Kamis, 08 Januari 2009

Virus Tukul Melanda Wakil Rakyat

Kembali ke lap…top…!
Itulah kalimat singkat yang sangat terkenal dari komedian Tukul Arwana dalam satu program talk show di sebuah stasiun televisi kita. Menurut Tukul kalimat itu sengaja dilontarkan ketika pembicaraan dengan bintang tamu sudah mulai keluar jalur, dan, laptop (masih menurut Tukul) dia gunakan sebagai alat untuk menjaga dia tetap fokus pada topik.
Itu versi Tukul. Bagimana dengan wakil rakyat ? Apakah saat mereka mendapat jatah laptop nanti juga dapat bermanfaat sehingga tetap sadar dan fokus bahwa dia adalah wakil rakyat yang harus selalu berjuang demi rakyat yang diwakilinya? bukan justru menyakiti hati rakyat dengan perilaku-perilaku yang tidak pro rakyat. Kita layak menunggu jawabannya dalam sisa waktu kerja mereka yang tinggal 2 tahun.
Seperti sedang ramai diberitakan, Sekjen DPR Faisal Djamal mengumumkan bahwa Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR pada pertengahan 2006 memutuskan pengadaan laptop untuk seluruh anggota dewan yang berjumlah 550 orang dengan nilai total 12,1 milyar (Jawa Pos, 22 maret 2007). Sebuah realita yang bertolak belakang dengan kondisi rakyat yang sedang menderita akibat bencana yang bertubi-tubi termasuk kesulitan pangan.
Urgensi
Ketua DPR Agung Laksono mengomentari rencana pengadaan alat kerja berteknologi tinggi di parlemen sebagai kebutuhan yang rasional. Tidak dapat dipungkiri memang keberadaan laptop merupakan sebuah keharusan dalam upaya peningkatan kinerja DPR. Kita tahu bahwa pekerjaan para wakil rakyat seringkali berkaitan dengan komputer, dan seakan-akan mereka tidak dapat bekrja tanpa adanya komputer. Itu masuk akal. Artinya, beberapa jenis pekerjaan memerlukan keberadaan komputer (termasuk komputer jinjing atau laptop) sebagai sarana memperlancar pekerjaan.
Namun satu hal yang harus menjadi pertimbangan adalah, bahwasanya laptop dan segala jenis komputer lainnya hanyalah sebagai salah satu sarana atau alat bantu (supporting system) untuk dapat terselesaikannya pekerjaan. Bukan faktor penentu utama. Jadi, tanpa (memiliki) laptop-pun bila memang punya niat yang tulus untuk bekerja keras serta tetap konsisten pada upaya-upaya tercapainya tujuan, hampir dapat dipastikan hasil terbaik akan tercapai.
Timbulnya alasan bahwa pekerjaan yang terkait dengan naskah masih berupa konsep dan belum final, atau seorang anggota dewan ketinggalan berita karena belum sempat buka internet (email) sebenarnya adalah sesuatu yang patut dipertanyakan. Bahkan seorang Roy Suryo pun tidak yakin seluruh anggota dewan bisa mengoperasionalkan laptop tersebut (Jawa Pos, 24 Maret 2007).
Besar kemungkinan dua hal tadi (kecepatan transfer informasi dan penyediaan sarana pengetikan) dijadikan kamuflase latar belakang pengadaan laptop bagi anggota DPR tersebut. Hidden agenda-nya? Hanya Tuhan dan para pelakunya yang tahu. Sinyalemen mengeruk uang negara dengan berpayung mekanisme legal formal memang kuat, tetapi siapa yang mampu menguak tabir misteri sekaligus membatalkan keputusan tersebut? Sementara Ketua DPR pun sudah menyatakan setuju atas proyek tersebut, bahkan sudah dimasukkan APBN tahun 2007. Artinya tinggal dilaksanakan saja.
Laptop Vs Beras
Selain laptop senilai 12,1 milyar, peranti teknologi wakil rakyat lainnya yang bersamaan jadwal pengadaannya adalah 2 unit scanner senilai 300 juta, 70 unit laptop untuk Setjen DPR senilai 1,54 milyar, 85 unit PC (personal computer) senilai 1,275 milyar, 4 unit server senilai 1,738 milyar, pembuatan aplikasi senilai 250 juta, pembuatan desain teknologi informasi senilai 500 juta dan pengadaan jaringan internet dengan wireless fidelity (wifi) senilai 1,399 milyar. Sehingga dana total yang harus dikeluarkan negara untuk memenuhi proyek peranti teknologi tersebut senilai 19,1 milyar.
Bila harga beras kualitas sedang saat ini Rp. 5.000 per kilogram, kita semua dapat melakukan kalkulasi sederhana sebagai berikut : dengan uang 19,1 milyar kita dapat membeli 3.820.400 kilogram atau 3.820 ton beras. Dengan asumsi sederhana bahwa sebuah keluarga (ayah, ibu dan 2 anak) per hari mengonsumsi satu kilogram beras maka beras 3.820 ton tadi dapat dikonsumsi oleh 127.346 keluarga atau 509.384 jiwa selama satu satu bulan penuh. Subhanallah! Penduduk kotamadya Batu yang 130 ribu jiwa dapat disantuni beras gratis selama hampir empat bulan dengan dana 19,1 milyar tersebut. Luar biasa!
Bahwasanya beras itu nantinya akan habis dikonsumsi sedangkan laptop tidak, adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Namun, yang harus mendapat prhatian serius adalah derajat sense of crisis anggota DPR bila proyek pengadaan laptop nanti benar-benar direalisasikan. Bisa menjadi sebuah ironi, tetapi bila merujuk pada kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat yang telah lewat nampaknya kita (rakyat) harus siap mengelus dada menahan marah, berlatih ikhlas dengan kenyataan yang terjadi.
Dalam pernyataan terakhirnya Agung Laksono menyampaikan bahwa masyarakat harus ikut mengawasi proses tender laptop tersebut agar jujur, terbuka dan transparan di hadapan publik, sekaligus melakukan pengawasan terhadap keberadaan inventaris negara tersebut. Memangnya rakyat dapat apa saat menjumpai penyimpangan tender maupun pemakaian laptop tersebut? Paling-paling temuan faktanya akan ditampung lalu dibuang di tong sampah gedung DPR, sedikit lebih beruntung daripada dituduh menyebar fitnah, pencemaran nama baik, dituntut, diadili lalu dipenjara.
Daripada bernasib tragis seperti itu lebih baik nonton Tukul sambil berharap semoga Senin depan dan selanjutnya dia mengganti kalimat “kembali ke laptop” dengan “BELI LAPTOP SENDI…RI!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar