Kamis, 08 Januari 2009

MOGE

Jumat siang selepas solat jumat saya bergegas menuju menuju kampus UB karena ada janji yang harus dipenuhi sekitar jam 13.00. Dengan mengendarai sepeda motor RC 100 rakitan 1993 saya melaju dengan kecepatan biasa saja, toh telat sedikit tidak menjadi soal, begitu kata lawan bicara saya di telepon sekitar jam 10 an tadi.
Seperti biasa saya mengambil jalur terdekat ke kampus UB dari rumah yaitu jalan raya Batu – Malang. Siang itu cukup ramai kendaraan yang melintas di sekitar saya. Sampai perbatasan Batu – Malang tepatnya di depan lapangan Dau (bagi yang pernah tinggal atau kuliah di Malang tentu tahu sekitar situ) saya mendengar bunyi “Nguing-nguing”, ah saya pikir itu suara foreijder polisi yang sedang mengawal pejabat atau ambulance, jadi saya tenang saja dengan sedikit meminggirkan kendaraan saya seperti pengguna jalan yang lain. Saya juga tidak melihat kaca spion sama sekali karena bunyi semacam itu begitu akrab bagi pengguna jalan.
Selang beberapa saat saya kaget setengah mati, tiba-tiba “wuz….wuz…wuz…!” tiga kendaraan sepeda motor dengan cc di atas 500 (moge) menyalip saya dengan kecepatan sangat tinggi dan hanya selisih sekian centimeter saja dari setir kanan sepeda motor saya. Saya kaget bukan main dengan tiga pengendara tadi. Belum hilang kaget saya, dari belakang ada lagi pengendara moge yang meminta penguna jalan di depannya minggir agar mereka bisa leluasa melintas. Saya pun memlilih berhenti, menenangkan kekagetan saya sambil mengelus dada “Tuhan, Kau benar-benar maha adil, makhluk macam begitupun masih Kau beri hidup dengan sangat layak” batinku.
Selang beberapa saat saya melanjutkan perjalanan, namun hati saya tidak tenang, ada yang berkecamuk dalam dada saya. Bukan perasaan tidak terima diperlakukan seperti tadi, namun mari kita coba bahas fakta itu dari beberapa sisi yang menurut saya sungguh menarik untuk direnungkan.
Hak Pengguna Jalan
Bicara soal hak tidak bisa dilepaskan dari pemenuhan kewajiban yang telah dilakukan. Sehingga hak sebagai pengguna jalan dapat kita manfaatkan dengan leluasa dan tanpa rasa was-was bila kewajiban sebagai pengguna jalan telah kita penuhi. Misalnya saja kewajiban membayar pajak kendaraan bermotor yang kita miliki. Dengan membayar pajak maka kita akan tenang berkendaraan dimanapun dan kapanpun. Besar kecilnya pajak kendaraan tidak jadi soal mengingat ukurannya telah tertentu. Soal hak? Tentunya tidak berbeda antara satu pengendara dengan pengendara yang lain. Jadi, tidak berarti bahwa kendaraan denga pajak mahal mendapat prioritas terlebih dahulu, itu sama sekali tidak benar.
Terkait dengan moge, upaya menepikan pengguna jalan lainnya agar mereka dapat lebih leluasa melintas merupakan perampasan hak (atau pengurangan hak) pengendara lainnya. Tanpa melihat UULLAJ kita bisa maklum ketika bunyi foreijder tersebut diidentikkan dengan patwal ataupun ambulance yang memang untuk urusan urgen. Kalau pengendara moge melakukannya? C’mon man ! Jalan itu bukan punya mbahmu, kami membayar pajak juga. Jangan seenaknya membunyikan foreijder lalu meminggirkan pemakai jalan yang lain hanya untuk kepentingan sejumlah kecil anggotamu saja.
Bisa jadi tinjauan itu terlalu emosional, namun sedikit kebenaran yang termaktub di dalamnya akan membuat kita mengangguk tanda setuju kan?

BBM
Semua orang juga tahu bahwa sekarang ini dunia dilanda krisis energi. Minyak mahal, langka dimana-mana sehingga memunculkan ide bahan bakar pengganti dll. Melihat kenyataan itu masih pantaskah kemudian kita turut menambah parahnya krisis energi tersebut dengan memilikki kendaraan bermotor ber-cc besar yang tentunya boros bahan bakar.
Apapun alasan kita, dan biasanya adalah gaya hidup dan penampilan, maka meemiliki kendaraan ber-cc besar (termasuk moge) tidak mendukung semangat hemat energi. Ada informasi yang bisa dipercaya bahwa kendaraan tersebut 1:4 artinya, satu liter bahan bakar hanya untuk perjalanan sejauh 4 km. Bandingkan dengan kendaraan lain pada umumnya yang bisa lebih dari 20 km untuk setiap liter bahan bakarnya.
Sehingga secara langsung moge termasuk salah satu penyebab kelangkaan bahan bakar, yang berakibat pada tingginya harga bahan bakar. Dan, secara umum mereka yang memilikinya tertuduh sebagai penyebab inflasi.
Meski terkesan tidak mendasar namun kita bisa mengangguk juga kan…

Etika Berlalu lintas
Bicara soal etika bangsa kita dengan adat ketimurannya boleh berbangga. Termasuk etika berkendaraan. Namun melihat tingkah para moge bikers layakkah kemudian etika ketimuran ditonjolkan.
Ngebut di jalan umum, zig-zag seenak udelnya sendiri, mengacungkan-acungkan kepalan tangan meminta pengendara lain untuk menepi serta sikap urakan dan ugal-ugalan yang lain merupakan cermin bahwa itu bukan budaya ketimuran kita. Jauh, ya jauh sekali dari semangat kesantunan yang sudah menjadi trade mark masyarakat kita di dunia internasional.
Apakah itu bagian dari globalisasi ?
Jika iya, mari kita pilah dan pilih dengan kepala dingin makna globalisasi sekaligus kita filter dengan segala sesuatu yang sudah in built di dalam kepala dan dada kita. Sekali waktu kita harus mengganti kacamata kita dengan kaca yang lebih buram, lebih kusam dan lebih jelek agar kita bisa memandang persoalan-persoalan yang katanya bagian dari modernisasi dan gaya hidup tersebut dengan lebih jernih, lebih manusiawi, lebih peka sosial, tahu amanat penderitaan rakyat.
Pasti anggukan kita akan semakin dalam untuk perkara ini…



Siapa saja pemiliknya
Tanpa bermaksud menunjukkan rasa iri hati atau memojokkan posisi para kaum borjuis, mau tidak mau diantara segelintir mereka ada yang memiliki moge tersebut. Bila uang yang mereka gunakan untuk membelanjakan moge adalah uang riil, kita akan sedikit bisa memakluminya. Namun diantara pemilik moge tersebut ada pula yang memaksakan dirinya untuk sekedar bisa masuk ke dalam golongan borjuis tersebut dengan cara memakai uang negara.
Sebut saja beberapa kepala daerah baik kabupaten atau kota, dan juga propinsi yang dengan bangga memamerkan koleksi moge mereka dalam beberapa tayangan media. Dan juga, beberapa pejabat negara serta mantan pejabat negara yang menjadi pemilik moge tersebut. Pertanyaannya adalah, di mana hati nurani mereka ? Secara riil gaji kepala daerah setingkat bupati atau walikota tidak lebih dari 7 juta per bulan. Bila dikurangi dengan kebutuhan hidup bulanan serta untuk keperluan partai pengusungnya tentu jumlah tersebut sangatlah kurang. Lalu, (bukan su’udzon) dari mana mereka dapat membeli moge beserta asesorisnya dengan harga ratusan juta bahkan milyaran ?
Kita akan mengangguk-angguk kan untuk soal ini…

Finally,
Rasanya tidak ada habisnya kalau mau menelanjangi aksi para moge bikers baik di jalanan maupun di kehidupan sosial. Sekali lagi ini bukanlah tulisan tentang iri hati karena tidak mampu membeli moge. Sebab bisa jadi saya akan melakukan hal yang sama bila memiliki moge.
Ini hanyalah secuil mirror yang bisa kita gunakan sebelujm kita mengambil keputusan membeli moge. Sebab memilikinya bukanlah sebuah kesalahan, yang salah adalah tidak menempatkannya dalam takaran yang tepat.
Bagi pemilik moge semoga bisa semakin bijak dalam berkendara di jalan umum. Dan bagi yang tidak punya moge….kasian deh !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar