Kamis, 08 Januari 2009

Capres S-1, ancaman atau tantangan ?

Isu capres minimal sarjana memanaskan suhu politik Indonesia beberapa hari terakhir. Pro kontra seputar usul tersebut terus berkembang dan belum mencapai final. Pemerintah sebagai pihak yang memegang peran pentingpun tidak satu suara menyikapi isu tersebut. Istana mengeluarkan pernyataan yang pada intinya tidak pernah merekomendasikan usulan tersebut sementara departemen dalam negeri yang melontarkan usulan tersebut masih bertahan namun secara halus menyatakan bahwa usulan tersebut masih dalam konteks wacana yang memerlukan masukan dari berbagai pihak terkait.

Ancaman
Bagi sebagian partai politik (parpol) isu tersebut jelas merupakan sebuah ancaman terhadap calon presiden (capres) andalan mereka (yang belum sarjana). Mereka beranggapan bahwa usulan tersebut terlalu dipaksakan dan jelas ingin menjegal peluang capres andalan mereka.
Penting untuk disadari bahwa kecenderungan seseorang dalam situasi terancam adalah memasang tameng untuk pertahanan dan bila memungkinkan menyerang lebih dulu sebelum diserang lawan. Dalam kasus syarat sarjana ini tentu pihak yang merasa terancam posisinya akan melakukan naluri alamiahnya dengan dua jalan tersebut. Dengan bertahan, mereka akan berusaha sekuat tenaga agar ancaman tersebut dapat dihilangkan, dan itu berarti mereka akan mengupayakan hilangnya syarat sarjana untuk capres. Dengan menyerang lebih dulu, mereka akan mencari kelemahan (kesalahan) lawan dan menyerangnya. Tentunya dengan isu-isu juga yang mereka pikir akan dapat melemahkan posisi lawan politiknya itu.
Merasa terancam sah-sah saja. Namun harus tetap disikapi dengan kepala dingin. Sebab, tanpa disertai ketenangan dalam menyampaikan keberatannya, hal itu akan dapat memicu aksi dukungan terhadap mereka secara negatif. Kita semua tahu bahwa isu semacam ini akan dapat dengan membakar amarah grass root. Dengan dalih didzalimi, diperlakukan secara tidak adil dan dalih-dalih lainnya, tentu bukan perkara sulit untuk menggerakkan massa menentang usulan tersebut. Akibatnya ? Rakyat lagi yang akan menderita dengan macetnya jalan umum, kekhawatiran para pedagang yang dilalui massa dan akibat-akibat negatif lainnya.

Tantangan
Idealnya, isu tersebut disikapi secara positif. Artinya, bila capres andalan mereka belum sarjana, ya disarjanakan. Proses dinamisasi akan terjadi seandainya isu tersebut menjadi kenyataan. Artinya dengan presiden yang minimal sarjana , yang terbiasa berpikir secara ilmiah dan penuh pertimbangan sesuai dengan metodologi sebuah ilmu pengetahuan, ketegasan dalam bersikap akan menjadi budaya.
Ketika kemudian muncul komentar miring bahwa bukan jaminan seorang sarjana akan dapat memimpin negara dengan baik, maka yang terjadi adalah sebuah sikap pesimis terhadap kondisi bangsa. Tidak ada seorangpun yang dapat menjamin akan dapat meraih kesuksesan saat memimpin negara sebesar Indonesia. Namun setidaknya jalan menuju kesuksesan tersebut sudah ditempuh setelah sebelumnya direncanakan secara matang. Dan kita tahu bahwa kebiasaan merencanakan sesuatu secara sistematis (sebagai satu syarat awal menuju keberhasilan) merupakan makanan pokok calon-calon sarjana.
Belum lagi wawasan calon sarjana yang semakin terbuka dengan heterogennya masyarakat perguruan tinggi. Ini penting, mengingat kekayaan suku dan budaya Indonesia menuntut pemimpinnya dapat memahami dengan baik potensi perbedaan yang mungkin dapat menimbulkan konflik SARA.
Dengan bersandar pada sistem demokrasi, layak kita tunggu perkembangan isu ini. Beberapa tokoh bahkan mengusulkan adanya jalan tengah dengan menyatakan bahwa capres minimal sarjana adalah baik, namun bukan untuk pilpres 2009. Mungkin untuk 2014 atau 2019 atau mundur lagi sampai semua siap, tapi kapan siapnya? Seringkali kita harus dipaksa untuk sekedar siap dalam menghadapi sesuatu. Dan untuk perkara presiden haruskah kita gambling dengan sikap asal pilih ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar