Kamis, 08 Januari 2009

PERIMBANGAN BERTETANGGA

Beberapa rekan dari Malaysia sama sekali tidak terganggu dengan maraknya berita tentang memanasnya hubungan Indonesia – Malaysia. Mereka tetap saja melanjutkan aktifitasnya sehari-hari. Belajar, berolahraga dan tetap berinteraksi dengan rekan-rekan Indon lainnya. Seakan tidak pernah terjadi sesuatu yang mengusik hubungan diplomatik kedua negara.
Malaysia
Telah menjadi rahasia umum volatil-nya hubungan Indonesia - Malaysia. Kondisi ini dipicu oleh dua hal. Pertama, Malaysia menilai bahwa orang Indon adalah bangsa pekerja. Dan seperti dalam koloni semut, pekerja menempati posisi terbawah dalam struktur koloni. Orang Indon hanya boleh bekerja tanpa boleh memutuskan nasib merdeka sehingga Malaysia yang merasa sebagai golongan bangsawan semut merasa berhak atas sebagian nasib golongan pekerja itu.
Kedua, Indonesia merasa Malaysia adalah bangsa yang tidak tahu terima kasih. Seperti sering disampaikan oleh beberapa pembicara di media bahwa Malaysia begitu arogan, tidak tahu terima kasih. Berapa jumlah guru yang sudah kita kirim untuk mendidik mereka. Berapa jumlah TKI yang sudah berkontribusi memperlancar pembangunan fisik mereka. Serta masih banyak lagi pernyataan-pernyataan lainnya dengan inti sama air susu dibalas dengan air tuba.
Kesenjangan view inilah yang kemudian berkembang demikian lebarnya. Masing-masing memiliki latar belakang yang reasonable menurut pandangannya sendiri-sendiri.
Apalagi saat Malaysia di bawah Perdana Menteri Mahathir Muhammad. Mereka begitu pe-de bukan hanya saat berhadapan dengan Indonesia namun juga dunia seperti yang ditunjukkan oleh PM-nya. Keberhasilan demi keberhasilan datang silih berganti baik secara regional maupun internasional. Lihat saja, penyelenggaraan GP Fornula 1 di sirkuit Sepang, penambahan dua pulau, Sipadan – Ligitan, yang tadinya menjadi “milik bersama” dengan Indonesia. Bahkan dengan heroik Mahathir menantang Amerika dengan statemen-statemennya yang sungguh mengundang decak kagum bangsa lain yang justru silau dengan negara adidaya tersebut. Deretan keberhasilan itu membuat kepercayaan diri yang semakin menggunung di dada setiap warga Malaysia.
Sementara di sisi lain, Deretan panjang cerita sukses Malaysia bersamaan datangnya dengan ketidakberuntungan beruntun yang dialami Indonesia. Rangkaian musibah mulai dari bencana alam hingga human error musibah transportasi. Lalu degradasi prestasi olah raga hingga kabut asap yang “rutin” diproduksi oleh hutan Indonesia menambah keyakinan Malaysia bahwa mereka lebih baik dari Indonesia.
Keyakinan Malaysia itu dikuatkan pula oleh kondisi internal masyarakat Indonesia sendiri. Secara sosio-kultur Indonesia hanya terlena dengan permintaan Presiden pertama, Bung Karno, untuk Jas merah, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Pesan mulia untuk selalu teringat dan mewarisi kerja keras pahlawan justru dipahami terlalu jauh. Yang diingat hanya kejayaan Majapahit dan Sriwijaya, lalu terbelenggu dengan sejarah luasnya daerah jajahan dua kerajaan besar tersebut hingga seluruh Malaysia bahkan Madagaskar. Kehebatan Gajahmada, Hayamwuruk dan Sultan Iskandarmuda begitu diagungkan, ditulis dalam ribuan lembar daun lontar dalam babad-babad yang menceritakannya. Namun lupa bahwa taburan kegemilangan itu bukanlah jatuh begitu saja dari langit atau hadiah undian sabun cuci melainkan kritalisasi keringat, begitu kata wong ndeso, Tukul.
Perimbangan
Kita tentu masih ingat dengan Timor timur, propinsi termuda yang kemudian lepas dan merdeka lalu berganti nama dengan Timor Leste. Bagi sebagian warga Timor Leste, Indonesia adalah penjajah. Kawan yang berasal dari negeri muda itu pernah bercerita sambil menahan amarah bagaimana puluhan kerabatnya “dihabisi” militer Indonesia. Lalu sekarang bagaimana sikap dia terhadap Indonesia? Meskipun terlalu jauh untuk sebuah proses generalisasi namun patut diacungi jempol sikap memaafkan yang dia ceritakan dengan tulus. Dia memaparkan bahwa menjadi bagian Indonesia adalah proses sejarah yang yang harus dilewati. Lalu dia menambahkan bahwa dia hidup di masa kini bukan masa lalu ataupun masa depan, sehingga yang terpenting adalah bagaimana bekerja keras sehingga bisa menyejajarkan diri dengan Indonesia. Indonesia adalah inspirasi, katanya mengakhiri pembicaraan.
Kondisi yang bertolak belakang terjadi saat Indonesia berhadapan dengan Timor Leste. Sekian persen warga Timor Leste berkeyakinan bahwa Indonesia telah menjajah kemerdekaan mereka. Sehingga dendam itu masih membara di dada sebagian warganya. Sementara Indonesia tidak pernah kuatir dengan segala sikap Timor Leste, berbeda saat berhadapan dengan Malaysia.
Perimbangan Malaysia – Indonesia – Timor Leste menunjukkan betapa dinamisnya hidup bertetangga dalam konteks kebangsaan. Di satu sisi merasa lebih dalam segala hal dibandingkan tetangga sebelah timur, dan di sisi lain sedang berada dalam kondisi terpuruk bila ditinjau oleh tetangga sebelah barat. Dus, diperlukan lebih dari sekedar nasionalisme untuk bisa sukses dalam hidup bertetangga, apalagi bertetangga secara internasional dengan semangat borderless-nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar