampai ke titik terendah masyarakat kita. Mulai dari coba-coba memberontak dan juga ikut-ikutan lalu menjadi semacam keharusan memberontak pada saat sedikit saja hak mereka tidak diterima sebagaimana mestinya. Bahkan dalam beberapa kasus, ditemukan solidaritas negatif yang mengarah kepada pemogokan massal yang dipicu oleh masalah yang jauh dari prinsip. Misalnya saja, akibat diterbitkannya Surat Peringatan (SP) oleh manajemen pabrik terhadap pekerja yang sering terlambat masuk kerja, ini masalah kedisiplinan, jadi harus ditegakkan, bukan dibela.

Kemudian, buaian mimpi yang disuguhkan media televisi nasional melalui sinetron serta sajian-sajian lain yang hampir selalu mengesankan bahwa hidup itu harus glamor, mewah dan hidup bekerja berat itu haram. Tayangan itu mau tidak mau mereka nikmati sebab dalam masa prime time hampir semua TV nasional menayangkan sinetron yang menjual mimpi kepada pemirsa. Dampak dari tayangan tersebut adalah sikap yang bossy, kecenderungan melawan, reaktif terhadap sedikit saja desakan yang terkadang demi kebaikan para pekerja serta dampak lain yang terbawa dalam pola kehidupan mereka sehari-hari, termasuk di dunia kerja.

Ini adalah kompleksitas dunia perburuhan di Indonesia, di satu sisi rasa kemerdekaan yang semestinya bisa berdampak positif mengalami pembiasan. Di sisi lain konsumsi mereka terhadap tayangan hiburan media TV secara tidak sadar telah membentuk pola perilaku yang mempersulit mereka sendiri sebagai buruh. Jika sudah begini bukan hanya investor yang ketakutan, namun pemerintah pun seharusnya memiliki kekhawatiran yang diarahkan secara positif.
Eksekusi Amrozi Cs, Positif Bagi Investasi ?
Setelah secara panjang lebar membahas 3 kajian pokok, lalu benarkah eksekusi Amrozi Cs berdampak positif bagi iklim investasi di Indonesia ? Boleh jadi itu hanyalah sebuah upaya penghindaran terhadap tanggung jawab yang seharusnya ada di pundak mereka (BKPM). Eksekusi Amrozi Cs hanya secuil masalah keamanan yang harus ditindaklanjuti dengan kerja nyata tim ekonomi dalam menghadirkan investor ke Indonesia.

Pekerjaan kita masih menumpuk, secara parsial sah-sah saja kita menyampaikan bahwa investor lega dengan dieksekusinya Amrozi Cs. Namun secara riil kita harus lebih sering bertanya kepada diri kita sendiri “Sudah welcome-kah kita kepada para investor?”, dan kita harus mau jujur menjawabnya, bukan sekedar jawaban lips service yang justru akan semakin menjerumuskan iklim investasi di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar