Kamis, 08 Januari 2009

Laki-laki Pemalu

Dion, begitu orang sekampung biasa memanggilnya. Nama lengkapnya adalah Ngadiono bin Mustafa Djakfar. Dia memilih nama panggilan dengan sebutan keren, Dion, setelah memutuskan hijrah ke Jakarta 8 tahun silam. Di kampungnya, sebuah tempat asri di pinggiran sungai brantas di Jawa Timur dia biasa dipanggil Ngadi, namun untuk menyesuaikan dengan pergaulan di Jakarta dia mengubah panggilannya dari Ngadi ke Dion.

Di lingkungan barunya, kawasan kebayoran lama, Dion dikenal sebagai pemuda yang pendiam, tidak banyak tingkah dan cenderung pemalu. Sangat jarang para tetangganya melihat Dion tertawa terbahak-bahak. Paling kalau bertemu hanya bertegur sapa secukupnya, saling melempar senyum bahkan tidak jarang hanya sekedar menganggukkan kepala tanda hormat.

Pun juga para tetangga tidak pernah tahu apa pekerjaan Dion sebenarnya. Para tetangga hanya tahu, pagi sekali sekitar jam 6 lebih sedikit Dion sudah meninggalkan kamar kosnya dengan tas reansel besar di punggungnya dan menjelang tengah malam baru pulang ke kosnya, tetap dengan tas besar menggelantung di punggungnya. Para tetangga tidak tahu pasti apa pekerjaan Dion, mereka hanya tahu Dion suka membantu bila ada tetangga kesulitan keuangan, menyumbang kas masjid, memberi uang jajan kepada anak-anak tetangga serta kebaikan lain yang sejenis dengan itu.

Boleh dikata, semua cap kebaikan telah melekat dalam diri Dion meski warga sekitar tidak pernah tahu Dion dengan sesungguhnya. Warga pun seolah tidak peduli dengan latar belakang Dion, pekerjaan Dion, dan lain-lain tentang Dion. Mata mereka telah tertutup dengan keseharian Dion yang menunjukkan sikap baik dan seakan tanpa masalah dengan warga sekitarnya.

Sampai pada suatu malam, warga sekitar jalan Limo Kebayoran Lama dikejutkan oleh kemunculan sepasukan polisi berpakaian lengkap dengan senjata laras panjang siap menyalak kapan saja. Setelah beberapa saat sang komandan berbincang dengan pak RT pasukan polisi itupun menuju rumah kos Dion. Ini yang membuat warga bertambah heran. Mereka berbisik-bisik, berkasak-kusuk apa yang telah dilakukan Dion. Mengingat di rumah kos tersebut ditinggali Dion saja meskipun sebenarnya ada 4 kamar lain di sisi belakang.

Warga bertambah penasaran ketika mulai terdengar kata-kata “jangan lari”, “rumah ini sudah dikepung”, “angkat tangan dan meyerahlah” dan lain sebaginya sambil diiringi bunyi letusan pistol beberapa kali. Kegaduhan yang membangunkan warga sekitar rumah kos Dion. Warga berbondong-bondong menuju rumah kos Dion, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Selang 15 menit kegaduhan berhenti, warga tidak bisa terlalu dekat melihat rumah kos Dion karena polisi telah memasang garis polisi yang mengelilingi rumah kos tersebut. Beberapa saatkemudian, datang mobil ambulance polisi menyibak kerumunan warga. Dan tidak lama kemudian dari dalam rumah kos Dion warga semakin terkejut mendapati Dion terbaring tak berdaya didorong memasuki ambulance yang telah menunggu di luar rumah.

Warga bertanya-tanya apa kesalahan Dion, mereka saling bertanya tanpa ada satupun yang dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Muncul berbagai macam spekulasi mulai dari Dion yang pengedar narkoba, Dion yang teroris, Dion yang perampok, Dion yang anggota preman dan lain sebagainya.

Rasa penasaran warga sedikit terbayar saat polisi memberikan sedikit ruang kepada warga untuk bisa melihat dari kejauhan kamar kos Dion yang memang paling depan dengan jendela kaca tertutup gorden biru yang tidak pernah terbuka. Warga terbelalak menyaksikan koleksi 7 tengkorak manusia yang dijadikan hiasan dinding kamar Dion, Juga tumpukan tulang belulang manusia yang ditemukan tersimpan rapi di sebuah kotak kayu di bawah tempat tidur Dion.

Warga semakin terbelalak tatkala mendapati seorang polisi yang membawa sebuah penggorengan yang berisi potongan kaki manusia dengan aroma bumbu kecap.

Besok paginya headline koran seantero Jakarta berbunyi “Pemuda kanibal ditangkap di kamar kos”

Virus Tukul Melanda Wakil Rakyat

Kembali ke lap…top…!
Itulah kalimat singkat yang sangat terkenal dari komedian Tukul Arwana dalam satu program talk show di sebuah stasiun televisi kita. Menurut Tukul kalimat itu sengaja dilontarkan ketika pembicaraan dengan bintang tamu sudah mulai keluar jalur, dan, laptop (masih menurut Tukul) dia gunakan sebagai alat untuk menjaga dia tetap fokus pada topik.
Itu versi Tukul. Bagimana dengan wakil rakyat ? Apakah saat mereka mendapat jatah laptop nanti juga dapat bermanfaat sehingga tetap sadar dan fokus bahwa dia adalah wakil rakyat yang harus selalu berjuang demi rakyat yang diwakilinya? bukan justru menyakiti hati rakyat dengan perilaku-perilaku yang tidak pro rakyat. Kita layak menunggu jawabannya dalam sisa waktu kerja mereka yang tinggal 2 tahun.
Seperti sedang ramai diberitakan, Sekjen DPR Faisal Djamal mengumumkan bahwa Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR pada pertengahan 2006 memutuskan pengadaan laptop untuk seluruh anggota dewan yang berjumlah 550 orang dengan nilai total 12,1 milyar (Jawa Pos, 22 maret 2007). Sebuah realita yang bertolak belakang dengan kondisi rakyat yang sedang menderita akibat bencana yang bertubi-tubi termasuk kesulitan pangan.
Urgensi
Ketua DPR Agung Laksono mengomentari rencana pengadaan alat kerja berteknologi tinggi di parlemen sebagai kebutuhan yang rasional. Tidak dapat dipungkiri memang keberadaan laptop merupakan sebuah keharusan dalam upaya peningkatan kinerja DPR. Kita tahu bahwa pekerjaan para wakil rakyat seringkali berkaitan dengan komputer, dan seakan-akan mereka tidak dapat bekrja tanpa adanya komputer. Itu masuk akal. Artinya, beberapa jenis pekerjaan memerlukan keberadaan komputer (termasuk komputer jinjing atau laptop) sebagai sarana memperlancar pekerjaan.
Namun satu hal yang harus menjadi pertimbangan adalah, bahwasanya laptop dan segala jenis komputer lainnya hanyalah sebagai salah satu sarana atau alat bantu (supporting system) untuk dapat terselesaikannya pekerjaan. Bukan faktor penentu utama. Jadi, tanpa (memiliki) laptop-pun bila memang punya niat yang tulus untuk bekerja keras serta tetap konsisten pada upaya-upaya tercapainya tujuan, hampir dapat dipastikan hasil terbaik akan tercapai.
Timbulnya alasan bahwa pekerjaan yang terkait dengan naskah masih berupa konsep dan belum final, atau seorang anggota dewan ketinggalan berita karena belum sempat buka internet (email) sebenarnya adalah sesuatu yang patut dipertanyakan. Bahkan seorang Roy Suryo pun tidak yakin seluruh anggota dewan bisa mengoperasionalkan laptop tersebut (Jawa Pos, 24 Maret 2007).
Besar kemungkinan dua hal tadi (kecepatan transfer informasi dan penyediaan sarana pengetikan) dijadikan kamuflase latar belakang pengadaan laptop bagi anggota DPR tersebut. Hidden agenda-nya? Hanya Tuhan dan para pelakunya yang tahu. Sinyalemen mengeruk uang negara dengan berpayung mekanisme legal formal memang kuat, tetapi siapa yang mampu menguak tabir misteri sekaligus membatalkan keputusan tersebut? Sementara Ketua DPR pun sudah menyatakan setuju atas proyek tersebut, bahkan sudah dimasukkan APBN tahun 2007. Artinya tinggal dilaksanakan saja.
Laptop Vs Beras
Selain laptop senilai 12,1 milyar, peranti teknologi wakil rakyat lainnya yang bersamaan jadwal pengadaannya adalah 2 unit scanner senilai 300 juta, 70 unit laptop untuk Setjen DPR senilai 1,54 milyar, 85 unit PC (personal computer) senilai 1,275 milyar, 4 unit server senilai 1,738 milyar, pembuatan aplikasi senilai 250 juta, pembuatan desain teknologi informasi senilai 500 juta dan pengadaan jaringan internet dengan wireless fidelity (wifi) senilai 1,399 milyar. Sehingga dana total yang harus dikeluarkan negara untuk memenuhi proyek peranti teknologi tersebut senilai 19,1 milyar.
Bila harga beras kualitas sedang saat ini Rp. 5.000 per kilogram, kita semua dapat melakukan kalkulasi sederhana sebagai berikut : dengan uang 19,1 milyar kita dapat membeli 3.820.400 kilogram atau 3.820 ton beras. Dengan asumsi sederhana bahwa sebuah keluarga (ayah, ibu dan 2 anak) per hari mengonsumsi satu kilogram beras maka beras 3.820 ton tadi dapat dikonsumsi oleh 127.346 keluarga atau 509.384 jiwa selama satu satu bulan penuh. Subhanallah! Penduduk kotamadya Batu yang 130 ribu jiwa dapat disantuni beras gratis selama hampir empat bulan dengan dana 19,1 milyar tersebut. Luar biasa!
Bahwasanya beras itu nantinya akan habis dikonsumsi sedangkan laptop tidak, adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Namun, yang harus mendapat prhatian serius adalah derajat sense of crisis anggota DPR bila proyek pengadaan laptop nanti benar-benar direalisasikan. Bisa menjadi sebuah ironi, tetapi bila merujuk pada kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat yang telah lewat nampaknya kita (rakyat) harus siap mengelus dada menahan marah, berlatih ikhlas dengan kenyataan yang terjadi.
Dalam pernyataan terakhirnya Agung Laksono menyampaikan bahwa masyarakat harus ikut mengawasi proses tender laptop tersebut agar jujur, terbuka dan transparan di hadapan publik, sekaligus melakukan pengawasan terhadap keberadaan inventaris negara tersebut. Memangnya rakyat dapat apa saat menjumpai penyimpangan tender maupun pemakaian laptop tersebut? Paling-paling temuan faktanya akan ditampung lalu dibuang di tong sampah gedung DPR, sedikit lebih beruntung daripada dituduh menyebar fitnah, pencemaran nama baik, dituntut, diadili lalu dipenjara.
Daripada bernasib tragis seperti itu lebih baik nonton Tukul sambil berharap semoga Senin depan dan selanjutnya dia mengganti kalimat “kembali ke laptop” dengan “BELI LAPTOP SENDI…RI!”

UUAP, Mengapa harus kontra ?

Beberapa hari lalu UUAP disahkan oleh DPR RI. Reaksipun bermunculan dari berbagai kalangan di negeri ini. Mulai dari yang pro sampai dengan yang kontra. Golongan yang setuju dengan UUAP rasanya tidak perlu dibahas lebih lanjut, namun yang kontra, dengan berbagai alasan yang dikemukakan rasanya menarik untuk disimak kemana bola panas ini akan bergulir.

Berawal dari rasa penasaran tersebut, saya minta kopi UUAP tersebut kepada seorang sahabat yang tinggal di Jakarta dan sehari-hari beraktifitas dalam bidang yang memang terkait dengan bidang tersebut. Satu hari berselang kopi UUAP sudah muncul di inbox saya, lalu hanya perlu beberapa detik untuk mengunduhnya dan saya pun dapat membacanya dengan lebih nyaman setelah saya cetak di atas kertas.

UUAP tersebut saya baca berulang-ulang, sehari penuh saya bawa kemana-mana, tiap ada teman atau siapapun yang baru kenal saya sampaikan bahwa saya memiliki kopi UUAP dan saya persilahkan untuk mengkopinya. Saya sengaja melakukan ini untuk memberikan sedikit pembelajaran kepada orang-orang di sekitar saya bahwa sebelum mengetahui dengan lengkap segala sesuatu sebaiknya tidak berkomentar, tidak berpendapat yang justru dapat memperkeruh sebuah permasalahan. Jadi kalaupun sejauh ini saya tidak pernah memberikan komentar apapun tentang UUAP, bukan berarti saya tidak peduli, namun lebih karena saya belum membacanya secara lengkap.

Kembali kepada permasalahn UUAP yang baru saja saya dapatkan. Membaca UUAP lebih dari 5 kali membuat saya terheran-heran, dimana anehnya UU ini ? Mengapa ditolak di berbagai daerah ? Mengapa sedemikian keras menolak UU ini sampai-sampai mengancam akan melepaskan diri dari NKRI ? Bali, Papua Barat ataupun daerah lain yang melakukan ancaman terhadap kesatuan NKRI rasanya sedang out of mind. No worry at all man !

Kalaupun alasan penolakan adalah demi budaya, demi wisatawan, penting mana kelangsungan hidup generasi penerus bangsa ini dengan beberapa lembar USD yang bisa didapat dari sektor lain ? Pun juga ada satu pasal (pasal 14) yang jelas-jelas menyebutkan bahwa “pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan yang memiliki nilai : seni dan budaya; adat istiadat dan; ritual tradisional”. Lalu, kenapa harus kuatir? Kenapa harus menolak sesuatu yang jelas-jelas menjamin utuhnya moral bangsa ? kembalinya nilai-nilai luhur ketimuran yang baru saja retak dengan derasnya arus teknologi informasi akibat dari euforia reformasi ?

Ironis, sungguh ironis bila melihat sederet nama yang masuk dalam barisan yang menolak UUAP tersebut. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada mereka rasanya kita menjadi semakin tahu siapa sebenarnya yang punya komitmen penuh dalam membangun bangsa ini seutuhnya serta siapa yang berkoar membangun bangsa tapi pada kenyataannya justru sebaliknya.

Keberadaan sebuah UU dalam sebuah negara tidaklah main-main. Harus ditaati dan bersifat mengikat sesiapa yang tinggal di tanah air tercinta ini. Adanya sekelompok orang yang menyatakan berseberangan dengan UU tidak bisa dianggap sepele. Itu dapat diartikan mengancam negara.

Saya masih ingat bagaimana UULLAJ Th 92 yang sedemikian seru diperdebatkan waktu itu. Pro-kontra selalu menghiasi media dari hari ke hari. Mulai dari pertanyaan keberpihakan sampai kepada kekuatiran-kekuatiran yang kalau dirunut sama persis dengan RUU AP yang baru saja disahkan beberapa hari lalu. Namun begitu UULLAJ di-dok (disahkan) lalu dilaksanakan toh semua berjalan baik-baik saja.

Pro-kontra adalah masalah biasa, namun diperlukan kearifan serta keberpihakan yang nyata demi masa depan bangsa Indonesia tercinta. Bagi yang pro UUAP saya ucapkan selamat, perjuangan baru saja dimulai, jangan puas hanya dengan pengesahan UUAP. Mari dukung UUAP dengan tindakan nyata. Dan bagi yang kontra UUAP, jangan-jangan saudara-saudara belum pernah membaca materi UUAP secara komplit ?

Terpaksa

Aku terpaksa lahir karena perbuatan halal bapak-emakku pada malam pertama pernikahan mereka. Tanpa merasa kuatir aku nanti akan diberi makan apa, mengingat kemiskinan orang tua mereka berdua yang kini menjadi kakek-nenekku. Bapak dan emak seperti dua orang anak kecil yang mendapat mainan baru, sehingga mereka melakukannya berulang-ulang berharap regukan kenikmatannya tidak akan pernah habis. Emak pun buncit perutnya hingga melahirkan aku.
Aku terpaksa menjadi bayi karena gagalnya upaya emakku saat mengaborsiku lantaran hamil di luar kandungan, begitu kata dokter. Nyatanya dokter hanya menakut-nakuti emakku, sebab aku dapat lahir dengan selamat tanpa cacat fisik sedikitpun. Demikian juga dengan emak yang sehat wal afiat pasca melahirkanku. Mungkin dokter muda itu ingin segera balik modal saat memutuskan mengaborsiku, sebab kata orang biaya sekolah dokter itu mahal, mencapai puluhan jutaan rupiah.
Aku terpaksa menghabiskan masa kecil dengan angon1 kambing, mencari rumput sekaligus mencari kayu bakar buat luwengan2 emak. Sebab emak bilang aku nggak boleh makan kalau pulang angon nggak bawa rumput buat makan malam empat kambing kami dan kayu bakar untuk masak. Emak juga bilang main-main dengan anak sebaya itu buang-buang waktu, hidup harus kerja keras. ”Kau dilahirkan bukan untuk bermalas-malasan tapi untuk bekerja dan bekerja” begitu kata emak berulang-ulang setiap kali aku terlihat tidak bersemangat atau memprotes keputusan larangan bermainnya.
Aku terpaksa sekolah di SD paling murah di desaku karena bapak mati begitu cepat sehingga emak sendirian membiayai kebutuhan rumah tangga. Dan lagi, sedari awal kami memang keluarga yang serba kekurangan. Buku pelajaran hanya menjadi angan-angan, seragam sekolah tidak beda dengan seragam angon, pensil sisa dari pensil alis emak waktu menikah dulu setia menemani. Tasku dari kain bekas karung tepung pemberian Haji Maksiyah saat emak bekerja untuk keluarga itu. Emak sengaja menempatkan segitiga birunya pas di bagian luar, sehingga tasku tidak kalah keren dibanding milik teman-temanku. Sayang tulisan netto 50 kg-nya tidak dihapus sama emak. Akhirnya teman-temanku tahu kalau itu bekas karung tepung.
Aku terpaksa sekolah SMP dengan berjalan kaki sejauh 5 kilometer pergi-pulang setiap hari. Emak bilang ”Boleh sekolah tapi jalan kaki, jangan ikut-ikutan teman-temanmu yang minta dibelikan sepeda pancal, atau naik angkudes. Bawa bekal dari rumah, emak tidak akan pernah sekalipun memberimu uang jajan.” Tiap pagi emak membekaliku dengan singkong rebus buat makan di sekolah. Jadilah tiap pagi aku menenteng tas ”segitiga biru”-ku sambil bawa tas plastik berisi singkong rebus. Kadang-kadang emak pakai tas plastik transparan hingga singkong plus sambalku terlihat dengan jelas. Teman-teman di sekolah suka menertawakanku sambil sengaja mengunyah roti atau menyeruput jus jeruk yang mereka beli di kantin sekolah. Satu-satunya kemajuan yang ada padaku adalah sepasang sepatu yang menghiasi kakiku setiap hari. Itupun bukan dapat dari beli tapi secara nggak sengaja aku menemukannya hanyut di sungai tempat biasa aku mandi sore.
Aku terpaksa sekolah SMU telat 2 tahun dari seharusnya. Emak bilang nggak kuat membiayaiku sekolah SMU dengan segala tetek bengek biaya yang harus ditanggungnya. Aku pasrah saja dengan keputusan emak, sebab aku sudah janji sama almarhum bapak untuk tidak pernah membantah apapun perintah, kemauan dan keputusan emak bagaimanapun tidak setujunya aku. Hari-hari selepas SMP aku isi dengan ikut emak keliling desa berjualan kue. Aku yang menyunggi kue, emak yang teriak-teriak menjajakannya. Ada rasa malu saat pertama kali menjalaninya, apalagi saat berpapasan dengan dengan teman-temanku yang berangkat sekolah SMU naik motor di kota kecamatan. Perih sekali rasanya hatiku. Tapi, aku bisa apa? Emak memang belum punya uang untuk biaya sekolahku. Satu-satunya yang menghiburku adalah janji emak untuk menyekolahkanku ke SMU di kota kecamatan bila uang tabungan sudah cukup untuk mendaftar dan beli sepeda pancal bekas di pasar rombeng. Bayangan menaiki sepeda pancal begitu menyemangatiku dalam memanggul keranjang kue, dan lagi selama ini emak tidak pernah ingkar janji. Dan benar, tabungan emak sudah cukup untuk mendaftar SMU dan beli sepeda pancal. Aku begitu bahagia mendengar ajakan emak untuk mendaftar sekolah SMU sekaligus beli sepeda pancal, sepatu baru dan tas sekolah. Khusus tas sekolah aku sengaja menolak tawaran emak, sebab selain ”segi tiga biru”-ku masih bagus, aku tahu emak sangat ingin beli kain panjang yang sejak lama diinginkannya di pasar wage. Dan kalau uangnya dibelikan tas tentu emak nggak akan bisa beli kain itu. Padahal setahuku, terakhir kali emak beli kain panjang adalah sekitar dua bulan sebelum bapak mati.
Aku terpaksa tidak kuliah sampai usiaku hampir 23 tahun karena aku tidak mau lagi membebani emakku yang sudah terlalu renta, bahkan untuk sekedar ”menyunggi” keranjang kue sekalipun. Jadilah setamat SMU aku yang melanjutkan berjualan kue keliling kampung dengan sepedaku, sementara emak membuka warung kue di teras rumah. Suatu ketika aku pamit emak untuk kuliah ke kota dengan modal uang tabunganku sendiri. Awalnya emak keberatan, namun setelah aku janji akan pulang menjenguknya tiap bulan, akhirnya emak mengijinkanku pergi kuliah. Aku diterima di sebuah PTS yang berstatus ”terdengar” di kota. Tiap hari kuliah sambil sorenya berjualan kue meneruskan usaha. Sebelum berangkat kuliah emak memang sempat mengajariku beberapa resep kue.
Aku terpaksa lulus kuliah dan langsung bekerja mengingat kuatnya desakan emakku untuk segera menikahkanku dengan Sumi, gadis ayu berambut panjang yang seingatku pintar mengaji. Sebenarnya kami masih ada kaitan keluarga, tapi emak nggak peduli dengan penjelasanku bahayanya menikah dengan orang yang masih ada pertautan darah. Bisa muncul gen resesif kata buku yang pernah aku baca. ”Mau resesip, intensip, gosip atau apapun yang penting hitunganku dengan Yu Parmi, simboknya Sumi, sudah sip, jangan macam-macam” tegas emak waktu itu. Jadilah aku diikat, tapi demi emak aku harus mengiyakan pernikahan itu terjadi padahal desakan dalam dadaku untuk berkarya demi kemajuan desa-desa di wilayahku sedemikian besarnya. Tapi ya sudahlah, toh aku sudah 28 tahun, ada yang menawarkan diri untuk aku nikahi. Daripada jadi bujang lapuk, lebih banyak mudharatnya kata pak ustad. Jadilah kami menikah secara sederhana di surau depan rumah pak RW dengan disaksikan keluarga dekat kami. Aku maharkan seperangkat alat sholat dan Al-Quran kepada Sumi, hanya sayangnya banderol harganya lupa nggak aku lepas karena begitu tergesa-gesa. Aku ingat betul harga keduanya tidak lebih dari 50 ribu.
Aku terpaksa punya dua oarang anak karena pakde Tarman, ayah mertuaku, tidak membolehkanku menunda punya anak. KB itu haram kata beliau. Akupun menurut saja walaupun sebenarnya aku berniat menunda punya anak sembari mempersiapkan perekonomian keluargaku dulu agar bisa lebih mapan saat memiliki anak. Agar tidak terulang lagi penundaan-penundaan sekolah seperti yang pernah kualami. Desakan Sumi untuk segera menggendong anak menambah lemah posisi tawarku. Sumi berdalih mumpung belum tua, jadi fisiknya masih kuat kalau harus menggendong banyak anak. Ya sudah, rencana ikut KB dengan terpaksa aku batalkan demi membahagiakan banyak pihak. Akhirnya, kamipun punya dua orang anak, perempuan semua. Kunamakan mereka Darti dan Darmi, singkat dan gampang diingat. Artinya pun juga tidak muluk-muluk, Darti berarti dari hati dan Darmi mengandung arti dari kami. Dua-duanya demikian hebat dalam segi kecerdasan otak. Seringkali aku kewalahan menghadapi pertanyaan-pertanyaan mereka yang kurasa jauh di luar jangkauan pemikiranku. Akupun harus selalu menambah pengetahuanku. Dan sekali lagi aku tegaskan bahwa aku melakukannya dengan penuh keterpaksaan.
Aku terpaksa menikahkan kedua anakku saat keduanya masih berusia 15 tahun karena menjadi korban pemerkosaan yang dilakukan oleh pemuda berandal yang sedang mabuk sepulang menonton gambus peringtan Isra’ mi’raj di balai desa. Hancur, sedih, marah, kecewa bercampur-baur menyesaki dadaku, apalagi setelah tahu bahwa dua pemuda yang memperkosa anakku adalah Wandi, anak bungsu pak Lurah yang masih berumur 16 tahun dan Slamet, 33 tahun, juragan beras yang terkenal punya hobi kawin-cerai. Kedua anakku terlihat tabah menghadapi pernikahan mereka. Berbeda dengan Sumi, kedua mertuaku, emak dan juga aku yang benar-benar merasa patah menghadapinya. Kami membayangkan dosa yang harus kami tanggung serta derasnya gunjingan warga desa. Namun dengan keterpaksaan tingkat tinggi aku dapat melaluinya dengan tabah. Beban yang demikian berat membuatku terlihat lebih tua dari umurku yang sebenarnya. Berbagai macam penyakit pun mulai mengakrabiku. Mulai dari penyakit jantung hingga hipertensi. Ditambah dengan memutihnya rambut, kurus keringnya badan, gigi yang menghitam lalu tanggal menjadi sajian yang memaksaku menerimanya. Sampai-sampai tetanggaku bilang aku lebih mirip adik daripada anaknya emak.
Dan, akhirnya, aku terpaksa mati di usia tidak sampai 50 tahun karena Tuhan yang maha memaksa memanggilku dengan paksaan yang tak dapat kutolak. Tuhan seakan tak peduli walaupun aku belum dapat membahagiakan emakku, Sumi serta pakde Tarman dan bude Parmi yang sudi menerimaku menjadi menantunya. Juga tanggung jawab merawat cucu-cucuku dari Darmi dan Darti. Demikian juga terputusnya upayaku mendidik Wandi dan meluruskan jalan Slamet menantuku. Juga segudang keinginan untuk sekedar memberikan sumbangan pemikiran terhadap kemajuan desaku. Semuanya terkubur bersama kematianku. Mau gimana lagi, lha wong Tuhan yang memaksa.

1.angon : menggembala (biasanya ternak, kambing atau sapi).
2.luwengan : tungku yang terbuat dari bata merah dengan adonan tanah sebagai perekat.

Siapa Bilang Indonesia Sakit

“Aku sekarang ada di Taiwan, jadi TKW, kalo di Indonesia PRT gitu lah. Sehari-hari kerjaanku seputar nyuci, nyeterika, ngepel, nyapu dan pekerjaan sejenis yang biasa aku kerjakan di rumah dulu tapi gak dibayar”

Itu adalah sepenggal kalimat yang tersimpan di dalam inbox ponsel saya. Pesan itu saya terima sekitar awal bulan lalu pada sebuah siang yang panas. Pengirimnya adalah seorang saudara perempuan yang dulu begitu berprestasi di masa sekolah mulai dari semenjak SD sampai merampungkan gelar Ahli Madya Public Relation di Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Selalu ada kalimat “ironis, tragis, menyedihkan, pingin nangis dan sebagainya” dalam tiap pesan yang dia kirimkan padaku pada hari-hari selanjutnya. Selalu saja ada penyesalan yang menggunung mendapati kenyataan bahwa akhirnya harus menjadi seorang pembantu rumah tangga, di negeri orang lagi.

Selalu ada kalimat “seandainya, seharusnya, semestinya dan sebagainya” yang meluncur dari bibirnya tiap kali melakukan panggilan SLI dari Taiwan. Selalu saja ada antusiasme yang terlambat menghadapi jalan yang menurut dia sungguh terjal untuk bisa dia lalui dengan tegar.

Dan, seperti hari-hari sebelumnya saya cuma bisa mendengarkan dengan sabar atau juga membalas setiap pesannya dengan kalimat yang membesarkan hatinya. Bahwa dia sungguh beruntung pernah menikmati hidup di luar negeri. Bahwa dia sungguh beruntung memiliki tiga anak yang selalu menunggu dengan doa yang pasti terkirim kepada ibunya tercinta. Bahwa seterjal apapun jalan yang dilewati, itu adalah cara paling ajaib yang disediakan Tuhan untuk membuatnya mandiri dan tidak menengadahkan tangan kepada orang lain. Bahwa kedudukannya lebih terhormat dari para politisi yang menghamburkan uang negara untuk memasang baliho pencalegannya. Bahwa uang yang dia hasilkan sungguh halal, jauh melebihi tiap rupiah yang yang telah ditelan oleh Bapak-bapak yang mengaku berjuang untuk rakyat. Bahwa apa yang dia kerjakan sungguh mulia, lebih dari sekedar tanggung jawab kepada 3 orang anak yang menggantungkan hidup kepadanya. Bahwa dia adalah duta bangsa yang ikut serta memutar roda perekonomian bangsa ini dan dunia secara keseluruhan. So, Mengapa harus menangis, mengapa harus menyesal, mengapa harus berandai-andai ?

Terlepas dari salah benar yang telah dia lakukan, secara general kejadian semacam ini jamak di setiap sudut negeri kita, Indonesia. Ada berapa juta saudara kita yang mengais ringgit, dollar, yen, atau juga euro yang senasib dengan saudara kita tersebut. Ada berapa milyar kiriman hasil kerja mereka ke para kerabat di tanah air. Ribuan milyar bisa jadi, jka diakumulasikan. Jadi, peran mereka sungguh vital dalam memompa denyut nadi ekonomi di daerah-daerah asal mereka.

Lalu, mengapa ada yang bilang Indonesia sedang sakit ? Mengapa tidak yakin dengan masa depan Indonesia gilang gemilang karena memiliki akar yang demikian kuat di setiap sudutnya. Memiliki orang-orang yang sanggup bertahan hidup dalam kondisi super sulit walaupun secara rasional dalam kondisi yang sama bangsa lain tidak akan mampu bertahan. Memiliki segala sumber daya yang diinginkan oleh bangsa lain. Memiliki ini dan itu yang bangsa lain harus membayar mahal untuk memilikinya.

Kita hanya tidak yakin, tidak pede saja dengan kondisi yang kita hadapi. Kita tidak terbiasa hidup dengan cara membusungkan dada. Tidak terbiasa pamer otot, pamer kebisaan, pamer kepemilikan. Siapa yang ngajari kita menjadi seperti itu ?

Sadar atau tidak iklan politik PKS telah menjelaskannya, orang yang dianggap sebagai bapak dan guru bangsa itulah yang membuat kita memiliki daya tahan hidup sekian kali lipat dari bangsa lain. Beliaulah yang telah melakukan evolusi terstruktur terhadap sikap dan pola perilaku kita sehingga mau “nerimo ing pandum, mangan ora mangan sing penting kumpul”. Sisi unik dari upaya pemiskinan yang ternyata justru membuat kita kaya, membuat kita mampu bertahan hidup seandainya kita benar-benar miskin.

Jika kita pernah merasa miskin atau juga sakit, apakah kemudian kita akan bermalas-malasan di tempat tidur ? tidak kan, banyak yang meyakini bahwa jangan merasa sakit meskipun sakit. Merasa sakit justru akan memperparah kondisi. Anggap saja kita sehat terus, bugar terus, ready to use terus. Tanamkan dalam pikiran kita bahwa sesakit apapun kita saat ini kita masih mampu menghela napas -kita tahu kan bahwa syarat minimal untuk tetap bertahan hidup adalah menghela napas-. Jadi selama kita masih bisa bernapas berarti kita sehat.

Tuduhan terhadap diri sendiri bahwa bangsa ini sedang sakit itulah yang sebenarnya melemahkan bangsa ini dari dalam. Di saat bangsa lain merasa segan dengan kita, eh kita malah nglokro, lemas, tidak menunjukkan semangat juang, merasa rendah. Ya terang saja bisa ditebak apa yang terjadi kemudian.

Jadi, mulai dari sekarang, mari berkeyakinan bahwa kita adalah bangsa yang sehat, kita adalah bangsa yang siap menghadapi tantangan apapun, kita adalah bangsa yang tidak mudah patah, tidak mudah menyerah. Kita adalah bangsa yang liat, bangsa yang ulet. Kita adalah bangsa yang selalu bisa melihat sisi positif dalam setiap situasi dan kondisi yang kita hadapi, seburuk apapun pandangan bangsa lain terhadap masalah tersebut.

Memang, keyakinan saja tidaklah cukup. Setelah yakin giliran berikutnya adalah mulai bergerak untuk berkarya. Bukan perkara mudah memang menggerakan setiap elemen bangsa ini secara sinergis. Banyak kendala yang harus kita terjang, mulai dari semangat kedaerahan, perbedaan keyakinan beragama, sampai perbedaan ideologi dan lain sebagainya. Namun, dengan proses penyadaran yang berangsur-angsur serta konsisten dan dimulai dari lingkup sosial terkecil, bukan mustahil Amerika, Eropa bahkan seluruh dunia akan terbelalak menyaksikan kemajuan yang kita raih.

Utopis memang, namun jika bermimpi saja tidak bisa untuk apa bertahan hidup. Jika bercita-cita saja tidak bisa lebih baik mati saja. Utopia kita bukan omong kosong melainkan utopia yang dibarengi dengan bekerja keras, bekerja cerdas dan bekerja benar.

Ketika guru menjadi guru, insinyur menjadi insinyur, presiden menjadi presiden, DPR menjadi DPR, pengemis menjadi pengemis preman menjadi preman dan semuanya bekerja dengan benar, tidak ada yang tumpang tindih -semisal DPR yang pengemis atau presiden yang preman- maka kemelesatan bangsa ini menuju jajaran bangsa yang disegani tinggal hitungan detik saja.

Masih tidak yakin juga ?
Mati aja loe…

Semua Ada di Sini

Tak perlulah aku
Keliling dunia
Biarkan ku di sini

Tak perlulah aku
Keliling dunia
Karena ku tak mau jauh darimu
Karena segalanya bagiku indah
(Gita Gutawa)

Syair indah yang dibawakan dengan begitu apik oleh putri seorang maestro musik Indonesia Erwin Gutawa, Gita Gutawa. Ketika pertama kali mendengarkan syair lagu yang dipakai sebagai salah satu OST film Laskar Pelangi tersebut rasanya tidak ada yang istimewa. Namun begitu terbaca jelas spelling-nya maka kita akan dapati sebuah nuansa nasionalis dalam syair lagu tersebut.

Tak Perlu Keliling Dunia
Banyak orang berpendapat bahwa salah satu keberhasilan seseorang dalam hidupnya dinyatakan dengan banyaknya lokasi di dunia ini yang pernah dia kunjungi. Entah itu sebagai bagian dari pekerjaan ataupun sekedar jalan-jalan menghabiskan uang receh. Puluhan bahkan ratusan juta sengaja mereka keluarkan untuk bisa memuaskan hasrat menelusuri dan menikmati keindahan juga keunikan sebuah daerah tertentu yang mereka yakini tidak dapat ditemukan di daerah asal mereka.

Tidak ada yang salah dengan itu semua. Tapi, benarkah Indonesia kalah indah dibanding dengan manca ? Benarkah Pulau Sentosa lebih indah dari pulau Sempu di Malang selatan misalnya ? Serta beberapa pertanyaan lain yang semestinya bisa kita jawab dengan lebih bijak.

Kurang apa Bali, Lombok, Toba serta yang terakhir yang sedang gencar dipromosikan di media adalah Tanah Toraja ? Deretan lokasi wisata tersebut menjadi tujuan utama para wisatawan manca bila mereka berkunjung ke Indosia. Belum lagi beberapa daerah wisata yang masih perawan belum tergarap dengan baik yang diyakini sekian kali lebih eksotis dibandingkan dengan yang sudah lebih dulu dikenal masyarakat internasional.

Sedikit menyinggung soal nasionalisme, jika kita mau lebih peduli dengan menjadi wisatawan di daerah kita sendiri maka perputaran rupiah akan berkutat seputar Indonesia saja. Dan dalam jangka panjang ini baik untuk kemandirian bangsa. Ada proses supply–demmand yang terus berputar tanpa henti dan semakin lama akan semakin membesar seiring dengan perkembangan waktu. Ini tentu saja lebih baik social effect-nya dibandingkan dengan keinginan berwisata belanja di negeri jiran yang menyatakan dirinya sebagai “truly asia” serta di singapura misalnya.

Hanya saja, masih saja gengsi dan rasa ingin dihargai sebagai orang yang mampu terbang keliling dunia menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan dalam segolongan kaum borju di Indonesia. Bila mereka sedikit saja dapat rasional dalam membelanjakan uangnya maka kepentingan nasional akan dapat lebih terperhatikan. Dan secara tidak langsung maka kepentingan dia sebagai warga negara akan ikut terkatrol dengan sendirinya. Sayang seribu sayang keinginan untuk bisa terbang dan membelanjakan uangnya ke luar negeri lebih menjadi pilihan daripada tinggal di dalam negeri dan membelanjakan uangnya di sini.

Segalanya Indah
Ya, segalanya indah. Baik – buruk, indah dan tidak indah semuanya terletak pada pikiran kita. Bukan terletak pada jauh dekatnya ataupun juga mahal dan tidaknya. Sebuah kondisi tertentu bisa jadi indah bagi sebagian orang namun menjadi tidak indah bagi sebagian yang lain. Ini semakin memberikan pelajaran kepada kita bahwa pergi jauh itu tidak perlu jika semuanya ada di sini. Artinya pikiran kita harus senantiasa dikondisikan untuk bisa menerima keadaan apapun itu, sejelek apapun kata orang. Sebab, kita cinta Indonesia, kita jaga Indonesia, kita pertahankan Indonesia dengan cara kita.

Ini menjadi mungkin bila semua elemen peduli dengan produk Indonesia. Mulai dari membuat, mendistribusikan hingga mengonsumsinya. Jangan over minded dengan barang impor. Selain berefek negatif dalam mendukung perkembangan produk dalam negeri kita juga mendorong terjadinya capital flight. Lebih baik terus mengonsumsi produk Indonesia dengan terus melakukan otokritik terhadap kualitas produk tersebut.

Segalanya perlu proses, Jepang tidak serta merta menjadi produsen nomer wahid dalam segala bidang. Jepang perlu waktu puluhan tahun untuk bisa menjadi seperti sekarang. Satu yang patut dicontoh dari Jepang adalah kemauan warganya untuk mengonsumsi produk dalam negeri mereka sekaligus melakukan otokritik terhadap kualitas produk tersebut. Para produsen pun memiliki kecenderungan untuk jujur dalam bisnisnya sehingga tercipta hubungan yang sinergis antara produsen-konsumen dalam negeri mereka.

Kalau Jepang bisa, mengapa kita tidak ? Ada baiknya kita mulai dari sekarang lebih peduli dengan kondisi bangsa diawali dengan kemauan mengonsumsi produksi dalam negeri sambil terus melakukan kritik terhadap kualitas produk tersebut. Produsen pun harus mau jujur dalam melakukan bisnisnya sehingga dapat secara simultan meningkatkan kualitas produknya. Jika ini sudah terjalin terus menerus dalam jangka panjang kemandirian bangsa akan dapat tercapai.

Segalanya akan menjadi indah tatkala bangsa ini telah dapat mandiri, memenuhi kebutuhan warganya tanpa perlu banyak melakukan import. Sementara kita sebagai warga juga memiliki kesadaran yang cukup tinggi untuk selalu mengonsumsi produk dalam negeri demi terciptanya perputaran roda ekonomi yang kontinyu. Jadi, tak perlulah keliling dunia, karena ku tak pernah mau jauh darimu…Indonesia !

Pers Sebagai Pilar Penyangga Demokrasi yang ke-4 ?

Pada sebuah subuh yang dingin seorang teman wartawan menelepon saya yang intinya meminta saya membaca headline koran tempat dia bekerja selama 3 tahun terakhir. Ketika saya tanya kenapa harus membacanya, dia menjelaskan bahwa liputannya tentang sebuah kasus kriminalitas di salah sebuah kawasan di Jawa Timur menjadi headline , ini kabar yang menggembirakan, ini lonjakan karir, begitu katanya bersemangat. Setelah telepon ditutup saya kembali merebahkan diri saya di atas tempat tidur sambil berpikir berita apa ya yang dimaksud teman saya tersebut.

Kurang lebih 2 jam kemudian tukang koran langganan kami melempar gulungan koran yang sudah diikat dengan karet gelang ke teras rumah kami, persis seperti hari-hari sebelumnya. Berhubung penasaran dengan berita yang dimaksud teman saya selepas subuh tadi saya pun bergegas mengambil gulungan koran tersebut. Betapa kagetnya saya saat membaca halaman depan koran tersebut, di situ tertulis dengan huruf kapital kalimat yang membuat miris “DITEMUKAN MAYAT TANPA KEPALA DAN TANPA KAKI”. Saya lalu menelepon balik teman saya yang wartawan tersebut, saya tanyakan dimana letak menariknya. Dengan ringan dia menjawab, menariknya adalah bahwa berita itu dia yang meliput, bahwa itu merupakan lompatan besar dalam karirnya di bidang jurnalistik. Saya pun terbengong-bengong saat menjawab salam dari teman wartawan tersebut.

“Berita buruk adalah kabar gembira bagi wartawan”

Sekelumit kisah pendek di atas memberikan gambaran kepada kita, betapa media (pers) merupakan sebuah fenomena yang multikomplek dalam peran sertanya di masyarakat. Ada yang bilang siapa yang menguasai media akan menguasai dunia. Ada pula yang bilang pers sebagai alat pengawas sebuah kekuasaan (regime). Ada pula yang menyebut pers adalah bull shit.

Bagi insan pers sendiri, berakhirnya era orde baru yang ditandai dengan lengsernya Soeharto merupakan langkah awal kebebasan pers. Selama masa orde baru pers seperti terbelenggu sehingga ide –ide kreatif hingga kritis begitu sulit untuk disalurkan. Pemberedelan-pemberedelan media menjadikan insan pers seperti dikebiri hak-haknya.

Lalu bergulirlah reformasi. Insan pers pun menyambutnya dengan suka cita, mereka meletakkan pondasi bagi semangat kebebasan pers seperti yang selama ini ditunjukkan oleh beberapa negara yang diyakini lebih maju untuk urusan pers. Terjadilah euforia dimana-mana, sejumlah media baru pun lahir. Jika pada era orde baru urusan ijin penerbitan begitu rumit maka pada era reformasi terbitnya sebuah media seperti jamur di musim hujan. Semua begitu bersemangat melahirkan media baru dengan berbagai macam segmen yang mereka yakini akan mampu survive dalam jangka panjang.

Peran Pers
Siapapun setuju, pers penting bagi sebuah komunitas bernegara. Pers diyakini mampu menjaga demokrasi tetap pada koridor yang semestinya. Pers diyakini memiliki kekuatan yang sedemikian dahsyat sehingga mampu meledakkan apa saja yang di dekatnya.

Jika mau kembali menengok ke belakang, kita bisa melihat secara obyektif bagaimanakah peran pers secara ideal. Semangat awalnya adalah menyuarakan kebenaran, mengungkap fakta. Berperilaku proporsional, berimbang dan dalam semangat amanah (terpercaya). Ide awal dunia pers tidak jauh dari itu.

Pada perkembangannya, insan pers sadar bahwa apapun yang mereka lakukan telah mempengaruhi opini publik. Di sinilah permasalahan peran pers menemui persimpangan jalan. Apa guna kebenaran kalau perut lapar ? Apa guna pemberitaan berimbang kalau oplah tidak terkatrol ? Apa guna terpercaya kalau share iklan tidak bisa diraup ? Serta masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang bermuara pada persoalan “tetap menyalanya kompor di dapur”.

Demokrasi dan Pers
Sistem demokrasi ditopang oleh 3 pilar, eksekutif, legislatif dan yudikatif. Peran pers dalam demokrasi ? Ada yang meyakini pers mampu menjadi pilar yang ke-4 bagi tegaknya demokrasi sehingga demokrasi di sebuah negara semakin kokoh.

Pertanyaannya adalah “Logiskah pers diangkat dalam derajat yang sungguh mulia tersebut?” Logis bila pers mampu menjaga idealismenya sendiri. Artinya, pers yang berpihak kepada kebenaran, proporsional (berimbang) dan terpercaya. Dengan modal dasar tiga hal itu saja pers secara otomatis telah menempatkan dirinya sendiri sebagai pilar ke-4 penyangga demokrasi.

In fact, benarkah pers dapat mempertahankan idealisme tersebut ? Bukan salah persnya bila kemudian menyimpang dari idealisme. Kita mesti menengok siapa yang berada di dapur pers tersebut sehingga idealismenya menjadi semakin tipis berganti menjadi pers yang populis.

Adalah tidak logis menempatkan pers sebagai pilar penyangga ke-4 demokrasi bila pers telah kehilangan roh idealismenya sendiri. Muatan-muatan negatif telah menarik insan pers ke lembah beracun. Sebut saja dari urusan jual beli berita, wartawan “bodrex”, kepentingan bisnis mulai dari pemodal hingga pemasang iklan, serta kasus-kasus lain yang memaksa insan pers kehilangan kepercayaan dari masyarakat.

Fleksibilitas Pers
Pada prakteknya pers mampu masuk ke semua lini kehidupan sosial. Pada segala situasi dan kondisi pers dapat masuk di dalamnya serta dapat dengan mudah mewarnainya. Mulai dari yang ringan semacam hiburan dan olah raga hingga yang berat semacam pilpres dan pembuatan Undang-undang sebuah negara. Melihat sedemikian beragamnya ranah sosial yang bisa dimasuki oleh pers rasanya fleksibilitas pers tidak pernah dimiliki oleh bidang lain.

Namun, satu hal yang patut direnungkan bersama adalah pelaku pers itu sendiri. Saat ini kita tahu pemodal begitu bersemangat involve dalam dunia pers. Mereka yakin bahwa pers bukan hanya mampu menangguk rupiah namun juga mampu melambungkan popularitas yang juga berarti rupiah. Ini memberikan sinyal kepada kita bahwa pers hampir terjajah oleh kepentingan ekonomi, oleh kepentingan kapital. Ya, hampir di semua lini pers telah mengabdikan dirinya kepada rupiah.

Dari sekian banyak bidang garap dimana pers in-bulit, rasanya hanya beberapa saja yang mampu mempertahankan idealismenya secara tegas. Selebihnya tidak lebih dari lembaga penghujat, penghakim, pembentuk opini yang luar biasa ampuh, serta lembaga yang dimanfaatkan sebagai pengeruk rupiah.

Kita ingat beberapa tahun lalu sekelompok selebriti yang merasa diperlakukan secara tidak berimbang oleh insan pers membikin usaha penerbitan bersama yang tentu saja bertujuan tidak hanya untuk kepentingan perimbangan berita mereka saja. Namun insting bisnis pun telah berbicara di sana. Ketika menjadi newsmaker tidak lagi menarik bagi mereka maka mereka pun beralih menjadi pemilik media yang dapat mendatangkan rupiah sekian puluh kali dari seorang newsmaker. Ini memberikan gambaran kepada kita bahwa siapapun bisa memiliki bisnis pers selagi punya modal.
Kembali kepada persoalan pers sebagai pilar penyangga demokrasi yang ke-4, nampaknya masih jauh dari yang kita harapkan bersama. Harapan tertumpu pada insan pers untuk senantiasa menjaga kehormatannya sendiri sesuai dengan bidang garap masing-masing. Si wartawan tidak lagi berharap (memaksa) amplop dari narasumber serta tulisan yang konstruktif dan edukatif menjadikan posisi wartawan sebagai ujung tombak pers sedemikian besar. Sementara pemilik modal tidak terlalu “kemaruk” menangguk keuntungan dari bisnis medianya sehingga 3 modal dasar yang telah dibahas di depan dapat senantiasa terjaga dengan baik.

Terakhir,
Tidak ada yang spesial dalam dunia pers selama idealisme insan pers tergadaikan.

(terinspirasi oleh wawancara jurnas dengan deputi SET, agus sudibyo)

Perang Melawan Preman, Anget-anget Tahi Ayam

3 bulan sejak tanggal 2 November 2008, Polri mencanangkan program perang melawan preman. Kapolri baru, Pak Bambang H Danuri ingin memberikan gebrakan yang nampaknya telah lama ditunggu-tunggu oleh masyarakat luas. Ya, perang melawan preman bisa jadi sebuah langkah yang cukup populer, namun bagaimanakah sebenarnya yang terjadi di lapangan ?

Media cetak dan elektronik beberapa hari belakangan seringkali menyajikan headline berupa upaya kepoilisian dalam memerangi premanisme, di seluruh pelosok negeri. Dan, setelah berlangsung sekitar 3 minggu dengan begitu bangga kepolisian lalu mengungkapkan data statistik yang memuat berapa preman yang telah tertangkap berikut barang buktinya, juga pengamatan di lapangan yang menunjukkan menurunnya prosentase kejahatan yang selama ini bisa jadi ulah preman. Indikasinya adalah menurunnya laporan kejahatan yang diterima kepolisian.

Pikiran saya tergelitik, where have you been pak polisi ? Selama ini sampeyan ngapain saja ? Apakah harus menunggu kapolri baru untuk membuat kondisi keamanan masyarakat sedikit tenang ? Apakah harus ada program “perang melawan preman” terlebih dahulu untuk bisa rame-rame memerangi tindak kejahatan yang sudah sedemikian lama meresahkan warga masyarakat ?

Jika pertanyaan saya dianggap berlebihan, mari kita bahas fakta di lapangan. Satu demi satu kita bicarakan agar bapak-bapak polisi dan kita sebagai warga sadar bahwa keamanan adalah tanggung jawab bersama.

Pertama, Image negatif polisi Indonesia. Rakyat sudah terlanjur capek dengan ribuan slogan yang terpampang hampir setiap hari di media. Mulai dari slogan pemerintah, slogan caleg, cagub, dan sekarang ditambah dengan slogan dari kepolisian yang berperang melawan preman.

Rakyat paling bawah bisa saja pernah membaca slogan tersebut, namun jangan salahkan jika kemudian mereka mencibir tanda tidak yakin dengan slogan yang disuarakan pak polisi. Sebut saja Kang Parman yang kehilangan sepeda motor beberapa minggu lalu harus keluar uang sekian juta untuk biaya laporan kehilangan serta pengurusan ini itu ketika sepeda motornya berhasil ditemukan. Ketemunya pun bukan andil polisi, tetapi secara tidak sengaja ditemukan oleh anaknya yang biasa nongkrong di tempat parkir sebuah pasar di pinggiran Malang.

Lain lagi dengan Yu Darmi yang baru saja kehilangan anaknya yang berusia 6 tahun saat bermain agak jauh dari rumahnya. Karena khawatir dengan keselamatan anaknya Yu Darmi lapor polisi. Apa jawaban pak polisi yang saat dilapori sedang mengutak-atik nomor buntut togel ? “Tunggu saja Yu, paling tidur di rumah temannya”, ucapnya tenang sambil tetap saja melanjutkan pekerjaan yang seharusnya dia musuhi tersebut.

Nah, dari dua cerita tersebut apakah kemudian polisi bisa berharap dukungan dari masyarakat ? Masyarakat terlanjur memberikan penilaian negatif terhadap polisi, meski di sana sini tetap ada juga polisi yang memiliki nilai positif di mata masyarakat. Terlalu banyak polah polisi yang di mata masyarakat bernilai negatif, sehingga saat polisi menyampaikan program kerjanya lalu berharap dukungan kepada masyarakat hal tersebut akan sulit didapatkan. Padahal dukungan masyarakat secara riil sangat dibutuhkan untuk kesuksesan program tersebut.

Kedua, bahwa keberadaan preman adalah masalah sosial yang saling tumpang tindih dengan beribu persoalan lain yang jika diberantas begitu saja akan berakibat pada terseretnya persoalan lain yang berada dalam jangkauan preman tersebut. Preman adalah masalah multikomplek. Keberadaannya bisa berarti ancaman terhadap keamanan masyarakat luas, namun jasa preman begitu dibutuhkan oleh lapisan masyarakat berkantong tebal yang membutuhkan perlindungan keamanan secara informal. Jadi, tidak dengan mudah preman bisa dilenyapakn dari hadapan kita.

Boleh diambil sampel dengan n berapa saja, kita bisa bertanya apakah menjadi preman merupakan cita-cita mereka sejak kecil. Yakin seribu yakin kata “preman” tidak akan mereka temukan dalam daftar cita-cita yang umumnya diisi dengan dokter, presiden dan juga insinyur. Bahkan setelah mereka menjadi preman pun mereka tidak pernah menyebut diri mereka dengan preman. Menjadi preman bukanlah pilihan hidup, menjadi preman adalah desakan yang begitu memaksa mereka. Dalam hati kecil mereka pasti masih saja dengan mudah kita temukan sisi sentimentil yang terkadang justru lebih “melow” jika dibandingkan dengan non preman.

Sehingga, persoalan preman sebenarnya bukan tugas polisi semata. Pemerintah sebagai pengambil kebijakan bertanggungjawab penuh dalam menuntaskan preman beserta side effectnya. Mulai dari kasus ketenagakerjaan, jaminan sosial, perumahan, keamanan dan kenyamanan sebagai warga negara dan tentu saja persoalan pendidikan. Di dalam semua bidang tersebut preman terlibat, dilibatkan dan juga dilahirkan.

Ketiga, Masalah konsistensi semangat. Selama ini, di Indonesia, yang namanya program kerja, sehebat apapun program tersebut, begitu habis masa program tersebut maka situasi dan kondisi akan kembali ke asal. Layak ditunggu apakah program perang melawan preman ini akan berlangsung terus jika telah lewat 3 bulan sejak tanggal 2 November lalu. Jika iya, maka dukungan untuk program ini tentunya akan semakin besar. Dan, jika sebaliknya, maka program ini hanya akan menambah daftar panjang program-program lain di Indonesia yang hangat-hangat tahi ayam.

Betapa bahayanya jika masalah keamanan masyarakat dikelola dengan hangat-hangat tahi ayam, artinya begitu program habis maka preman bisa bebas berkeliaran lagi, bahkan lebih berani dalam menjalankan aksinya karena merasa polisi hanya melakukan gebrakan saja. Karena merasa polisi pasti akan kalah konsisten dengan mereka. Ini justru membahayakan masyarakat dengan cakupan wilayah yang lebih luas.

Keempat, ah sudah deh jangan banyak-banyak, nanti malah dikira tidak mendukung program kepolisian (pemerintah) yang sedang melaksanakan upaya pemberantasan premanisme. Selamat bertugas pak polisi, semoga manfaatnya bisa terasa tidak hanya 3 bulan saja.

MOGE

Jumat siang selepas solat jumat saya bergegas menuju menuju kampus UB karena ada janji yang harus dipenuhi sekitar jam 13.00. Dengan mengendarai sepeda motor RC 100 rakitan 1993 saya melaju dengan kecepatan biasa saja, toh telat sedikit tidak menjadi soal, begitu kata lawan bicara saya di telepon sekitar jam 10 an tadi.
Seperti biasa saya mengambil jalur terdekat ke kampus UB dari rumah yaitu jalan raya Batu – Malang. Siang itu cukup ramai kendaraan yang melintas di sekitar saya. Sampai perbatasan Batu – Malang tepatnya di depan lapangan Dau (bagi yang pernah tinggal atau kuliah di Malang tentu tahu sekitar situ) saya mendengar bunyi “Nguing-nguing”, ah saya pikir itu suara foreijder polisi yang sedang mengawal pejabat atau ambulance, jadi saya tenang saja dengan sedikit meminggirkan kendaraan saya seperti pengguna jalan yang lain. Saya juga tidak melihat kaca spion sama sekali karena bunyi semacam itu begitu akrab bagi pengguna jalan.
Selang beberapa saat saya kaget setengah mati, tiba-tiba “wuz….wuz…wuz…!” tiga kendaraan sepeda motor dengan cc di atas 500 (moge) menyalip saya dengan kecepatan sangat tinggi dan hanya selisih sekian centimeter saja dari setir kanan sepeda motor saya. Saya kaget bukan main dengan tiga pengendara tadi. Belum hilang kaget saya, dari belakang ada lagi pengendara moge yang meminta penguna jalan di depannya minggir agar mereka bisa leluasa melintas. Saya pun memlilih berhenti, menenangkan kekagetan saya sambil mengelus dada “Tuhan, Kau benar-benar maha adil, makhluk macam begitupun masih Kau beri hidup dengan sangat layak” batinku.
Selang beberapa saat saya melanjutkan perjalanan, namun hati saya tidak tenang, ada yang berkecamuk dalam dada saya. Bukan perasaan tidak terima diperlakukan seperti tadi, namun mari kita coba bahas fakta itu dari beberapa sisi yang menurut saya sungguh menarik untuk direnungkan.
Hak Pengguna Jalan
Bicara soal hak tidak bisa dilepaskan dari pemenuhan kewajiban yang telah dilakukan. Sehingga hak sebagai pengguna jalan dapat kita manfaatkan dengan leluasa dan tanpa rasa was-was bila kewajiban sebagai pengguna jalan telah kita penuhi. Misalnya saja kewajiban membayar pajak kendaraan bermotor yang kita miliki. Dengan membayar pajak maka kita akan tenang berkendaraan dimanapun dan kapanpun. Besar kecilnya pajak kendaraan tidak jadi soal mengingat ukurannya telah tertentu. Soal hak? Tentunya tidak berbeda antara satu pengendara dengan pengendara yang lain. Jadi, tidak berarti bahwa kendaraan denga pajak mahal mendapat prioritas terlebih dahulu, itu sama sekali tidak benar.
Terkait dengan moge, upaya menepikan pengguna jalan lainnya agar mereka dapat lebih leluasa melintas merupakan perampasan hak (atau pengurangan hak) pengendara lainnya. Tanpa melihat UULLAJ kita bisa maklum ketika bunyi foreijder tersebut diidentikkan dengan patwal ataupun ambulance yang memang untuk urusan urgen. Kalau pengendara moge melakukannya? C’mon man ! Jalan itu bukan punya mbahmu, kami membayar pajak juga. Jangan seenaknya membunyikan foreijder lalu meminggirkan pemakai jalan yang lain hanya untuk kepentingan sejumlah kecil anggotamu saja.
Bisa jadi tinjauan itu terlalu emosional, namun sedikit kebenaran yang termaktub di dalamnya akan membuat kita mengangguk tanda setuju kan?

BBM
Semua orang juga tahu bahwa sekarang ini dunia dilanda krisis energi. Minyak mahal, langka dimana-mana sehingga memunculkan ide bahan bakar pengganti dll. Melihat kenyataan itu masih pantaskah kemudian kita turut menambah parahnya krisis energi tersebut dengan memilikki kendaraan bermotor ber-cc besar yang tentunya boros bahan bakar.
Apapun alasan kita, dan biasanya adalah gaya hidup dan penampilan, maka meemiliki kendaraan ber-cc besar (termasuk moge) tidak mendukung semangat hemat energi. Ada informasi yang bisa dipercaya bahwa kendaraan tersebut 1:4 artinya, satu liter bahan bakar hanya untuk perjalanan sejauh 4 km. Bandingkan dengan kendaraan lain pada umumnya yang bisa lebih dari 20 km untuk setiap liter bahan bakarnya.
Sehingga secara langsung moge termasuk salah satu penyebab kelangkaan bahan bakar, yang berakibat pada tingginya harga bahan bakar. Dan, secara umum mereka yang memilikinya tertuduh sebagai penyebab inflasi.
Meski terkesan tidak mendasar namun kita bisa mengangguk juga kan…

Etika Berlalu lintas
Bicara soal etika bangsa kita dengan adat ketimurannya boleh berbangga. Termasuk etika berkendaraan. Namun melihat tingkah para moge bikers layakkah kemudian etika ketimuran ditonjolkan.
Ngebut di jalan umum, zig-zag seenak udelnya sendiri, mengacungkan-acungkan kepalan tangan meminta pengendara lain untuk menepi serta sikap urakan dan ugal-ugalan yang lain merupakan cermin bahwa itu bukan budaya ketimuran kita. Jauh, ya jauh sekali dari semangat kesantunan yang sudah menjadi trade mark masyarakat kita di dunia internasional.
Apakah itu bagian dari globalisasi ?
Jika iya, mari kita pilah dan pilih dengan kepala dingin makna globalisasi sekaligus kita filter dengan segala sesuatu yang sudah in built di dalam kepala dan dada kita. Sekali waktu kita harus mengganti kacamata kita dengan kaca yang lebih buram, lebih kusam dan lebih jelek agar kita bisa memandang persoalan-persoalan yang katanya bagian dari modernisasi dan gaya hidup tersebut dengan lebih jernih, lebih manusiawi, lebih peka sosial, tahu amanat penderitaan rakyat.
Pasti anggukan kita akan semakin dalam untuk perkara ini…



Siapa saja pemiliknya
Tanpa bermaksud menunjukkan rasa iri hati atau memojokkan posisi para kaum borjuis, mau tidak mau diantara segelintir mereka ada yang memiliki moge tersebut. Bila uang yang mereka gunakan untuk membelanjakan moge adalah uang riil, kita akan sedikit bisa memakluminya. Namun diantara pemilik moge tersebut ada pula yang memaksakan dirinya untuk sekedar bisa masuk ke dalam golongan borjuis tersebut dengan cara memakai uang negara.
Sebut saja beberapa kepala daerah baik kabupaten atau kota, dan juga propinsi yang dengan bangga memamerkan koleksi moge mereka dalam beberapa tayangan media. Dan juga, beberapa pejabat negara serta mantan pejabat negara yang menjadi pemilik moge tersebut. Pertanyaannya adalah, di mana hati nurani mereka ? Secara riil gaji kepala daerah setingkat bupati atau walikota tidak lebih dari 7 juta per bulan. Bila dikurangi dengan kebutuhan hidup bulanan serta untuk keperluan partai pengusungnya tentu jumlah tersebut sangatlah kurang. Lalu, (bukan su’udzon) dari mana mereka dapat membeli moge beserta asesorisnya dengan harga ratusan juta bahkan milyaran ?
Kita akan mengangguk-angguk kan untuk soal ini…

Finally,
Rasanya tidak ada habisnya kalau mau menelanjangi aksi para moge bikers baik di jalanan maupun di kehidupan sosial. Sekali lagi ini bukanlah tulisan tentang iri hati karena tidak mampu membeli moge. Sebab bisa jadi saya akan melakukan hal yang sama bila memiliki moge.
Ini hanyalah secuil mirror yang bisa kita gunakan sebelujm kita mengambil keputusan membeli moge. Sebab memilikinya bukanlah sebuah kesalahan, yang salah adalah tidak menempatkannya dalam takaran yang tepat.
Bagi pemilik moge semoga bisa semakin bijak dalam berkendara di jalan umum. Dan bagi yang tidak punya moge….kasian deh !

Menulis itu gampang

Itulah pesan yang saya terima dari pak Arswendo Atmowiloto saat beliau berkunjung ke universitas brawijaya beberapa waktu lalu.

Bahwa menulis itu gampang masih merupakan tanda tanya bagi sebagian orang. Padahal jika mau jujur, tidak ada sulitnya menulis, asal tidak ‘buta huruf’.

Jadi muilailah menulis,
Bang Putu Wijaya bilang menulis tidak harus saat mood datang, bahkan bang Putu bilang saat mood datang biasanya beliau tidak menulis, sebab terlalu menggebu-gebu dapat berakibat tidak fokusnya sebuah tulisan.

Segar, sehat, sakit, ngantuk dan dalam kondisi apapun tidak soal dalam melakukan kegiatan tulis menulis, sebab menulis adalah sebuah kebutuhan universal. Ketika seseorang tidak lagi dapat berbicara dengan bebas, lantang dan daripada harus berbisik, maka menulislah….! Demi desakan kalimat yang begitu menggelora dalam pikiranmu, dalam hatimu, dalam jiwamu.

Ketika menulis menjadi kebutuhan, sehari saja tidak menulis seperti seminggu tidak makan nasi putih. Bisa mati lemas karenanya.

Tema ?
Apapun bisa dijadikan tema saat ini. Tidak harus selalu up to date, yang penting enjoy saat menulis. Selalu bisa dinikmati oleh penulis. Peduli amat dengan pembaca atau calon pembaca….


Selamat menulis !

Food court

Namanya cukup keren, food court. Bagi sebagian orang food court merupakan tempat yang benar-benar bisa menaikkan standart gaya hidup. Padahal food court tidak beda dengan warung, kedai, depot atau istilah lain yang mengarah pada tempat pedagang makanan. Lalu, apa yang menarik dari food court ? Makanannya sama saja, tempat duduknya juga sama saja, harganya bahkan cenderung lebih mahal. Yang membuatnya terlihat beda adalah istilah bahasanya dan suasananya. Sebab ada satu keyakinan dari beberapa golongan masyarakat bahwa dengan makan di food court berarti gengsi kita akan terangkat. Bahwa dengan makan di food court ada jaminan layak konsumsi dari makanan yang disajikan. Bahwa dengan makan di matos akan menghindarkan kita dari gangguan pengemis yang biasa berseliweran di warung-warung tradisional. Dan bahwa-bahwa lainnya.
Dan seperti sore itu, food court salah satu mal di samping TMP di Malang dipadati pengunjung yang bermaksud makan sore. Hampir semua kursi dipenuhi orang yang sedang makan atau menunggu datangnya makanan yang sudah dipesan. Atau masih milih menu apa yang cocok sore itu.
Suasana benar-benar meriah. Suara sendok yang beradu dengan piring sesekali terdengar di sana-sini menambah riuh suasana. Belum lagi suara tak-tik-tok sepatu hak tinggi yang dipakai oleh gadis-gadis ABG yang lalu lalang. Dan dari penampilan fisik pengunjungnya rasanya food court memang tempat makan orang-orang yang berkantong tebal.
Kultur nongkrong di warung
Kebiasaan nongkrong di warung sifatnya genetis atau turun temurun. Meskipun tidak ada penelitian yang khusus mengenai hal itu, namun seorang anak mempunyai kecenderungan yang sangat tinggi untuk menirukan perilaku orang tuanya. Jadi kalau bapak atau ibunya, atau bahkan dua-duanya memiliki kebiasaan nongkrong di warung, bukan perkara sulit bagi anak untuk menirukannnya.
Beragam alasan yang sering dinyatakan orang untuk menutupi kebiasaan mereka nongkrong di warung. Pertama, tidak memasak. Ini bisa berarti dia single atau sudah berkeluarga tetapi memang tidak pernah memasak. Kita bisa memakluminya. Tetapi apa harus di food court ? Kenapa tidak di warteg saja misalnya, yang menawarkan harga murah serta menu yang beragam dan kebersihannya juga terjaga. Bahkan kalau mau berpikir lebih dalam dengan makan di warteg maka kita bisa berkontribusi dalam menggerakkan ekonomi kerakyatan. Beda dengan makan di food court yang justru memupuk kekayaan kaum kapitalis. Tapi masak iya sih perkara makan saja sampai disangkut-pautkan dengan kapitalisme segala ? Lihat saja siapa yang punya food court ? Tapi lain soal kalau kita memang pendukung paham kapitalis.
Kedua, Kita makan di food court karena ingin dimasukkan dalam strata sosial yang tinggi. Ekonomi kuat, keluarga sejahtera. Gengsi karena ajakan teman kerja sehingga memaksa kita keluar uang lebih besar untuk sepiring nasi dan segelas minuman. Sebab kalau ajakan mereka kita tolak kita khawatir dinilai nggak gaul, katrok ! Padahal nasinya sama, lauknya sama, airnya pun juga sama. Besok pagi saat dibuang bentuknya pun tidak beda kan ? Apakah dengan kita makan di food court akanmenghasilkan kotoran yang bentuknya lebih indah, lebih banyak, lebih warna-warni ? Tidak kan ?
Ketiga, Gaya hidup masyarakat kita. Dengan porsi kelas menengah yang demikian tebal dalam struktur masyarakat kita akan menghasilkan perilaku sosial yang semu alias serba menengah juga. Maunya bergaya hidup metropolis, makan di tempat-tempat yang terlihat mewah agar dihargai orang. Namun seleranya tetap. Di food court pun harus ngitung uang di dompet dulu. Cukup nggak untuk bayar semangkuk sup tom yam misalnya. Nah, setelah dihitung-hitung nggak cukup akhirnya pilihan jatuh pada nasi pecel plus sayur lodeh dilengkapi dengan minuman air putih. Yang penting bisa bercerita ke tetangga atau teman kantor bahwa tadi siang makan di food court tapi apa yang dimakan tidak diceritakan.
Sisa
Beberapa orang memiliki kebiasaan makan yang sungguh aneh, yaitu menyisakan makanan. Tidak jelas apa tujuannya. Namun dari beberapa pembicaraan dengan pelaku alasan utamanya adalah karena mereka tidak benar-benar lapar sebelum makan. Jadi makan dianggap sebagi sebuah rutinitas mekanis yang dimulai dari makan pagi, makan saing dan makan malam. Lapar ataupun tidak asalkan sudah masuk jam makan ya makan. Akibatnya, beberapa orang memiliki kebiasaan tidak menghabiskan makanannya. Apalagi di food court, dari sekitar 10 meja yang baru saja dipakai makan oleh pengunjung sore itu, ada sekita 7 meja dengan piring di atasnya masih terdapat sisa makanan, baik berupa nasi ataupun juga lauknya, bahkan dua-duanya.
Mungkin mereka malu diperhatikan orang lain kalau harus membersihkan makanan di piringnya. Kuatir dinilai rakus atau memiliki kebiasaan makan yang buruk. Kuatir diturunkan kelas sosialnya karena kebiasaan menghabiskan makanan dianggap menjijikkan. Pemikiran yang aneh tapi banyak dilakukan.
Apakah mereka tidak berpikir bahwa mereka telah membuang uang mereka sendiri. Bagi yang belum bekerja, yang masih menggantungkan hidup dari orang tuanya semestinya mereka menghargai kerja keras orang tuanya dengan cara menghabiskan makanan tersebut, sampai bersih. Dan bagi yang sudah bekerja, ingatlah pada hukum alam “siapa yang menyia-nyiakan rejeki, alam akan mempersulit rejeki berikutnya”.
Ingatlah bagaimana saudara kita di papua misalnya, yang harus mencari makan dengan mengandalkan kemurahan alam (hutan) dan tidak pernah menyia-nyiakannya. Apa yang dimakan besok ya dicari besok bukan ditimbun seperti kebiasaan kita di sini. Sehingga bila besok cuaca buruk, hujan misalnya, ya mereka tidak makan seharian. Nah, bila kita memiliki kebiasaan menyisakan makanan berarti kita telah menyia-nyiakan kebaikan alam, lalu bagaimana kita bisa mengaku lebih beradab dari mereka ?
Kebiasaan makan di warung atau kedai bukanlah kebiasaan baik. Apalagi di food court, sudah mahal lalu ditambah kita punya kebiasaan makanannya disisakan lagi. Salah satu rahasia negatif yang terkandung di dalamnya adalah mendidik pelakunya untuk tidak terima dengan yang sudah kita punyai. Lihat saja pengunjung warung yang cenderung nambah lauk selain yang telah include di porsinya. Belum lagi kemudharatan lain yang diakibatkan oleh perilaku mengunjungi warung dan food court, mulai dari lirikan kepada penjualnya sampai melototi punggung bawah pengunjung food court yang bercelana hipster. Jika memang terpaksa harus beli makanan di warung, sebut menunya lalu bungkus dan makan di rumah. Itu lebih baik.

Eksekusi Bagus Untuk Investasi

Judul di atas disampaikan oleh BKPM (Badan Koordinasi Pasar Modal) dalam newsticker TV one yang ditayangkan pada tanggal 9 November 2008 sekitar pukul 19.00-20.00. Program utama di TV one saat itu adalah diskusi yang mengulas perimbangan pemberitaan media seputar ekseskusi trio bom bali (Amrozi Cs) di bukit Nirbaya sehari sebelumnya. Diskusi tersebut menghadirkan cendekiawan muslim Komarudin Hidayat serta peneliti LIPI Hermawan Sulistyo. Diskusi berlangsung menarik seputar pemberitaan eksekusi tersebut. Namun lebih menarik mencermati tulisan di newsticker yang berjalan pelan di bawah layar kaca. Diantara sekian yang perlu dicermati adalah pernyataan BKPM seperti judul di atas “BKPM : EKSEKUSI BAGUS UNTUK INVESTASI”.

Harus diakui dampak bom Bali 6 tahun lalu berdampak negatis kepada kondisi perekonomian bangsa Indonesia. Namun 6 tahun adalah waktu yang tidak sebentar untuk bangkit baik secara ekonomi maupun sosial secara komprehensif. Sehingga, pernyataan BKPM hanyalah sebuah apologi terhadap lesunya investasi di Indonesia. Artinya iklim investasi Indonesia bisa bangkit kapan saja dan eksekusi Amrozi Cs bukanlah persoalan utama dalam menarik para investor untuk datang ke Indonesia.

Adalah tidak masuk akal bila eksekusi trio bom Bali akan berpengaruh secara signifikan terhadap iklim investasi di Indonesia. Sebab bila dirunut lebih mendalam variabel bom Bali bukan yang dominan. Ada banyak variabel yang membolehkan lesunya iklim investasi di Indonesia. Sebutlah kepastian hukum yang berjalan sesuai dengan selera penguasa, lalu instabilitas keamanan dalam kerangka preventif, selanjutnya volatilitas sikap buruh Indonesia secara psikologis. Bisa jadi ada lagi variabel lain, namun cukuplah membahas 3 variabel utama tersebut.


Kepastian Hukum
Kepastisan hukum adalah variabel utama yang menjadi fokus perhatian investor sebelum menanamkan dananya di sebuah negara. Mengapa para investor banyak yang lari ke Vietnam dan juga beberapa propinsi di Cina ? Jawaban untuk pertanyaan ini yang paling sederhana adalah tidak adanya rasa nyaman yang bisa diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada para investor asing. Rasa nyaman itu penting mengingat para investor tersebut menginginkan dananya aman di Indonesia dan bisa kembali modal bahkan menangguk profit yang cukup untuk mengembangkan bisnis mereka.

Rasa tidak nyaman tersebut dipicu oleh kurangnya jaminan hukum untuk para investor asing. Jelasnya adalah kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap para investor. Hal ini memicu mereka berpikir lebih dari sekali untuk melanjutkan bisnisnya di Indonesia atau saat akan membuka usaha di Indonesia.

Siapapun tahu tidak adanya kepastiasn hukum tersebut disebabkan oleh “selera” individu yang handfull dalam bidang tersebut. Sebut saja bergantinya sebuah pemerintahan akibat kekalahan pilpres atau hal lain, hal ini akan mendorong terbitnya turunan peraturan baru yang boleh jadi menyulitkan pelaku usaha yang sebenarnya telah adaptif terhadap pola penguasa yang lama.

Kondisi ini memaksa investor mengerem roda bisnisnya bahkan secara ekstrem mereka akan menutup bisnisnya di Indonesia begitu penguasa lama lengser. Sebab mereka harus menyesuaikan diri dengan penguasa baru yang bisa saja berbeda sama sekali kebijakannya dengan penguasa lama. Berapa biaya material dan immaterial yang harus mereka keluarkan untuk beradaptasi dengan penguasa baru tersebut. Sebab seorang investor tentunya memiliki kalkulasi yang rasional terhadap jalannya roda bisnis mereka. Jika dirasa tidak menguntungkan untuk apa dipertahankan. Lebih baik ditutup dan mencari lokasi baru sebelum merogoh kocek lebih dalam lagi.



Instabilitas Keamanan
Kondisi ini sebenarnya bukan hanya di Indonesia saja. Instabilitas kemanan merupakan satu ciri negara berkembang dimana golongan menengah menempati prosentase tertinggi dalam piramida penduduk.

Ya, negara berkembang, maju belum tetapi tidak mau disebut terbelakang. Bisa dibayangkan masyarakat dalam masa transisi ini rawan masalah keamanan. Penjelasan paling rasional adalah kasus bom Bali 6 tahun lalu. Secara sosial Indonesia adalah negara berkembang, namun ada beberapa daerah yang secara unik telah mencapai taraf yang bisa disejajarkan dengan penduduk negara maju. Sebut saja Bali, Batam, secuil daerah di puncak Jaya di Papua.

Tatanan masyarakat tersebut dimungkinkan oleh interaksi penduduk lokal dengan warga asing, baik sebagai wisatawan maupun sebagai pekerja asing di Indonesia. Tentu saja kondisi ini memaksa timbulnya struktur sosial baru yang berbeda sama sekali dengan daerah lain di Indonesia yang rata-rata masih berkembang. Boleh jadi rasa iri muncul, atau jika bukan rasa iri, maka semangat memurnikan Indonesia (chauvinis) dengan dalih agama, budaya atau apapun menjadi pemicu timbulnya teror keamanan.

Ini juga membuat investor berpikir ulang untuk melanjutkan usaha di Indonesia, namun harus disadari juga bahwa terdapat beberapa lembaga yang seakan tidak peduli dengan kondisi keamanan di Indonesia. Sebut saja pertambangan tembaga dan emas milik freeport. Tentunya kita tahu mengapa mereka masih berani melanjutkan usaha di Indonesia. Secara sederhana kita akhirnya bisa menyadari bahwa kalkulasi ekonomi yang dilakukan freeport telah sampai pada sekian puluh skenario, sehingga dalam kondisi keamanan yang tidak kondusif sekalipun mereka masih mampu (berani) bertahan di Indonesia.




Sikap Pekerja Indonesia
Dalam beberapa media yang merilis kualitas hasil kerja pekerja asing baik di Malaysia dan juga di Singapura, pekerja Indonesia menempati posisi terbawah. Ini juga berarti upah mereka pun berada pada strata terbawah. Lalu, bagaimana pola perilaku pekerja Indonesia yang bekerja di beberapa perusahaan asing di Indonesia ? Nampaknya tidak jauh berbeda.
Secara sosial kita baru saja menikmati kebebasan berekspresi setelah sedemikian lama tertahan oleh pola preventif orde baru. Hal ini dirasakan sampai ke titik terendah masyarakat kita. Mulai dari coba-coba memberontak dan juga ikut-ikutan lalu menjadi semacam keharusan memberontak pada saat sedikit saja hak mereka tidak diterima sebagaimana mestinya. Bahkan dalam beberapa kasus, ditemukan solidaritas negatif yang mengarah kepada pemogokan massal yang dipicu oleh masalah yang jauh dari prinsip. Misalnya saja, akibat diterbitkannya Surat Peringatan (SP) oleh manajemen pabrik terhadap pekerja yang sering terlambat masuk kerja, ini masalah kedisiplinan, jadi harus ditegakkan, bukan dibela.

Kemudian, buaian mimpi yang disuguhkan media televisi nasional melalui sinetron serta sajian-sajian lain yang hampir selalu mengesankan bahwa hidup itu harus glamor, mewah dan hidup bekerja berat itu haram. Tayangan itu mau tidak mau mereka nikmati sebab dalam masa prime time hampir semua TV nasional menayangkan sinetron yang menjual mimpi kepada pemirsa. Dampak dari tayangan tersebut adalah sikap yang bossy, kecenderungan melawan, reaktif terhadap sedikit saja desakan yang terkadang demi kebaikan para pekerja serta dampak lain yang terbawa dalam pola kehidupan mereka sehari-hari, termasuk di dunia kerja.

Ini adalah kompleksitas dunia perburuhan di Indonesia, di satu sisi rasa kemerdekaan yang semestinya bisa berdampak positif mengalami pembiasan. Di sisi lain konsumsi mereka terhadap tayangan hiburan media TV secara tidak sadar telah membentuk pola perilaku yang mempersulit mereka sendiri sebagai buruh. Jika sudah begini bukan hanya investor yang ketakutan, namun pemerintah pun seharusnya memiliki kekhawatiran yang diarahkan secara positif.
Eksekusi Amrozi Cs, Positif Bagi Investasi ?
Setelah secara panjang lebar membahas 3 kajian pokok, lalu benarkah eksekusi Amrozi Cs berdampak positif bagi iklim investasi di Indonesia ? Boleh jadi itu hanyalah sebuah upaya penghindaran terhadap tanggung jawab yang seharusnya ada di pundak mereka (BKPM). Eksekusi Amrozi Cs hanya secuil masalah keamanan yang harus ditindaklanjuti dengan kerja nyata tim ekonomi dalam menghadirkan investor ke Indonesia.

Pekerjaan kita masih menumpuk, secara parsial sah-sah saja kita menyampaikan bahwa investor lega dengan dieksekusinya Amrozi Cs. Namun secara riil kita harus lebih sering bertanya kepada diri kita sendiri “Sudah welcome-kah kita kepada para investor?”, dan kita harus mau jujur menjawabnya, bukan sekedar jawaban lips service yang justru akan semakin menjerumuskan iklim investasi di Indonesia.

PERIMBANGAN BERTETANGGA

Beberapa rekan dari Malaysia sama sekali tidak terganggu dengan maraknya berita tentang memanasnya hubungan Indonesia – Malaysia. Mereka tetap saja melanjutkan aktifitasnya sehari-hari. Belajar, berolahraga dan tetap berinteraksi dengan rekan-rekan Indon lainnya. Seakan tidak pernah terjadi sesuatu yang mengusik hubungan diplomatik kedua negara.
Malaysia
Telah menjadi rahasia umum volatil-nya hubungan Indonesia - Malaysia. Kondisi ini dipicu oleh dua hal. Pertama, Malaysia menilai bahwa orang Indon adalah bangsa pekerja. Dan seperti dalam koloni semut, pekerja menempati posisi terbawah dalam struktur koloni. Orang Indon hanya boleh bekerja tanpa boleh memutuskan nasib merdeka sehingga Malaysia yang merasa sebagai golongan bangsawan semut merasa berhak atas sebagian nasib golongan pekerja itu.
Kedua, Indonesia merasa Malaysia adalah bangsa yang tidak tahu terima kasih. Seperti sering disampaikan oleh beberapa pembicara di media bahwa Malaysia begitu arogan, tidak tahu terima kasih. Berapa jumlah guru yang sudah kita kirim untuk mendidik mereka. Berapa jumlah TKI yang sudah berkontribusi memperlancar pembangunan fisik mereka. Serta masih banyak lagi pernyataan-pernyataan lainnya dengan inti sama air susu dibalas dengan air tuba.
Kesenjangan view inilah yang kemudian berkembang demikian lebarnya. Masing-masing memiliki latar belakang yang reasonable menurut pandangannya sendiri-sendiri.
Apalagi saat Malaysia di bawah Perdana Menteri Mahathir Muhammad. Mereka begitu pe-de bukan hanya saat berhadapan dengan Indonesia namun juga dunia seperti yang ditunjukkan oleh PM-nya. Keberhasilan demi keberhasilan datang silih berganti baik secara regional maupun internasional. Lihat saja, penyelenggaraan GP Fornula 1 di sirkuit Sepang, penambahan dua pulau, Sipadan – Ligitan, yang tadinya menjadi “milik bersama” dengan Indonesia. Bahkan dengan heroik Mahathir menantang Amerika dengan statemen-statemennya yang sungguh mengundang decak kagum bangsa lain yang justru silau dengan negara adidaya tersebut. Deretan keberhasilan itu membuat kepercayaan diri yang semakin menggunung di dada setiap warga Malaysia.
Sementara di sisi lain, Deretan panjang cerita sukses Malaysia bersamaan datangnya dengan ketidakberuntungan beruntun yang dialami Indonesia. Rangkaian musibah mulai dari bencana alam hingga human error musibah transportasi. Lalu degradasi prestasi olah raga hingga kabut asap yang “rutin” diproduksi oleh hutan Indonesia menambah keyakinan Malaysia bahwa mereka lebih baik dari Indonesia.
Keyakinan Malaysia itu dikuatkan pula oleh kondisi internal masyarakat Indonesia sendiri. Secara sosio-kultur Indonesia hanya terlena dengan permintaan Presiden pertama, Bung Karno, untuk Jas merah, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Pesan mulia untuk selalu teringat dan mewarisi kerja keras pahlawan justru dipahami terlalu jauh. Yang diingat hanya kejayaan Majapahit dan Sriwijaya, lalu terbelenggu dengan sejarah luasnya daerah jajahan dua kerajaan besar tersebut hingga seluruh Malaysia bahkan Madagaskar. Kehebatan Gajahmada, Hayamwuruk dan Sultan Iskandarmuda begitu diagungkan, ditulis dalam ribuan lembar daun lontar dalam babad-babad yang menceritakannya. Namun lupa bahwa taburan kegemilangan itu bukanlah jatuh begitu saja dari langit atau hadiah undian sabun cuci melainkan kritalisasi keringat, begitu kata wong ndeso, Tukul.
Perimbangan
Kita tentu masih ingat dengan Timor timur, propinsi termuda yang kemudian lepas dan merdeka lalu berganti nama dengan Timor Leste. Bagi sebagian warga Timor Leste, Indonesia adalah penjajah. Kawan yang berasal dari negeri muda itu pernah bercerita sambil menahan amarah bagaimana puluhan kerabatnya “dihabisi” militer Indonesia. Lalu sekarang bagaimana sikap dia terhadap Indonesia? Meskipun terlalu jauh untuk sebuah proses generalisasi namun patut diacungi jempol sikap memaafkan yang dia ceritakan dengan tulus. Dia memaparkan bahwa menjadi bagian Indonesia adalah proses sejarah yang yang harus dilewati. Lalu dia menambahkan bahwa dia hidup di masa kini bukan masa lalu ataupun masa depan, sehingga yang terpenting adalah bagaimana bekerja keras sehingga bisa menyejajarkan diri dengan Indonesia. Indonesia adalah inspirasi, katanya mengakhiri pembicaraan.
Kondisi yang bertolak belakang terjadi saat Indonesia berhadapan dengan Timor Leste. Sekian persen warga Timor Leste berkeyakinan bahwa Indonesia telah menjajah kemerdekaan mereka. Sehingga dendam itu masih membara di dada sebagian warganya. Sementara Indonesia tidak pernah kuatir dengan segala sikap Timor Leste, berbeda saat berhadapan dengan Malaysia.
Perimbangan Malaysia – Indonesia – Timor Leste menunjukkan betapa dinamisnya hidup bertetangga dalam konteks kebangsaan. Di satu sisi merasa lebih dalam segala hal dibandingkan tetangga sebelah timur, dan di sisi lain sedang berada dalam kondisi terpuruk bila ditinjau oleh tetangga sebelah barat. Dus, diperlukan lebih dari sekedar nasionalisme untuk bisa sukses dalam hidup bertetangga, apalagi bertetangga secara internasional dengan semangat borderless-nya.

Capres S-1, ancaman atau tantangan ?

Isu capres minimal sarjana memanaskan suhu politik Indonesia beberapa hari terakhir. Pro kontra seputar usul tersebut terus berkembang dan belum mencapai final. Pemerintah sebagai pihak yang memegang peran pentingpun tidak satu suara menyikapi isu tersebut. Istana mengeluarkan pernyataan yang pada intinya tidak pernah merekomendasikan usulan tersebut sementara departemen dalam negeri yang melontarkan usulan tersebut masih bertahan namun secara halus menyatakan bahwa usulan tersebut masih dalam konteks wacana yang memerlukan masukan dari berbagai pihak terkait.

Ancaman
Bagi sebagian partai politik (parpol) isu tersebut jelas merupakan sebuah ancaman terhadap calon presiden (capres) andalan mereka (yang belum sarjana). Mereka beranggapan bahwa usulan tersebut terlalu dipaksakan dan jelas ingin menjegal peluang capres andalan mereka.
Penting untuk disadari bahwa kecenderungan seseorang dalam situasi terancam adalah memasang tameng untuk pertahanan dan bila memungkinkan menyerang lebih dulu sebelum diserang lawan. Dalam kasus syarat sarjana ini tentu pihak yang merasa terancam posisinya akan melakukan naluri alamiahnya dengan dua jalan tersebut. Dengan bertahan, mereka akan berusaha sekuat tenaga agar ancaman tersebut dapat dihilangkan, dan itu berarti mereka akan mengupayakan hilangnya syarat sarjana untuk capres. Dengan menyerang lebih dulu, mereka akan mencari kelemahan (kesalahan) lawan dan menyerangnya. Tentunya dengan isu-isu juga yang mereka pikir akan dapat melemahkan posisi lawan politiknya itu.
Merasa terancam sah-sah saja. Namun harus tetap disikapi dengan kepala dingin. Sebab, tanpa disertai ketenangan dalam menyampaikan keberatannya, hal itu akan dapat memicu aksi dukungan terhadap mereka secara negatif. Kita semua tahu bahwa isu semacam ini akan dapat dengan membakar amarah grass root. Dengan dalih didzalimi, diperlakukan secara tidak adil dan dalih-dalih lainnya, tentu bukan perkara sulit untuk menggerakkan massa menentang usulan tersebut. Akibatnya ? Rakyat lagi yang akan menderita dengan macetnya jalan umum, kekhawatiran para pedagang yang dilalui massa dan akibat-akibat negatif lainnya.

Tantangan
Idealnya, isu tersebut disikapi secara positif. Artinya, bila capres andalan mereka belum sarjana, ya disarjanakan. Proses dinamisasi akan terjadi seandainya isu tersebut menjadi kenyataan. Artinya dengan presiden yang minimal sarjana , yang terbiasa berpikir secara ilmiah dan penuh pertimbangan sesuai dengan metodologi sebuah ilmu pengetahuan, ketegasan dalam bersikap akan menjadi budaya.
Ketika kemudian muncul komentar miring bahwa bukan jaminan seorang sarjana akan dapat memimpin negara dengan baik, maka yang terjadi adalah sebuah sikap pesimis terhadap kondisi bangsa. Tidak ada seorangpun yang dapat menjamin akan dapat meraih kesuksesan saat memimpin negara sebesar Indonesia. Namun setidaknya jalan menuju kesuksesan tersebut sudah ditempuh setelah sebelumnya direncanakan secara matang. Dan kita tahu bahwa kebiasaan merencanakan sesuatu secara sistematis (sebagai satu syarat awal menuju keberhasilan) merupakan makanan pokok calon-calon sarjana.
Belum lagi wawasan calon sarjana yang semakin terbuka dengan heterogennya masyarakat perguruan tinggi. Ini penting, mengingat kekayaan suku dan budaya Indonesia menuntut pemimpinnya dapat memahami dengan baik potensi perbedaan yang mungkin dapat menimbulkan konflik SARA.
Dengan bersandar pada sistem demokrasi, layak kita tunggu perkembangan isu ini. Beberapa tokoh bahkan mengusulkan adanya jalan tengah dengan menyatakan bahwa capres minimal sarjana adalah baik, namun bukan untuk pilpres 2009. Mungkin untuk 2014 atau 2019 atau mundur lagi sampai semua siap, tapi kapan siapnya? Seringkali kita harus dipaksa untuk sekedar siap dalam menghadapi sesuatu. Dan untuk perkara presiden haruskah kita gambling dengan sikap asal pilih ?

Masuk Angin

Tiba-tiba badan terasa tidak nyaman, serasa sakit semua. Padahal sebelumnya tidak ada tanda-tanda akan sakit ataupun sebab salah makan sebelumnya. Pusing, mual dan tidak ada gairah untuk bergerak. Bila diantara kita ada yang pernah mengalaminya, mungkin saat itu kita sedang terserang masuk angin.
Lantas, bagaimana mengobatinya ? Nah, biasanya kita akan mengambil satu upaya memulihkan kondisi fisik badan diantara beberapa pilihan berikut. Pertama, kerikan di punggung, bahkan sampai meninggalkan bekas merah-hitam di kulit itu. Terkadang jika belum jelas garisnya belum puas, kalau perlu sampai lecet ! Kedua, mengoleskan minyak kayu putih ke sekujur tubuh, dan ketiga, mengkonsumsi obat (jamu) tradisional. Kenapa tradisional ? karena pak dokter nggak kenal sama yang namanya masuk angin dan di apotek memang tidak tersedia obat kimianya, sehingga beliau nggak bisa menuliskan resep untuk kita.
J Irwan Hidayat, dirut Sido Muncul, menjelaskan bahwa tidak ada istilah formal untuk masuk angin dalam dunia kedokteran. Dan yang paling aneh lagi, masih menurut dia, masuk angin didefinisikan sebagai satu kondisi dimana saat itu fisik kita berada di tengah-tengah diantara sehat dan sakit. Jadi, nggak sakit juga nggak sehat. Bikin repot dokter yang akan mendiagnosanya. Persis seperti kondisi bangsa kita saat ini.
Ada berapa lembaga internasional yang sempat kita kenal berusaha membantu kita mengatasi penyakit “masuk angin” kita ini. Sebutlah IMF, IGGI, CGI serta beberapa nama lembaga regional lainnya. Tapi, mana hasilnya? Rasanya dengan kehadiran para ahli yang bernaung di bawah nama-nama itu justru secara agregat (begitu biasanya kata ahli makro) membuat kehidupan bangsa kita tambah struggle, tambah susah penghidupan rakyatnya. Lalu kita bertanya dalam hati, kenapa bisa begitu ya?
Jangankan kita yang awam tentang ekonomi makro, mereka yang ahli saja bingung. Berapa puluh bahkan ratus jurus kebijakan telah dikeluarkan, berapa dana yang telah dihamburkan untuk menyukseskan program-program yang disusun. Tapi nyatanya tidak membuahkan hasil yang signifikan.
Mereka lupa bahwa yang dihadapi adalah bangsa yang sedang masuk angin. Kelihatannya susah cari makan tetapi banyak jaguar dan bentley melintas di jalan raya. Kelihatannya banyak jaguar dan bentley di area parkir mal tapi penduduk miskin masih 40 juta jiwa.
Parameter-parameter yang biasa dipakai untuk kepentingan analisa sosial dan berlaku umum bagi sebuah komunitas (negara) harus dimodifikasi sedemikian rupa di sini. Para periset tercengang menyaksikan fakta seorang PNS golongan IIIA beristri dua, satu resmi satunya lagi simpanan, dan keduanya hanya mengandalkan gaji suaminya saja. Si periset tambah pusing saat tahu bahwa anak dari masing-masing istrinya 3 orang dengan usia antara 2 sampai 7 tahun. Dan terakhir, si periset pingsan melihat dua buah mersi keluaran terbaru berjajar rapi lengkap dengan dua orang sopirnya di garasi rumah PNS tadi.
Obat pertama
Obat yang mujarab bagi “masuk angin”-nya bangsa ini sebetulnya sangat sederhana. Rumus pertama adalah dengan kerikan. Bagi yang belum pernah, kerikan adalah aktifitas mengerik anggota tubuh (biasanya punggung) dengan kepingan logam yang diolesi minyak (kayu putih, minyak goreng ataupun minyak tanah!) dan dipercaya bisa membantu mengatasi masuk angin. Aplikasi untuk masalah bangsa, kita harus tarik garis secara jelas dan tegas posisi riil bangsa kita ada dimana.
Stephen R Covey dalam 8th Habit memaparkan 5 tapakan jaman yang dilalui oleh sebuah masyarakat. Dimulai dari jaman berburu dan mengumpulkan makanan, lalu jaman pertanian, kemudian jaman industri. Seterusnya adalah jaman pekerja knowledge dan terakhir jaman kebijaksanaan. Dan sekarang ini kita menapak pada jaman pekerja knowledge menjelang jaman kebijaksanaan. Masalahnya, de facto kita berada di posisi mana sih dari kelima jaman tersebut ? Jangan bicarakan yang seharusnya ada tapi yang senyatanya dulu. Sebab referensi yang sering kita baca justru membuat kita pangling dengan kondisi riil kita. Dengan berapi-api kita bicara masalah pentingnya knowledge dan teknologi, tapi saudara kita di tempat lain masih sibuk cari makan dengan mengandalkan kemurahan alam. Kita bicara tentang keselamatan transportasi udara tapi ada saudara kita yang untuk sekedar beli beras saja harus nunggu sampai laut tenang sehingga perahu bercadiknya aman dari terjangan ombak, dan masih banyak lagi perenungan-perenungan lainnya yang harus kita lakukan.
Kesalahan dalam menempatkan posisi tahapan dalam 5 tapakan seperti yang disampaikan di atas akan berakibat pada ketidaktepatan penyusunan kebijakan nasional. Apalagi social range begitu lebar. Sehingga diperlukan tidak hanya sebuah tim yang berisi orang-orang pinter tapi juga memiliki kesadaran sosial yang tinggi, mengerti posisi riil dari sebuah masyarakat. Setidaknya ada tiga langkah yang dapat dilakukan oleh pengambil kebijakan.
Pertama, redefinisi otonomi daerah, perubahan dari pembagian kekuasaan menjadi pemisahan kekuasaan harus disertai dengan sebuah pola pengawasan yang cukup. Adalah baik mendukung semangat otonom sebagai bagian dari upaya demokratisasi rakyat dan meningkatkan potensi daerah, namun kenyataan menunjukkan kondisi semakin terpisahnya antara bagian satu dengan lainnya dan membuat pusat kesulitan menyatukan langkah secara nasional.
Kedua, posisikan secara jujur suatu daerah sehingga kebijakan yang menyertainya tidak dipaksakan. Pemaksaan berakibat pada tidak optimalnya proses kerja dan pasti tidak maksimalnya hasil kerja. Bukanlah sesuatu yang menjijikkan menjadi daerah tertinggal. Justru dengan menjadi daerah tertinggal masyarakat akan sadar bahwa mereka harus bekerja keras mengejar prestasi daerah lainnya. Windows policy justru menghasilkan kesimpulan yang semu, kebijakan yang parsial, realisasi yang tidak tepat sasaran dan hasil yang indah di laporan saja.
Ketiga, kekayaan alam serta keberagaman posisi sosial menuntut sebuah perhatian yang besar pula. Identitas nasional tidak bisa begitu saja ditentukan dengan mewakili sebagian kecil masyarakat. Pertanian sebagai sektor yang seringkali volatil harus diperhatikan khusus. Lautan yang menyatukan pulau-pulau di nusantara harus diberikan porsi perhatian lebih besar dari yang telah ada. Dan wilayah udara yang selama ini sering dimasuki oleh kekuatan asing tidak boleh dilupakan juga. Jadi merupakan rumusan yang kompleks jika menginginkan identitas tunggal bangsa ini.
Obat kedua
Obat masuk angin kedua adalah mengolesi seluruh badan dengan minyak kayu putih. Minyak kayu putih adalah produk alam asli dari Maluku, bila kita oleskan ke bagian tubuh biasanya akan terasa hangat. Nah kalau bangsa yang masuk angin bagaimana?
Umpamakan minyak kayu putih tersebut dengan semangat persatuan sehingga memunculkan rasa hangat di sekujur tubuh Indonesia. Konflik antar etnis hingga agama yang yang pernah terjadi beberapa waktu lalu merupakan lahan yang subur bagi penyakit masuk angin bangsa ini. Ditambah lagi dengan semangat kedaerahan yang semakin kental sebagai akibat dari praktek otonomi daerah yang menghasilkan beragam interpretasi dari para pelaksananya. Belum lagi eforia setelah lepas dari orde baru. Komplek, benar-benar komplek.
Semangat persatuan tampak kuat justru saat sebagian kecil saja dari bagian bangsa ini yang bekerja. Bila kita ingat pesta sepakbola Asia beberapa waktu lalu, kita melihat sebuah fenomena yang begitu memerindingkan bulu kuduk saking semangatnya mendukung tim merah putih. Lalu, apakah kejadian seperti itu tidak bisa kita transformasikan dalam bidang lainnya? Bisa, sangat-sangat bisa.
Semangat kedaerahan dan semangat golongan yang begitu kuat harus dihilangkan secara frontal bukan sedikit demi sedikit. Barangkali langkah pertama yang bisa kita lakukan adalah dengan manghilangkan kalimat suku bangsa dan agama pada KTP kita sebagai refleksi bahwa tidak ada yang membedakan suku A dengan suku B atau dengan suku lainnya. Yang ada hanya Indonesia yang satu. Sebab penulisan suku dan agama di KTP dalam beberapa kasus justru mematikan peluang mereka untuk bisa maju. Akibatnya akan muncul semangat membalas dan dalam skala besar tentu berbahaya.
Obat ketiga
Minum jamu tradisional menjadi alternatif ketiga bagi penderita masuk angin. Mengapa harus tradisional? Karena obat kimianya memang tidak ada. Hal ini mengindikasikan bahwa penyakit bangsa ini hanya bisa disembuhkan dari dalam bangsa ini sendiri dan oleh bangsa ini sendiri bukan oleh orang luar.
Cari cara-cara alami, dengan pendekatan-pendekatan sosiokultural persoalan yang menimpa bangsa ini akan dapat tertangani. Kita ingat bagaimana semangat pelagandong berperan dalam menyelesaikan kasus Ambon, lalu kita lihat juga bagaimana warga Bali mengelola kebutuhan air pertaniannya dengan cara yang khas. Belum lagi kebiasaan-kebiasaan masyarakat pedalaman yang begitu menghargai siklus alam sehingga keseimbangannya begitu terjaga. Kita bisa angkat hal-hal yang bersifat sosiokultural tersebut sebagai semacam pembelajaran secara nasional.
Memperbanyak diskursus sosial dengan pengamat ataupun ahli dari dalam negeri harus kita jadikan prioritas. Daripada mendatangkan ahli dari luar negeri yang kelihatannya membawa sesuatu yang baru ternyata di Indonesia sudah ada atau bahkan lebih maju. Sebab secara potensi kemampuan manusia Indonesia luar biasa. Cak Nun bilang mulai dari daya bertahan hidup sampai prestasi kita bisa, bahkan sangat bisa bersaing dengan bangsa lain. Hanya saja memang mengumandangkan nama besar belum menjadi sebuah kultur. Padahal jika mau bersombong diri banyak yang bisa kita banggakan, hanya saja kita seringkali terbentur pada kultur yang mengunci kita di dalamnya. Kata para pengamat itu terjadi akibat dari penjajahan Belanda yang membunuh karakter bangsa selama 350 tahun itu. Padahal itu sudah lebih dari setengah abad yang lalu, artinya satu generasi hampir terlewati. Telah banyak generasi baru yang duduk di pengambil kebijakan, dan biasanya amereka memiliki cara pandang baru terhadap setiap persoalan. Selagi tidak lupa pada akar budaya yang (katanya) serba santun, setiap penyakit bangsa termasuk masuk angin pasti akan terobati.

PENGANTAR

Semua yang ringan ada di sini...
boleh jadi orang akan menganggap ini semacam kantong sampah, tapi gak papa...pemulung kaya gara-gara tempat sampah yang di olah dan kelola sehingga menjadi barang yang bermanfaat, minimal bisa dia jual lagi

so,
daripada berat-berat, mending nulis yang ringan saja. bisa sosial, politik, ekonomi, budaya atau apapun, yang jelas ini adalah media untuk sedikit sumbang saran terhadap masalah-masalah sosial yang menurut sebagian orang demikian berat dan rumit.

tapi,
tentu saja dalam bahasa dan ide yang...ringan saja

salam,
G